Floresa.co – Sangat menarik mendengar ucapan Lebu Raya ketika ditanya soal kerusakan jalan provinsi di Manggarai Timur pada bulan lalu. Terkait jalan provinsi yang masih rusak sepanjang 73 km itu, dia beralasan anggaran masih sangat terbatas.
Agar lebih menyakinkan, ia menjelaskan bahwa dengan pertimbangan anggaran tersebut, setiap tahunnya hanya bisa diperbaiki sekitar satu atau dua kilometer saja.
Apakah dengan demikian, warga Elar butuh penantian selama 73 tahun lagi? Lebu Raya berkilah, “Tidak harus begitu. Kalau besok kita punya dana banyak. Kita akan tambah.”
Meskipun jawabannya membuat pemakai jalur Bealaing-Mukun-Mbazang (Elar Selatan) semakin terpuruk, sepintas lalu, apa yang dikatakannya masuk akal. Pemimpin NTT selama 15 tahun ini memakai “nalar” keterbatasan anggaran sebagai sebab dari kerusakan jalan.
(BACA: Lebu Raya ‘Angkat Tangan’ Atasi Kerusakan Jalan Provinsi di Manggarai Timur)
Jika ditarik lebih lebih jauh, Lebu Raya seolah menggarisbawahi bahwa jumlah anggaran berbanding lurus dengan pembangunan. Semakin besar anggaran, semakin besar kemungkinan menikmati keistimewaan dalam pembangunan.
Oleh karena itu, siapapun juga (mungkin) merasa iba ketika memperhatian gubernur yang memasuki usia uzur ini mau tak mau melewati jalan rusak hanya demi bertemu dengan sebagian kecil warganya di Elar. Apalagi hal itu hanya karena keterbatasan anggaran
Namun, apakah keterbelakangan provinsi NTT karena keterbatasan anggaran? Apakah anggaran selalu menjadi faktor penentu dalam soal kesejahteraan atau gubernur sedang berdalih? Saatnya kita perluas topik ini.
Dua kasus berikut ini tidak hanya mematahkan jawaban itu, tetapi juga menyingkap jawaban lain.
Kasus Pantai Pede
Yang Pertama, dalam kasus yang paling santer, persoalan izin privatisasi Pantai Pede di Manggarai Barat (2012-sampai sekarang).
Dalam kasus itu, Gubernur Frans Lebu Raya terlihat gagal memahami “pembangunan” dalam alam demokrasi sebagai bentuk partisipasi, pemberdayaan, dan perkembangan yang utuh dan terintegarsi antara perkembangan ekonomi, politik, ekologi, sosial, budaya, dan spiritual.
Tidak bedanya dengan Orde Baru, ia masih mereduksi soal pembangunan hanya pada indikator-indikator ekonomi dengan pendekatan teknokrat (up-down).
Berkali-kali dalam sosialisasi, ia mereproduksi alasan-alasan yang sama seperti demi penyerapan tenaga kerja, menambah pendapatan daerah dan memanfaatkan aset pemerintah provinsi. Satu-satunya jalan, membuka jalan bagi investasi skala besar.
Bahkan jika diringkas, dalam gaya retoris dia hendak mau berkata, bagaimana menjalankan roda pemerintahan jika aset pemerintah tidak dikelolah?
Jika memeriksa logika-logika itu, rupanya masih perlu dipertanyakan sana-sini. Dari tahap kontruksi sampai pengoperasian, PT Sarana Invetama Manggabar tidak sampai mempekerjakan 500 orang.
Itu pun belum ditelisik lebih jauh soal upah yang diberikan; memenuhi rasa keadilan atau tidak. Apalagi, jika sepintas yang terlihat dari dokumen lingkungan, kualifikasi tenaga yang dibutuhkan lebih banyak di bidang kontruksi dan pekerjaan-pekerjaan yang mengandalkan tenaga terlatih.
Hal itu menunjukkan bahwa pembangunan yang ia bangga-banggakan belum sampai mengartikulasikan keterlibatan masyarakat lebih jauh dalam soal pariwisata. Padahal tuntutan seperti itu lebih mendesak di tengah gencarnya pertumbuhan bisnis pariwisata di Manggarai Barat.
Sementara itu, alasan yang sebenarnya lebih memalukan dari itu adalah soal nilai kontrak. Nilai kontrak selama 25 dengan PT SIM adalah Rp 1,3 milliar. Jika dibagikan ke dalam hitungan harian, nilai itu cukup menggelikan.
Dalam setahun, nilai kontrak itu sekitar Rp 52 juta. Dibagi ke dalam 12 bulan, sekitar Rp 4,3 juta per bulannya. Dalam hitungan harian, pendapatan daerah provinsi mendapat Rp 144,444.
Sekalipun mengikuti nalar ekonomi saja, pemikiran Lebu Raya sulit diterima. Mengorbankan fungsi Pede sebagai ruang publik, pemimpin dari lebih dari 5 juta penduduk ini rupanya bersikukuh hanya demi penghasilan Rp 144 ribu per hari.
Jika sedikit lebih kreatif dan “berpikir”, tanpa harus mengorbankan fungsi Pede sebagai ruang publik, pemprov mampu mengartikulasikan pertumbuhan ekonomi kelas bawah di Pantai Pede.
Pemprov hanya cukup menyediakan ruang-ruang ekonomi dan menarik retribusi atasnya dan pada saat bersamaan tidak mengorbankan nilai-nilai yang sudah terpupuk di Pantai Pede.
Singkatnya, dari kasus itu, apa yang membuat keterbelakangan NTT adalah ketidakbecusan nalar pembangunan dari Gubernur Frans Lebu Raya sendiri.
Kasus Korupsi
Yang kedua, masalah korupsi menjadi biang dari kelambanan pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tidak seperti keterbatasan anggaran, Lebu Raya dalam berbagai kesempatan jarang (tidak pernah) mengakui korupsi sebagai salah satu faktor utama.
Padahal kasus korupsi sudah menjadi momok yang mengerikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi NTT tercatat sebagai provinsi terkorup ketiga terbesar di Indonesia. Anehnya lagi, sepanjang periode 2008-2015, tercatat sekitar 300 kasus korupsi di NTT. Namun, baru 90 kasus diproses di pengadilan tindak pidana korupsi, sementara 210 kasus didiamkan sampai ke tahap penyelidikan.
Menariknya pula, kasus korupsi itu berbanding lurus dengan kenyataan miris di NTT. Dalam plesetan “Nanti Tuhan Tolong”, NTT sudah lama berkutat dengan persoalan-persoalan pelik seperti kemiskinan, human trafficking, busung lapar, gizi buruk, dan tingginya angka kematian ibu dan anak. Antara fenomena-fenomena itu terlihat saling menegaskan satu sama lain.
Sementara itu, patut dicatat beberapa kasus korupsi yang berada dalam wewenang pemerintah Provinsi. Misalnya saja, korupsi dana bantuan sosial tahun 2010/2010 yang nilainya mencapai Rp 74,7 milliar dan rumah pintar mubazir yang nilainya mencapai 4 milliar.
Dari fakta-fakta itu, bukankah korupsi harusnya menjadi frame utama dalam membicarakan keterpurukan pembangunan di NTT?
Diabaikannya korupsi sebagai faktor utama dari keterbelakangan itu, menunjukkan bahwa perilaku korup telah menjadi begitu banal sampai-sampai tak diperhitungkan.
Meskipun anggaran begitu besar jika perilaku korup tak pernah diantisipasi melalui langkah penegaakan hukum, sia-sialah menaruh harapan pada anggaran yang besar.
Kejujuran Pemimpin
Mengaitkan dengan kasus jalan tadi, sebetulnya gubernur NTT, Frans Lebu Raya tidak perlu membatasi diri hanya pada alasan anggaran. Ia bahkan terlampau menyederhanakan persoalan infrastruktur rusak hanya pada soal keterbatasan anggaran.
Sudah terbukti bahwa dalam kasus-kasus lain, justru terlihat kegagapan Lebu Raya mengartikulasikan pembangunan dalam alam demokrasi. Juga provinsi di bawah kepemimpinannya selama 15 tahun itu, justru teridap masalah korupsi yang kronis sampai-sampai hampir lebih dari separuh warganya menerima bantuan raskin, dana BLT, KIS, dan KIP.
Terlepas dari alasan-alasan lain, dua alasan itu juga bisa menjelaskan wajah buruk pembangunan di NTT yang terlihat dalam buruknya infrastruktur jalan dan fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sekit serta masalah-masalah kemiskinan, human trafficking, busung lapar, gizi buruk, tingginya kematian ibu dan anak.
Jika cukup bijak, ia sebetulnya perlu mengakui faktor-faktor lain itu dalam menjelaskan kemunduran NTT dalam semua lini dalam beberapa tahun terakhir. Kalau toh tidak mampu memberikan hasil terbaik dalam kinerja sebagai pemimpin, minimal masih bisa jujur dan mengakui kegagalannya.
Kalau itu juga tidak bisa, berharap saja Nanti Tuhan (benar-benar) Tolong! Itu doa rakyat NTT. (Gregorius Afioma/Floresa)