Sopi…Mana Sopi…

Keluarga kami memandang sopi bukan minuman beralkohol semata. Sopi sama kedudukannya dengan kopi. Orang yang bertamu di rumah selalu ditawari antara minum kopi atau sopi.

Dalam situasi genting macam apapun, bapa saya memang terbiasa rileks. Namun, ketika kali ini dia tetap rileks, saya mulai penasaran. Ada apa? Apa sebenarnya yang terjadi?

Dia duduk santai di sebuah kursi dengan sandarannya yang panjang. Kedua kakinya diselojorkan. Ia tampak santai melihat beberapa polisi yang mengobrak-abrik beberapa sirigen di kios tetangga. Kios itu persis di samping rumah kami.

Saya yang berdiri di sampingnya mulai khawatir. Saya tiba-tiba teringat pada sebuah sirigen berisi sopi di ruangan bagian depan rumah kami. Waktu yang ada tak cukup untuk menyelamatkannya.

Saya mengedipkan mata ke mama saya. Dia baru saja menghampiri kami yang berdiri di teras rumah dari arah dapur. Namun, seperti bapa saya, mama saya hanya berdiri dan menyaksikan razia minuman sopi itu dengan senyum.

Saya mulai mengedipkan mata kepadanya memberikan tanda bahaya dan khawatir.

“Ada apa?” katanya yang membuat saya malah uring-uringan karena maksud saya tak tersampaikan.

Menjelang tahun baru, polisi biasa merazia minuman keras. Sopi yang biasa dijual kios-kios jadi target utama. Seperti biasa, ada ketakutan bahwa sopi dapat menyebabkan kekacauan pada perayaan tutup tahun baru tersebut.

Hari itu, mobil bak terbuka polisi datang tiba-tiba. Sekitar 6 orang polisi turun dari mobil dan masuk ke dalam kios. Mereka memeriksa dengan cekatan. Beberapa sirigen berisi sopi di bawah keluar. Pemilik kios rupanya sudah terlambat untuk menyembunyikannya.

“Boleh minuman ini dirazia. Tapi saya minta, buang di depan mata saya,” kata pemilik kios dalam nada tinggi. Ia marah. Satu sirigen seukuran 32 liter harganya lebih dari satu juta rupiah.

“Kenapa?”

“Saya beli ini dengan uang. Saya tidak mau ini dibawa dan diminum di tempat lain. Saya mau ini dibuang di sini!”

Kontan polisi menurutinya mengingat beberapa orang sudah menyaksikan kejadian hari itu. Namun hanya satu sirigen yang diijinkan dibuang di depan mereka. Yang lain masih dibawa ke kantor polisi. Saat sopi dari satu sirigen dibuang, aromanya menyengat.

Setelahnya, tetangga kami tak kehilangan ide.

“Bisa minta sebotol untuk saya? Malam ini kami ada acara adat yang butuh tuak. Kami tidak tahu cari dimana kalau semuanya dirazia begini,”

Polisi kembali menurutinya.

Saya sebenarnya khawatir, giliran rumah kami yang dirazia dan satu sirigen berisi sopi disita polisi. Sirigen berisi sopi itu berada di gudang di kios kami. Gudang itu mudah saja dikenali dan dicurigai karena berada di samping rumah. Apalagi polisi sudah menyisir semua gudang dan kios di kampung kami hari itu.

“Tahun lalu, mereka juga razia sopi” kata bapa saya dengan nada santai memperhatikan polisi.

Tiba-tiba ingatan saya kembali ke kejadian saat itu. Untungnya, tahun lalu itu, sopi lagi habis.

Di kampung kami, sudah bukan rahasia umum lagi kalau bapa saya termasuk penggila sopi. Kendati usianya hampir menginjak 70 tahun, ia nyaris minum sopi tiap hari.

Namun, ia menyukai sopi bukan karena ia pemabuk atau kecanduan alkohol. Keluarga kami memandang sopi bukan minuman beralkohol semata. Sopi sama kedudukannya dengan kopi. Orang yang bertamu di rumah selalu ditawari antara minum kopi atau sopi.

Beberapa teman saya pernah bertamu di rumah serasa kaget menemukan kenyataan itu. Mereka pada akhirnya memilih minum sopi ketimbang kopi. Tadinya yang masih terlihat malu-malu, namun beberapa saat kemudian menjadi sangat hangat dan sekejab menjadi pembicara di rumah kami. Tak jarang, mereka mencurahkan isi hati sedalam-dalamnya.

Di rumah kami, sopi sudah lama menjadi salah satu kebutuhan pokok. Memikirkan adanya sopi sama seperti kami menyiapkan anggaran untuk gula, kopi, atau garam di dapur.

Awalnya, bapa saya selalu menyakinkan mama saya untuk membeli satu srigen sopi ukuran 32 liter untuk bisnis. “Ini untuk kita jual?” katanya membujuk.

Mama saya yang selalu rasional dalam penganggaran keuangan keluarga tampak antusias.

Nyatanya, sopi lebih banyak dihabiskan untuk konsumsi sendiri. Jika ada tamu, kami tawarkan pula sopi sebagai minuman penghangat suasana. Untung yang dijanjikan tidak pernah ada.

Namun, mama saya tetap saja menyepakatinya. Cinta memang buta. Di rumah kami, selalu ada sopi satu sirigen berukuran 32 liter.

Satu sirigen itulah yang saya khawatirkan dirazia polisi hari itu.

Sebenarnya, minum sopi bukan tanpa alasan. Bapa saya berasal dari keluarga petani dan hidup di era 1950-an hingga sekarang. Selama hidupnya, ia bertani, menjadi guru selama 20-an tahun, dan juga dekat dengan urusan Gereja.

“Masa kecil, kami sudah terbiasa minum tuak” katanya suatu ketika.

Ayahnya, sebagaimana orang tua di kampung saat itu, adalah seorang penyadap enau. Bukan terutama untuk dijual karena saat itu tuak belumlah memiliki nilai transaksional melalui uang, tetapi untuk menjamu tamu, untuk perayaan adat, dan untuk minuman harian saat pulang kerja.

Tiap hari dia mengikuti ayahnya ke kebun dan ke tempat penyadapan tuak.

“Tuak yang paling enak kalau baru saja disadap dan minum di bawah pohon enau,” kenangnya. Saat itu, jika ada yang lewat, mereka mengajak untuk tes air nira yang terbaik.

Sepanjang tahun, ada banyak pula perayaan adat. Tidak ada perayaan adat yang tidak tanpa menyediakan tuak atau sopi. Sebagai anak kecil, dia yang selalu melayani tuak kepada orang tua. Bahkan dia sendiri pada akhirnya juga minum.

“Kakek memang telah meninggal, tapi dia hanya terpisah dan tinggal di dunia lain. Dia masih membutuhkan tuak” jelas ayah saya suatu ketika saat menyuruh saya menyediakan satu gelas tuak dalam acara teing hang.

Teing hang adalah ritual budaya untuk memohon doa dari orang yang meninggal untuk kita yang masih hidup. Konsep ini berbeda dengan konsep kristiani di mana orang yang masih hidup mendoakan orang yang telah meninggal. Teing hang biasanya dilakukan sesewaktu dengan menyiapkan sesajian dan penyembelihan ayam.

Usai acara tersebut, bapa saya menyuruh saya meminum tuak. Katanya, “Bisa menambah berkat!”. Ketika saya menolak, dia membujuk, “biar sedikit saja”. Saya menyadari bahwa baik orang hidup maupun orang yang telah meninggal di Manggarai masih membutuhkan tuak.

Saat saya kecil, saya juga sering menyaksikan peran sosialnya sebagai guru di kampung dan sebagai dewan stasi di gereja. Seorang guru memiliki peran yang beragam, apalagi di guru di daerah yang terisolasi. Guru di Manggarai biasa dipanggil “tuang guru”. Panggilan serupa hanya disematkan kepada pastor atau imam.

“Kenapa sebelum atau saat berbicara, orang selalu menyiapkan dan memegang tuak?” tanya saya suatu ketika.

Beberapa kali saya menyaksikan, orang tua murid datang ke rumah kami. Mereka memegang tuak atau sebotol sopi, lalu berbicara dalam nada yang merendah. Atau sebaliknya saat kami menyambut pastor ke gereja stasi, selalu disiapkan tuak/sopi.

“Itu pertanda penghormatan yang diberikan. Kadang saat kita ingin menyampaikan pesan penting, kita bicarakan dengan tuak” jawabnya tanpa mau menjelaskan panjang lebar.

Dari pengalamannya, saya memahami bahwa sopi atau tuak sudah lama menjadi bagian dari keseharian. Sopi bisa dibutuhkan tiap hari untuk memulai percakapan, untuk meminta maaf, untuk menyambut tamu, merayakan kehidupan, untuk merenungkan kehidupan bahkan untuk memaknai kematian.

Bapa saya marah tahun lalu usai sopi dirazia di beberapa kios. Rumah kami tak luput dari razia. Untungnya, stok sopi sudah habis.

“Sopi itu bukan rokok. Bukan pula obat terlarang. Kenapa harus dirazia?” begitu dia mulai mengomel.

Menurutnya, jika kuantitas minum sopi orang Manggarai sepertinya, jumlah produksi sopi sesungguhnya kurang sekali. Dan umumnya orang Manggarai membutuhkan tuak atau sopi untuk berbagai jenis acara adat maupun selebrasi perayaan-perayaan keagamaan.

Saya mulai menghitung-hitung dalam hati. Jumlah penduduk dari tiga Manggarai jika dihitung minimal 600 ribu penduduk. Jangankan semua, seperempat dari jumlah itu saja sebagai peminum “aktif” seperti bapa saya, menurutnya, jumlah produksi sopi belum tentu mencukupkan. Mungkin benar. Mungkin juga salah.

“Sopi atau tuak itu tergantung pada pohon enau. Berapa sih jumlah pohon enau di Manggarai untuk memenuhi kebutuhan minuman sopi/tuak yang begitu banyak?”

Katanya lagi, pohon enau tidak tumbuh di sembarang tempat. Apalagi, proses penyadapan dan penyulingan air nira membutuhkan proses yang rumit dan lama.

“Supaya airnya mengalir banyak, kita perlu melakukan ritual sebelum penyadapan, bahkan mesti melewati proses beberapa tahap”

“Tidak ada petani yang sengaja menanamkan pohon enau. Tidak seperti tembakau atau ganja yang sengaja ditanam sehingga kita merasa sangat khawatir produksinya akan berlebihan. Tidak akan!” jelasnya.

Saya hanya terdiam.

“Kita sebenarnya perlu menanamkan kembali pohon enau. Kita perlu menggalakan penanaman pohon enau. Biar produksi sopi bisa memenuhi kebutuhan kita.”

“Kasian sekarang, akibatnya kurangnya sopi, orang minum campur seenaknya,” jelasnya tentang beredarnya minuman oplosan.

“Tapi sopi penyebab orang perkelahian dan kriminal?” saya berusaha menyanggah.

“Mana datanya? Polisi pernah tunjukkan ke kamu?” dia mulai nyolot. Saya pura-pura cuek. Saya mulai kepikiran dimana saya mendapatkan data tentang kejahatan akibat sopi.

“Bahwa ada orang yang membunuh karena mabuk, betul ada dan harus diakui. Sama seperti ada orang mati karena adanya kendaraan bermotor. Ada orang mati karena merokok.”

“Tapi sebagai sumber kejahatan, apakah orang mati karena mabuk sopi sudah berlangsung sistematis? Seberapa sering? Apakah penyebabnya karena sopi atau minuman lain? Jangan ngarang” katanya.

“Di rokok itu jelas-jelas tertulis dilarang merokok karena menyebabkan kematian. Tapi hanya sebatas himbauan yang tertulis. Kenapa minuman sopi tidak diperlakukan seperti itu? Kenapa bukan hanya himbauan?”

“Liat juga model tindakan kriminal. Jika kebanyakan orang bunuh pakai pisau atau parang, polisi sekalian larang pisau dan parang beredar karena dapat menyebabkan pembunuhan.”

“Lagian, polisi lupa kalau sopi bikin orang bisa tertawa dan bercerita dan mengakrabkan diri satu sama lain. Mereka terlalu berpikir sopi menyebabkan kriminal,” katanya sambil tertawa dan berlalu dari saya.

Tidak seperti tahun lalu itu, hari itu bapa saya tampak santai dan menyaksikan dengan rileks.

“Mari minum pak?” tiba-tiba dia bersuara lantang menyapa beberapa polisi yang sedang merazia.

“Jangan panggil begitu, dia lagi bertugas.” Mama saya langsung menegur. Saya kemudian menyadari bahwa salah satu polisi yang merazia itu sering singgah dan minum sopi di rumah kami.

Mama saya memahami bahwa polisi saat bertugas sudah menjadi orang yang berbeda dari kesehariannya. Dan saat itu, teman bapa saya itu kelihatan serius dan tak memamerkan senyum.

“saya kan hanya ajak mereka minum kopi” bapa saya coba berkilah.

Hari itu, ternyata rombongan polisi melewati begitu saja rumah kami. Saat mobil polisi berlalu, saya tinggalkan keduanya, menuju ke dapur untuk minum air. Meredakan ketegangan yang sedari tadi.

Saat saya meneguk air dari sebuah cerek, saya hampir muntah. Rasa airnya lain sama sekali. Sejenak saya berusaha mengenalinya. Mata saya langsung menangkap sebuah gallon berisi air yang berwarna tak jernih di sudut meja.

Saya berlari kembali ke teras.

“Kenapa sopinya simpan di cerek dan galon?”

“Bukan saya!” tiba-tiba ayah saya menyela. Mama saya hanya bisa tertawa terkekeh.

“Mereka selalu pikir sopi disimpan di sirigen. Biar tidak mudah ditebak.”

“Orang butuh sopi di hari raya begini, kenapa mereka ambil lagi?” katanya mengomel dan sambil berlalu dari pandangan saya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA