Virus ASF Kembali Serang Babi di Manggarai Barat, Warga yang Rugi Hingga Ratusan Juta Berharap Pemerintah Tak Sekadar Beri Imbauan

Selama beberapa tahun terakhir, virus ini terus muncul dan tidak ada upaya penanganan yang signifikan 

Baca Juga

Floresa.co – Agustinus Jamarin kehilangan potensi pendapatan Rp26 juta pada pada awal Januari tahun ini setelah belasan babinya mati.

Berusia 4-5 bulan, 13 ekor babi itu mati diserang virus demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF).

“Rata-rata harganya Rp2 juta per ekor,” ujar warga Desa Watu Rambung, Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat ini.

Pada wabah ASF tahun 2022 lalu, Agustinus juga mengalami hal yang sama. Enam  babinya mati karena virus yang belum ada vaksinnya ini.

Kala itu, cerita Agustinus yang berbicara dengan Floresa pada 29 Februari, potensi pendapatannya yang hilang mencapai sekitar Rp28 juta karena harga jual enam babi itu di pasaran Rp4 juta hingga Rp5 juta per ekor.

Pengalaman serupa juga terjadi pada babi milik Seminar St. Yohanes Paulus ll Labuan Bajo di Kecamatan Komodo.

Romo Yoan Enggo, yang bertugas di lembaga pendidikan calon imam Katolik itu, mengatakan seminari mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah pada tahun ini 22 babi peliharaan mereka mati pada Januari. 

Kerugian itu dihitung dari biaya operasional yang sudah dikeluarkan dan potensi pendapatan dari penjualan babi yang mati.

“Semua babi [yang mati] induk dan sedang bunting,” ujar Yoan kepada Floresa pada 1 Maret.

“Sekarang tidak ada babi yang tersisa, semuanya sudah mati,” tambahnya.

Ia berkata selama ini hasil penjualan babi digunakan untuk kebutuhan di seminari, setelah dikurangi biaya operasional pemeliharaan babi.

Tahun 2020, Yoan mengaku “ada belasan ekor induk babi yang sedang bunting juga mati karena virus dan saya juga mengalami kerugian hingga ratusan juta.”

Menurut Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Manggarai Barat, sejak Januari hingga Februari, sebanyak 85 ekor babi bergejala ASF dilaporkan mati di empat kecamatan yaitu Boleng, Komodo, Lembor, dan Lembor Selatan.

Dikutip dari Detik Bali, penyebab pasti kematian 85 ekor babi ini masih menunggu hasil pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) yang sampelnya sudah dikirim ke Balai Besar Veteriner Denpasar di Bali.

Namun, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Manggarai Barat, Abidin mengatakan, kematian 85 ekor babi itu “terindikasi ASF,” berdasarkan pemeriksaan dokter hewan.

Leksianus Jandu, Koordinator Pusat Kesehatan Hewan di Kecamatan Lembor Selatan berkata kepada Floresa pada 1 Maret, virus ASF mulai menyebar luas di wilayah kecamatan itu sejak awal Januari.

Untuk mencegah penyebaran lebih luas, menurut Leksianus,  pada 20 Januari dilakukan penyemprotan disinfektan pada kandang babi dan tempat makanan babi di Desa Watu Rambung dan Desa Lalong.

Di dua desa itu, kata Leksianus, ditemukan 14 babi yang mati karena terindikasi ASF.

Namun, meski sudah dua kali dilakukan penyemprotan, kata Leksianus,“tidak ada perubahan signifikan,” karena masih ada babi yang berguguran. 

Karena itu, menurut dia, saat ini upaya yang paling tepat dalam menangani virus ini adalah ”menghentikan lalu lintas jual beli ternak babi antardesa, kecamatan, bahkan antarkabupaten.” 

Selain melakukan penyemprotan disinfektan, sosialisasi juga dilakukan bekerja sama dengan pemerintah desa dan pihak gereja. 

Pengumuman rutin, jelasnya, dilakukan saat ibadah hari Minggu, selain pengumuman melalui kantor desa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

Apa Gejala Babi yang Terinfeksi?

Babi yang terinfeksi virus ASF memiliki beberapa gejala seperti demam tinggi, kehilangan nafsu makan, depresi, muntah, diare, abortus, radang sendi, pendarahan pada kulit dan organ dalam serta perubahan warna kulit menjadi ungu. 

Terkadang kematian dapat terjadi bahkan sebelum gejala-gejala ini muncul.

Beberapa gejala ini juga terjadi pada 13 babi yang mati milik Agustinus Jamarin. 

Ia mengatakan sebelum mati, babi-babinya itu kehilangan nafsu makan, badannya tampak lemas dan terasa panas ketika disentuh dengan tangan.

Hal serupa juga dialami oleh 22 ekor babi di Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo.

Selain tidak mau makan, kata Romo Yoan Enggo, babi-babinya itu juga muntah-muntah, kulitnya berubah warna menjadi merah dan kejang-kejang.

Agustinus menduga virus ASF kembali masuk ke kampunya pada awal tahun ini karena ada pihak tertentu yang membawa daging babi yang diduga sudah terserang virus ASF dari luar wilayahnya. 

Menurutnya, proses penularan pun terjadi begitu cepat karena hanya dalam hitungan hari ia harus menerima kenyataan pahit 13 babinya lenyap.

“Sejak virus muncul kembali, setiap hari selalu ada yang mati dan saya harus menggali tanah untuk menguburkan mereka,” ujarnya.

Harapan Peternak ke Pemerintah

Sementara virus ASF terus menyebar dengan cepat  di daratan Flores, peternak harus menerima kenyataan, virus ini belum memiliki penangkal alias vaksinya.

Satu-satunya upaya yang dilakukan saat ini adalah melalui biosekuriti.

Menurut Ida Bagus Ngurah Swacita dari  Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar, Bali [2017] biosekuriti merujuk pada serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencegah penyakit masuk ke dalam peternakan ataupun menyebar keluar peternakan.

Semua kegiatan dilakukan dengan tujuan memisahkan inang [ternak] dari bibit penyakit dan sebaliknya.

Agustinus mengatakan sebenarnya sudah rutin membersihkan kandang babinya selama ini. 

Hanya saja, pertahanan tetap jebol ketika ada daging babi dari luar wilayah – yang diduga sudah terjangkit – masuk ke desanya.

Menurut Agustinus, pembersihan kandang dengan penyemprotan disinfektan harus dilakukan dengan rutin.

“Jika tidak, virusnya akan tetap ada, karena upaya itu [penyemprotan kandang] sudah dilakukan, namun babi tetap terserang virus,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Yoan. Menurutnya, virus ASF akan mati jika intensitas penyemprot disinfektan dilakukan setiap hari.

Karena upaya biosekuriti masih bisa jebol, peternak kini berharap agar ada terobosan dari pemerintah.

Agustinus mengatakan, ternak babi merupakan salah satu sumber penghasilan yang bisa menopang ekonomi keluarganya. 

Karena itu, ia meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat agar tak sekedar menyampaikan imbauan kepada para peternak, tetapi juga mencari cara mengatasi virus ASF ini.

Ia meminta pemerintah melalui Petugas Kesehatan Hewan rutin melakukan penyuluhan dan sosialisasi ke setiap desa, sehingga sebelum virus muncul kembali, masyarakat sudah melakukan tindakan pencegahan.

Sementara Yoan berharap agar pemerintah mengupayakan penemuan vaksin penangkal virus ini. 

“Upaya pencegahan satu-satunya adalah dengan vaksinasi. Selama belum ada vaksin, maka ASF tetap ada,” katanya.

Editor: Peter Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini