Floresa.co – Organisasi guru, Federasi Serikat Guru Indonesia [FSGI], memberikan atensi terhadap kasus kekerasan oleh guru di Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] Swasta Bina Karya Larantuka, Flores Timur, NTT.
Mendesak kepolisian untuk menuntaskan kasus ini, FSGI menyebut baik guru maupun pihak sekolah bisa dipidana atas tindakan tersebut.
Peristiwa kekerasan ini terjadi pada 2 Agustus. Terduga pelaku diidentifikasi sebagai Bruder Nelson, seorang biarawan Katolik yang merupakan pendidik di sekolah itu. Ia dilaporkan memerintahkan sejumlah siswa mencelupkan tangan ke dalam air panas, bagian dari bentuk pembinaan. Salah seorang di antara siswa itu kemudian tangannya melepuh. Foto-fotonya beredar luas di media sosial.
Dalam pernyataan tertulis yang diterima Floresa pada 6 Agustus, FSGI menegaskan, perbuatan guru, yang juga pengasuh asrama tersebut adalah pelanggaran hak anak dan juga pelanggaran Hak Asasi Manusia, mengingat Indonesia sudah merativikasi Konvenan Internasional Anti Penyiksaan.
Perbuatan tersebut juga melanggar Pasal 76 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yaitu melakukan kekerasan yang mengakibatkan luka berat dan cacat permanen pada anak korban, kata FSGGI.
“Pelaku dapat dituntut hukuman 15 tahun dan diperberat sepertiganya karena termasuk orang terdekat korban.”
Apalagi ini, menurut FSGI, ini adalah sekolah berasrama, dimana pengasuhan anak dipercayakan pada pihak sekolah.
Sekolah, menurut lembaga tersebut, juga dapat dikenakan pasal 54 UU Perlindungan Anak.
Pasal tersebut mewajibkan pihak sekolah melindungi peserta didik selama berada di lingkungan sekolah dari segala bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, maupun peserta didik.
SMK itu disebut FSGI, “lalai dan gagal melindungi anak.”
Sekolah juga dianggap melanggar Permendikbud No 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan D=di Satuan Pendidikan.
Meski kejadian berlangsung pada malam hari dan di ruang asrama, namun lingkungan itu adalah bagian dari sekolah, menurut lembaga tersebut.
“FSGI mendorong pihak kepolisian segera mengusut tuntas kasus ini sebagaimana dilaporkan orang tua korban, segera menahan terduga pelaku agar tidak menghilangkan barang bukti dan mempengaruhi peserta didik lain dalam pemeriksaan,” tulis FSGI.
FSGI juga mendorong kepolisian menggunakan UU Perlindungan Anak agar pelaku dapat dihukum berat.
Pemulihan anak korban baik dari sisi fisik maupun psikologis juga menjadi perhatian FSGI.
“Pemerintah daerah mesti turun tangan untuk memulihkan anak korbaen baik fisik maupun psikologis.”
Lembaga itu mendesak Dinas Kesehatan Provinsi NTT segera memulihkan kesehatan anak korban sebagai bentuk perlindungan khusus anak dalam UU Perlindungan Anak.
Jika memang diperlukan operasi untuk penanganan luka korban, maka seluruh biaya ditanggung pemerintah daerah.
FSGI juga mendorong Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (DP3A) Provinsi NTT untuk mendampingi anak korban selama pemeriksaan kepolisian dan juga memulihkan kondisi psikologis korban.
Dinas DP3A Provinsi NTT mesti melakukan asesmen psikologi dan psikososial ke peserta didik lain di sekolah berasrama tersebut karena ada dugaan juga mengalami kekerasan dalam bentuk yang lain saat proses pendidiplinan, kata FSGI.
“Hal ini untuk pembenahan kedepannya dan melindungi peserta didik lain dari berbagai bentuk kekerasan atas nama mendidik dan mendisiplinkan,” tulis lembaga itu.
“Dalam mendidik dan mendisiplinkan anak, sejatinya [dilakukan] tanpa kekerasan.”
Floresa menghubungi Kepala Urusan Kesiswaan di SMK itu pada 6 Agustus.
Namun, dia menyatakan, “sabar, kami masih menunggu proses,” tanpa menjelaskan lebih lanjut proses yang dimaksud.