Floresa.co – Rumah Baca Aksara [RBA], kolektif beranggotakan kaum muda di Ruteng, NTT bersama Floresa mengumumkan pemenang sayembara resensi film yang mengangkat kisah perjuangan warga adat Poco Leok menolak proyek geotermal.
Para pemenang resensi film berjudul ‘Sacrifice Geothermal?’ itu, menurut Arif Hidayatullah, Koordinator Program Sayembara, berasal dari perguruan tinggi dan beberapa SMA di Flores.
Sayembara terdiri atas dua kategori, yakni Penulisan Resensi dan Video Tanggapan Kritis berdurasi maksimal dua menit.
“Total terdapat 90 karya yang masuk dari dua kategori,” kata Arif.
Panitia menerapkan lima pemenang untuk kategori resensi dan tiga untuk video.
Pemenang pertama untuk resensi adalah Fransiska Kurnia dari Sekolah Tinggi Pastoral [Stipas] St. Sirilus Ruteng, Kabupaten Manggarai, dengan judul tulisan “Jeritan Yang Tak Terdengarkan”
Sementara untuk kategori video adalah Cordelia Elisabeth Primenes dari SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Sayembara ini dibuka pada bulan Januari 2025, dengan periode pendaftaran dan pengumpulan karya pada 13 Januari-15 Februari. Tahap penjurian berlangsung pada 16-28 Februari hingga pengumuman pemenang pada 6 Maret.
Juri untuk kategori pertama adalah Cypri Jehan Paju Dale, antropolog Universitas Wisconsin Madison, AS, dan Ryan Dagur, Pemimpin Umum Floresa.
Sementara juri kategori kedua adalah Geryl Ngalong, Koordinator RBA dan Gonsa Thundang, anggota Divisi Art dan Seni Pertunjukan RBA.
Arif berkata tulisan resensi para pemenang akan dipublikasikan di Majalah Cetak ImaZine milik RBA dan kolom KoLiterAksi di Floresa.co.
Penyelenggaraan sayembara, katanya, “berangkat dari keresahan terkait rendahnya budaya literasi di NTT.”
Ia merujuk pada temuan Kompas yang dipresentasikan dalam acara temu media oleh Balai Penjamin Mutu Pendidikan NTT di Kupang pada Oktober 2024, yang menyebut “banyak mahasiswa di Nusa Tenggara Timur belum lancar membaca.”
Kondisi tersebut, kata Arif, disinyalir terjadi karena “laju arus teknologi dan globalisasi yang dibarengi oleh sistem pendidikan yang lebih fokus pada penilaian yang dangkal pada segi prestasi akademik.”
“Aspek yang turut terdampak adalah lemahnya kemampuan berpikir kritis atau critical thinking, yang ditunjukkan dalam sikap tidak responsif dan kerap mengabaikan nilai moral serta etika,” kata Arif.
Ia menambahkan, kondisi sosial di NTT yang belakangan ini ramai oleh isu pembangunan yang justru menciptakan pemiskinan sistemik, kehancuran ekologi dan destruksi budaya juga menjadi motivasi penyelenggaraan sayembara.
Arsip Perjuangan dan Pengetahuan Warga Poco Leok
‘Sacrifice Geothermal?’ yang diproduksi RBA pada 2024, mengangkat kisah perjuangan warga adat dalam polemik proyek perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu di Poco Leok.
Fokus film ini adalah pengarsipan perjuangan warga sejak awal tahun 2023 yang getol melakukan berbagai aksi protes dan keterkaitannya dengan pengetahuan masyarakat sebagai dasar penolakan.
Dalam polemik proyek itu, kata Arif, pemerintah dan perusahaan PT PLN yang menjadi pengelolanya, terus melakukan upaya paksa.
Di balik agenda besar itu, lanjutnya, terdapat masalah pelik yang sering terabaikan, yaitu hak dan keberlanjutan hidup masyarakat adat yang tinggal di sekitar wilayah eksplorasi geotermal.
“Refleksi kita di sini adalah warga adat menjadi tumbal atau korban dari pemaksaan itu, di mana tanah, air dan serangkaian ruang hidup kultural mereka mau diambil alih,” katanya.
Undang-undang nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi, kata Arif, menjadi acuan pemerintah untuk melaksanakan Proyek Strategis Nasional [PSN] di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Poco Leok dan beberapa wilayah lain di Flores.
Hal ini terjadi menyusul penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi melalui SK Menteri ESDM Nomor: 2268 K/30/MEM/2017.
“Proyek geotermal Poco Leok telah menjadi satu dari sekian menu yang sedang diobral pemerintah kepada korporasi,” katanya.
Pada skala lokal di Kabupaten Manggarai, kata dia, masalah semakin pelik setelah Bupati Herybertus G. L. Nabit menerbitkan SK Penetapan Lokasi geotermal di Poco Leok pada Desember 2022.
“Film ini sekiranya menjadi rangkuman pengamatan, catatan, temuan dan hasil riset sederhana tentang dasar-dasar penolakan warga atas pembangunan geotermal yang memiliki slogan ramah lingkungan.”
Melalui film ini, jelasnya, penonton dirangsang untuk mendiskusikan secara kritis dasar-dasar penolakan warga, termasuk pertanyaan “untuk siapa proyek geotermal yang mesti meminggirkan keistimewaan pengetahuan masyarakat adat tentang identitas budaya, spiritualitas serta nilai etis secara kosmologi.”
“Menolak geotermal tidak berarti alergi dengan pembangunan, tetapi bagaimana pembangunan itu menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghargai sikap kritis warga untuk mempertanyakan adil tidaknya pembangunan tersebut,” katanya.
Wadah Menuangkan Perspektif Kritis
Fransiska Kurnia, pemenang pertama lomba resensi mengaku “bersyukur karena mendapat kesempatan untuk ikut terlibat dalam agenda ini.”
“Sebagai anak muda, saya bisa ikut menyuarakan perspektif saya terkait konflik geotermal di Poco Leok,” kata mahasiswi tingkat akhir di Sekolah Tinggi Pastoral Santo Sirilus Ruteng itu.
Ferny, sapaannya, berkata, ia memanfaatkan waktu singkat selama kurang lebih satu minggu untuk menonton film itu, kemudian menuangkan ide dalam tulisan.
“Saat sebelum tidur, saat makan ataupun saat setelah mengerjakan skripsi, saya selalu mengambil waktu sekitar satu jam setiap hari untuk menonton dengan baik, memahami konteks, kemudian membaca referensi dari berita maupun temuan-temuan lain tentang polemik geotermal,” katanya.
Faldo Mogu, pemenang kedua resensi berkata, sayembara tersebut adalah “kesempatan terbaik untuk kembali melihat, menyelami sekaligus mengkritisi proyek geotermal di Poco Leok.”
Faldo, yang menulis resensi berjudul “Sarifice Geothermal?: Narasi Keluhuran Tanah Yang Tenggelam Dalam Aktivitas Pembangunan” berkata, “saya terbawa emosi ketika menonton film ini dan bagi saya ini adalah hal menarik selama mengikuti lomba.”
Sementara Cordelia Elisabeth Primenes, pemenang kategori video berkata, “saya benar-benar berusaha untuk berpikir kritis mengingat isu itu, termasuk rumit karena perbedaan kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat.”
Perbedaan kepentingan itu, kata dia, tampak ketika pemerintah melakukan pembangunan geotermal dengan narasi mensejahterakan kehidupan masyarakat.
“Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat adat Poco Leok yang dekat dengan pusat pembangunan itu melihatnya justru mengancam ruang hidup mereka,” katanya.
Ryan Dagur, salah satu juri kategori penulisan resensi berkata “naskah-naskah dari peserta tidak hanya memahami dengan baik isi film, tapi juga kompleksitas persoalan geotermal di Poco Leok yang.”
“Hal itu terbaca dari ulasan mereka. Terlihat jelas bahwa mereka juga mencari tahu informasi-informasi lain soal proyek ini,” katanya.
Ia mengapresiasi antusiasme peserta serta inisiatif RBA yang mengambil “cara kreatif menyebarkan kesadaran kritis di kalangan teman-teman muda terhadap persoalan sosial yang dihadapi masyarakat kita.”
“Membawa soal-soal ini ke ruang-ruang kelas dan kampus menjadi cara terbaik untuk melahirkan generasi masa depan Flores yang berakar, yang tidak asing dengan pergulatan sesama saudara, terutama di kampung-kampung yang juga punya hak sama untuk mempertahankan apa yang terbaik bagi mereka,” katanya.
Berikut adalah daftar lengkap para pemenang:
Kategori Tulisan:
- Fransiska Kurnia dari Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) St. Sirilus Ruteng, Kabupaten Manggarai, dengan judul tulisan “Jeritan Yang Tak Terdengarkan”
- Faldo Mogu dari Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Kabupaten Sikka, dengan judul tulisan “Sarifice Geothermal?: Narasi Keluhuran Tanah Yang Tenggelam Dalam Aktivitas Pembangunan”
- Febriana Sharbe dan Yayumarthi Lo dari SMAK St. Fransiskus Xaverius Ruteng, Kabupaten Manggarai, dengan judul tulisan “Resensi Film Dokumenter Sacrifice Geothermal”
- Edgardus Kartono Patio Sebo dan Nikolaus Telentino Tawi dari SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu, Mataloko, Kabupaten Ngada, dengan judul tulisan “Budak Oligarki, Pembunuh Rakyat Sendiri”
- Griffith Nocelin Clarette Rosario Moan Bura, Michael Hasiholan Panjaitan dan Paulus Gratia Ria Yowe dari SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu, Mataloko, Kabupaten Ngada, dengan judul tulisan “Poco Leok Melawan! Tanah Leluhur Bukan Untuk Dijual”
Kategori Video:
- Cordelia Elisabeth Primenes dari SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng, Kabupaten Manggarai.
- Bertrandus Kurniawan Odos dan Andreas Lemba Raja dari SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu, Mataloko, Kabupaten Ngada.
- Apriliano Venansius Tae Godho, Valentino Andreas Noning Ndagu dan Kevin Christian Pakiding dari SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu, Mataloko, Kabupaten Ngada.
Editor: Anno Susabun