Oleh: Inosentius Mansur
Praksis perpolitikan tanah air kita akhir-akhir ini sedang mendapat sorotan hebat. Dikatakan demikian, karena politik yang semestinya mempertontonkan dimensi edukatif dan menjadi pendukung integrasi bangsa, justru memperlihatkan akrobatik irasional yang berpotensi memecah-belah elemen sosial.
Ada sebagian elite politik “mengagitasi” publik untuk kepentingan-kepentingan parsial. Mereka menjadi aktor antagonis yang mengobrak-abrik ruang publik dengan tindak-tanduk distortif-reduktif. Alhasil demokrasi acapkali menjadi kebablasan, merusak pluralisme dan mengacau-baluakan integrasi sosial. Politik dikapling-kapling ataupun dikapitalisasi seturut selera elite politik. Orientasi politik disetir berdasarkan keinginan atau kalkulasi politik tertentu. Tidaklah mengherankan jika politik lebih sering menjadi instrumen pragmatis untuk mengakomodasi libido parsial elite-elite politik.
Gawatnya lagi, elite-elite politik itu seringkali mendesain dan menciptakan diskursus-diskursus abal-abal yang jelas-jelas bertolak belakang dengan substansi demokrasi. Pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan ataupun posisi-posisi politik seakan-akan melegalkan cara-cara berpolitik nir-etika yang justru menciptakan keretakan sosial.
Rakyat pun seringkali dikorbankan. Mereka dijadikan sebagai objek permainan yang “ditendang sesuka hati” agar kepentingan politik dapat tercapai. Demi mendapatkan kekuasaan, dimensi dan pilar-pilar sosial dihancurkan. Semuanya dipakai untuk menjadi alat pendukung keinginan para elite politik tersebut. Ini tentu memprihatinkan.
Disintegrasi Sosial
Kita saksikan bahwa perpolitikan kita kian stagnan karena tabiat destruktif yang menjadikan politik sebagai alat untuk mengartikulasikan hasrat untuk mendapatkan kekuasaan ataupun jabatan. Demi mendapatkan target politik, segala cara dihalalkan. Agama dipolitisasi, ruang privat dipolitisasi, setiap kata dan tindakan selalu ditafsir dan dipelintir untuk melegitimasi ambisi pragmatik. Kelompok agama ataupun kelompok-kelompok sosial tertentu, tidak lagi menjadi sendi perekat, melainkan diintrumentalisasi untuk mendukung kalkulasi serta mendukung ego-ego individual ataupun kelompok.
Mereka terjebak dalam aksi-aksi yang menimbulkan ketidaknyaman kolektif. Apa yang oleh agama atau kelompok tertentu diyakini sebagai kebenaran, dipaksakan kepada pihak lain agar diterima sebagai kebenaran kolektif-sosial. Agama dan ajarannya tidak ditafsir untuk mendukung kebhinekaan, tetapi malah menjadi sarana untuk memporak-porandakan kebhinekaan itu. Ironisnya, agama tidak lagi tampil sebagai elemen solutif-demokratis yang memberi jalan keluar atas berbagai persoalan bangsa, tetapi malah membuat persoalan itu tambah pelik.
Selain itu, partai-partai politik yang diharapkan menjadi pioner dalam mendesain rancangan pembangunan yang artikulatif dan akomodatif lebih banyak menyakiti rakyat. Padahal partai, demikian Mao Zadong (Magnis-Suseno, 2013), tidak boleh meninggalkan massa (rakyat), tetapi selalu bertolak dari kebutuhan massa. Ada gejala bahwa partai-partai politik kita juga mendukung terciptanya aksi-aksi “teror sosial” yang menyebabkan diisintegrasi sosial.
Meskipun tak akan pernah diakui secara nyata, tetapi mesti diakui bahwa orang-orang yang selama ini melemparkan api ke dalam kelompok massa merupakan figur-figur politik dan tokoh publik. Komentar-komentar mereka seringkali menyebabkan distorsi sosial dan melahirkan polarisasi. Diharapkan kerkorban bagi rakyat, faktanya seringkali mengorbankan rakyat.
Perekat Sosial
Dapat dipastikan bahwa politik bisa menjadi alat suci untuk mempererat persaudaraan dan menaburkan cinta kasih serta kedamaian sosial. Dalam dan melalui politiklah elite-elite publik dapat mengajak semua elemen bangsa untuk bersatu padu. Dalam dan melalui politiklah, elite-elite sosial dan penguasa dapat merancang cara agar bisa menciptakan kebijakan yang mengartikulasikan kehendak publik. Politik merupakan elemen penting untuk mendesain praksis sosial yang merupakan penjabaran dari Pancasila. Dan salah satu hal yang mendapat penekanan dalam Pancasila adalah persatuan Indonesia.
Namun demikian, harus diakui bahwa politik seringkali diprivatisasi dan dijadikan sebagai alat untuk mendesain keresahan sosial. Politik tidak lagi mencari format terbaik agar dapat menjabarkan hal tersebut secara baik, kontekstual dan bahkan reproduktif, tetapi malah mencabik-cabiknya dan merobeknya. Ya, kita mesti secara sportif mengakui bahwa di republik ini, kepentingan politik acapkali tidak menjadikan politik sebagai sarana yang penting. Kepentingan politik justru menyedikan ruang bagi adanya praksis yang mensubordinasikan politik dan menjadikannya terkooptase hegemoni-hegemoni tertentu.
Maka sekaranglah saatnya politik dikembalikan kepada fitrahnya. Politik dalam perspektif ke-Indonesia-an adalah politik yang mengakomodasi segala dimensi, segala agama, segala budaya, segala pulau dari Sabang –Merauke. Politik Indonesia adalah politik yang menjadikan semua kelebihan dan kekayaan, menjadikan semua dimensi heterogen sebagai bagian tak terbantahkan.
Politik Indonesia bukanlah politik yang mengedepankan politik identitas, tetapi mengedepankan indentitas politik yaitu politik yang mencerminkan serta mempromosikan pluralitas. Politik Indonesia selalu membanggakan dimensi heterogen dan hanya menjadikan Pancasila sebagai rujukan moral, etis, politik dan yuridisnya. Dengan demikian, elite-elite politik mestinya selalu memiliki perspektif heterogen dan berusaha sedemikian rupa untuk mempertahankan karakteristik seperti itu.
Jika demikian, elite-elite politik mesti sungguh-sungguh menjadikan politik sebagai perekat sosial dan bukannya peretak sosial. Politik bukanlah obyek “orderan” untuk menggapai kepentingan-kepentingan sekelompok orang. Politik mesti selalu dielaborasi sebagai pijakan refleksi kebangsaan. Adalah sungguh tidak elok jika politik dipelintir dan menjadi rujukan untuk mendukung perbenturan sosial.
Penulis adalah Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret, Maumere