Labuan Bajo, Floresa.co – Bupati Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) Edistasius Endi angkat bicara terkait rencana pembangunan pariwisata Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPO LBF) yang mencaplok lahan milik warga.
Edi menegaskan, substansi kehadiran BPO LBF di wilayah kekuasaannya untuk mensejahterakan, bukan mencaplok lahan warga.
“Bukan mencaplok lahan yang selama ini digarap masyarakat, bukan itu substansi kehadirannya tetapi bagaimana supaya masyarakat lebih sejahtera,” kata Bupati Edi saat menerima pengaduan dari masyarakat adat Lancang, yang lahannya masuk dalam peta pembangunan pariwisata BPO Labuan Bajo Flores di Kantor Bupati pada Senin, 17 Mei 2021.
Selain sekitar 30-an pemilik lahan, Tua Golo Lancang, Theodorus Urus serta perwakilan dari Karang Taruna Reba Molas Compang Lancang turut hadir melaporkan masalah tersebut. Hadir juga perwakilan dari Kepala UPTD Kehutanan Mabar, Stefan Naftali serta Direktur Destinasi BPO LBF, Konstantinus Nandus.
BACA: Kebun dan Tanah Rumah Dicaplok Kehutanan dan BPO Labuan Bajo – Flores jadi Destinasi Wisata, Warga Adat Lapor ke Bupati dan DPRD
Bupati Edi sendiri mengaku tidak bisa membayangkan seandainya rencana pembangunan BPO LBF di atas lahan warga tersebut dilaksanakan. Pasalnya, masyarakat sudah menempati lahan tersebut sejak 1972.
“Kalau tiba-tiba BOP menguasai itu, masyarakat mau dibuang ke mana? Apa gunanya pembangunan kalau masyarakat disingkirkan dari ruang di mana mereka hidup,” ujarnya.
Ia menjelaskan, beberapa bidang lahan di wilayah itu juga sudah ada yang bersertifikat. Sementara itu, batas batas lahan warga dengan hutan masih jauh.
“Di satu sisi BPN (Badan Pertanahan Nasional-red) pernah keluarkan sertifikat yang notabene kalau lihat pal masih sangat jauh ke belakang,” ujarnya.
Ia menegaskan, kehadiran pemerintah, baik itu pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat termasuk di dalamnya ialah BPO LBF ialah untuk melindungi hak rakyat.
BACA: Hutan Bowosie dalam Ancaman Proyek Wisata
Ia pun meminta agar UPTD Kehutanan Mabar dan BPO Labuan Bajo Flores untuk sesegera mungkin menyelesaikan masalah tersebut.
“Cepat di-clear-kan supaya masyarakat tidak cemas dan putus asa. Stabilitas tidak terkendali. Kita harus memastikan, kehadiran siapun stabilitas daerah ini terjamin,” katanya.
“Tolong tunjukan di mana batas yang benar pal ini. Supaya masyarakat jangan dibuat seperti kelinci percobaan,” tegasnya.
Ia juga meminta agar BPO LBF menghentikan semua aktivitasnya di wilayah Lancang. “Teman-teman BPO, tolong aktivitasnya dihentikan dulu di daerah sana supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Direktur Destinasi BPO Labuan Bajo Flores, Konstan Mardinandus Nadus mengaku belum banyak memahami masalah tersebut.
“Saya belum bisa menjawab banyak hal. Jangan cemas,” ujarnya kepada warga yang hadir.
Sementara itu, Kepala UPTD Kehutanan Mabar Stefan Naftali menyampaikan bahwa persoalan tersebut sudah terjadi sejak tahun 2020. Menurutnya, terdapat beberapa bagian lahan, termasuk lahan warga Lancang yang masuk dalam peta kawasan hutan versi Surat Keputusan (SK) No 357 Tahun 2016.
“Namun, tahun lalu kita sudah fasilitasi warga Lancang untuk meluruskan itu. Garis seharusnya mengikuti tata batas tahun 1993-1997. Ada beberapa tempat yang sesuai. Pilarnya di tempat lain, garis petanya di tempat lain. Kami sudah sampaikan ke Dinas Kehutanan Provinsi,” kata Naftali.
BACA: Proyek Pariwisata BOP-LBF di atas 400 Hektar Hutan Bowosie – Labuan Bajo: Tanpa Amdal Hingga Keringanan Pajak untuk Perusahaan
“Dari hasil penelusuran kami tahun 2020 kami sudah laporkan ke Dinas Kehutanan Provinsi, mudah-mudahan setelah lebaran selesai. Kita mau meluruskan peta itu, di mana garisnya. Kekeliruannya di mana,” tambahnya.
Warga sendiri mengetahui masalah tersebut sejak tahun 2020 lalu. Beberapa dari antara mereka sudah mencoban untuk berkoordinasi dengan BPO LBF dan UPTD Kehutanan Mabar, namun tidak kunjugan selesai hingga memutuskan untuk melaporkannya kepada Bupati Edi.
Di atas lahan tersebut sudah ada bangunan rumah dari warga masyarakat Lancang, berbagai jenis tanaman serta mata air. “Lahan tersebut merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Lancang, Raba dan Wae Bo,” ujar Dami Odos, salah satu pemilik lahan.
Selain melaporkan kepada Bupati Edi, warga adat Lancang juga melaporkan masalah tersebut kepada anggota DPRD Mabar.
ARJ/Floresa