Labuan Bajo, Floresa.co – Masyarakat Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, menyayangkan pernyataan Bupati Manggarai Barat (Mabar) Agustinus CH Dula yang ngotot agar proyek geothermal di wilayah Wae Sano dilanjutkan. Namun, menurut masyarakat, sikap Dula tersebut lahir karena dirinya tidak mengerti persoalan sehingga masyarakat menolak.
“Kami masyarakat tiga Kampung di Desa Wae Sano yakni Lempe, Nunang dan Dasak, yang hingga sekarang konsisten menolak kehadiran sumur pengeboran (well pads) geothermal PT SMI di dalam ruang hidup kami, merasa sangat dirugikan dengan pernyataan Bupati Manggarai Barat-Agustinus Ch Dulla,” kata juru bicara masyarakat Wae Sano, Yosef Erwin Rahmat dalam siaran pers yang diterima Floresas.co, Senin 15 Maret 2020.
Sebelumnya, pada 5 Maret 2020, melalui media daring Radar NTT, Dula menyampaikan dukungannya kepada proyek PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), perusahaan yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan RI itu. Pada berita pertama, secara terbuka, Dula menyatakan dukungannya terhadap proyek itu dan mengklaim proyek itu sangat membantu masyarakat.
“Kita ini bagian dari NKRI, ini program pusat yang kami pemerintah daerah mengikuti. Sebab tidak ada program pemerintah yang tidak pro rakyat. Panas bumi ini tentu menguntungkan negara. Karena itu saya tetap mendorong untuk dilanjutkan,” kata Bupati dua periode itu.
BACA JUGA: Proyek Geothermal Wae Sano Terus Dipaksakan, Warga Surati Bank Dunia dan New Zealand Aid
Sementara, dalam berita kedua, Dula menyampaikan delapan alasan mendukung proyek itu. Namun, menurut masyarakat, sebagaian besar alasan Dula tidak berdasarkan fakta, penuh asumsi dan cenderung mempersalahkan masyarakat.
“Agar pernyataan Bapak Bupati tidak begitu saja diterima dan dianggap sebagai sebagai kebenaran oleh publik luas, kami perlu menanggapi point-point pernyataan Bupati itu,” demikian disampaikan dalam siaran pers itu.
Hal pertama hal yang disoroti warga, demikian disampaikan Yosef ialah terkait dengan titik-titik pengeboran atau lebih tepatnya sumur pengeboran atau well pads. Disampaikan Dula, titik pengeboran telah disurvey oleh para ahli dan dimungkinkan untuk dieksploitasi.
Namun, menurut warga, kata Yosef Lokasi sumur pengeboran yang telah ditentukan oleh para ahli itu tidak memungkinkan untuk dilakukan pengeboran, karena berada di dalam ruang hidup masyarakat, yaitu di lokasi perkampungan, kebun, mata air, dan dekat dengan fasilitas umum seperti gereja dan sekolah.
BACA JUGA: Meski Dijanjikan Membawa Kesejahteraan dan Tidak Beresiko, Proyek Geothermal Wae Sano Tetap Ditolak Warga
“Bahkan di kampung Nunang, titik pengeboran tidak jauh (20 meter) dari Compang Takung, pusat kehidupan adat,” jelas Yosef.
Hal kedua yang dikritisi warga, jelas Yosef ialah terkait klaim Dula yang menyatakan proyek itu tidak akan merusak lingkungan. Yosef mengaku tidak mengerti klaim itu, karena dalam dokumen PT SMI, disampaikan bahwa masyarakat akan direlokasi.
“Entah apa dasar klaim Pak Bupati ini. Barangkali Bupati kurang membaca atau mendengar berita; misalnya kerusakan lingkungan yang terjadi berkaitan dengan proyek Geothermal di Mataloko,” tegasnya.
Bahkan, kata warga, ujar Yosef, “PT SMI sendiri mengakui dampak lingkungan dari aktivitas geothermal ini, sebagaimana tertuang dalam dokumen berjudul (1) Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) (I. Asesmen Dampak Lingkungan dan Sosial) dan (2) “Land Acquisition and Resettlement Plan (LAPAP)” (I. “Pengadaan Tanah dan Rencana Pemukiman Kembali”).”
“Di situ juga tertera tulisan relokasi atau pemukiman kembali, demi menghindari dampak lingkungan dari proyek geothermal. Barangkali Bupati perlu membaca dokumen-dokumen itu. Selain itu dokumen itu juga menyebut adanya gas berbahaya H2S yang dihasilkan oleh pengeboran. Jadi tidak benar bahwa pengeboran tidak merusak lingkungan,” tambahnya.
BACA JUGA: JPIC OFM Desak Pemerintah Hentikan Proyek Geothermal Wae Sano
Lebih lanjut, hal yang juga dikritisi warga, jelas Yosef ialah klaim Dula yang mengaku mendukung karena telah diawali dengan sosialisasi oleh para ilmuwan geothermal.
“Kami melakukan penolakan justru setelah menyimak dengan baik materi sosialisasi, termasuk dokumen-dokumen perusahaan. Dalam sejumlah pertemuan dengan Perusahaan dan Pemerintah, kami juga sudah menyampaikan penolakan,” ujarnya.
Selain itu ialah terkait dengan studi banding ke Bandung, Jawa Barat. Menurut warga, Dula mengklaim seakan-akan dengan mengikuti studi banding, masyarkat otomatis menerima proyek geothermal.
“Untuk diketahui, kami justeru menolak berdasarkan hasil studi banding itu. Menurut kami, proyek geothermal Wae Sano sangat tidak mungkin bisa dilanjutkan sebab sumur-sumur pengeborannya persis terletak dalam ruang hidup kami sebagai warga setempat,” urainya.
Sementara di Bandung tempat perwakilan masyarakat dikirim untuk studi banding, tegasnya, “sumur pengeboran tidak berada di dalam pemukiman dan ruang hidup masyarakat.”
Terkait dengan perubahan sikap masyarakat yang awalnya setuju menjadi tidak setuju, menurutnya, terjadi karena mereka baru mengetahui bahwa sumur-sumur pengeboran geothermal itu persis terletak dalam ruang hidup kami.
BACA JUGA: Geothermal Picu Gempa Bumi, Elemen Masyarakat Desak Pemda Mabar Kaji Ulang Izin WKP Wae Sano
“Awalnya saat konsultasi publik tapap I pada tanggal 21 Maret 2017 oleh pihak PT SMI, kami belum tahu letak sumur-sumur pengeboran. Kami mulai menolak persis ketika pada tanggal 14 Mei 2018, pihak PT SMI menentukan letak sumur-sumur pengeboran itu yang berada persis di tengah ruang hidup kami,” jelasnya.
““Soal tuduhan Bupati bahwa kami menolak karena diprovokasi oleh mantan pejabat tertentu. Itu tuduhan yang tidak berdasar. Kami menolak perdasarkan pikiran dan kemauan sendiri, tidak diprovokasi oleh orang lain,” tambahnya.
Lebih lanjut, warga, ujar Yosef, juga mengkritisi klaim Dula jika ada masyarkat Wae Sano yang juga mendukung proyek itu. Menurut Erwin, masyarakat penolak sudah berjumlah 149 orang dan semuanya berasal dari tiga kampung, yakni Lempe, Nunang dan Dasak di mana di ketiga kampung itu, menjadi lokasi utama sumur-sumur pengeboran.
“Ada pun masyarakat yang setuju yang dipakai oleh Pihak PT SMI sebagai dasar untuk melaksanakan proyek ini, sebagian besar dari antara mereka berasal dari luar ketiga Kampung ini. Bahkan ada pula yang berasal dari luar Desa Wae Sano. Ada pun masyarakat dari tiga Kampung ini yang setuju, ruang hidup mereka berbeda dengan ruang hidup kami,” teranganya.
“Mereka adalah pegawai, sementara kami adalah petani,” tegasnya.
BACA JUGA: Tolak Geothermal, Warga Wae Sano: “Datang dari Jakarta, Jangan Bawa Omong Bodok”
Dula juga menuding masyarakat bahwa “kelompok masyarakat yang menolak meninggalkan ruangan sosialisasi sehingga tidak mendapatkan pengetahuan tentang hasil kajian Geothermal”.
“Kami menegaskan bahwa dalam forum sosialisasi pada Senin 10 Februari 2020 kami meninggalkan ruangan sosialisasi pada penghujung acara, yaitu jam 5 sore, karena merasa terus ditekan dalam forum. Justru Bupati Agustinus Dula sendiri yang meninggalkan forum sosialisasi lebih awal, yaitu pada jam 1 siang, persis setelah makan siang (4 jam sebelum kami meninggalkan forum itu),” jelasnya.
“Akibatnya, Bupati, dalam bahasanya sendiri, “tidak mendapatkan pengetahuan tentang hasil kajian Geothermal. Kami merasa bahwa untuk sosialisasi tgl 10 Februari, Bupati hanya mendengar informasi dari orang lain, dan informasi itu tidak benar,” tambhanya.
Hal yang juga menjadi catatan warga, urai Yosef ialah terkait tudingan kepada pihak Justice Peace and Integration of Creation (JPIC) dan Gereja di mana menurut Dula “sangat tidak mengerti pihak JPIC yang adalah gereja yang posisinya tidak adil, berdiri memihak kelompok kontra. Tidak memihak sedikit pun kepada kelompok pro dan kenapa tidak mengerti penjelasan para ahli.
”Kami merasa bahwa pihak JPIC sudah melakukan apa yang sebenarnya. Yaitu berpihak kepada kami masyarakat kecil yang kehidupannya sedang terancam; bukan kepada perusahaan atau kelompok yang mendukung perusahaan. Kami berharap bahwa Bupati berhenti mengkriminalisasi semua pihak yang sedang melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk masyarakat dan untuk lingkungan,” pungkasnya.
ARJ/Floresa