ReportasePeristiwaKejati NTT Tetapkan Empat Tersangka Kasus Proyek Irigasi di Manggarai yang Diduga Rugikan Negara Lebih dari Dua Miliar

Kejati NTT Tetapkan Empat Tersangka Kasus Proyek Irigasi di Manggarai yang Diduga Rugikan Negara Lebih dari Dua Miliar

Kedua kontraktor proyek ini berbasis di Kota Kupang

Floresa.co – Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) menetapkan empat tersangka kasus dugaan korupsi proyek irigasi di Kabupaten Manggarai yang merugikan negara lebih dari Rp2 miliar.

Wakil Kepala Kejati NTT, Ikhwan Nul Hakim berkata pada 9 Mei, penetapan tersangka kasus proyek Irigasi Wae Ces I-IV itu terjadi usai penyidik menemukan bukti permulaan berupa keterangan saksi, ahli, surat dan petunjuk.

Para tersangka, kata dia, adalah A.S. Umbu Dangu dan Johanes Gomeks — keduanya merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK); Dionisius Wea, Direktur PT Kasih Sejati Perkasa dan Stevanus Kopong Miten, Direktur PT Decont Mitra Consulindo.

Proyek ini berada di bawah kewenangan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi NTT. 

PT Kasih Sejati Perkasa menjadi kontraktor pelaksana dan PT Decont Mitra Consulindo sebagai konsultan pengawas. Keduanya berbasis di Kota Kupang.

Menurut data Layanan Pengadaan Secara Elektronik yang diakses Floresa, anggaran proyek itu sebesar Rp4.638.900.000,00, dengan nilai kontrak Rp3.848.907.512,28 yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus.

Dikutip dari Detik.com, Ikhwan berkata, permasalahan terkait proyek ini dimulai sejak perencanaan, di mana A.S. Umbu Dangu tidak mengevaluasi dokumen perencanaan teknis yang digunakan untuk pelelangan. 

Dokumen tersebut, katanya, ternyata berasal dari hasil survei pada 2019 yang dilakukan oleh Kepala Seksi Pembangunan Irigasi di Dinas PUPR saat itu.

“Dokumen perencanaan tersebut langsung digunakan Pokja Dinas PUPR NTT untuk proses tender, tanpa pembaruan data kondisi eksisting,” katanya.

Setelah kontrak diteken pada 18 Maret 2021, kata dia, Dionisius Wea justru membuat perjanjian subkontrak dengan pihak lain dengan nilai kesepakatan Rp640.000 per/meter kubik item terpasang. 

Kendati tak merinci, ia menyebut kontrak tersebut berbeda dengan perjanjian awal.

“Dalam pelaksanaannya, pekerjaan fisik irigasi tidak sesuai dengan spesifikasi teknis dan item pekerjaan yang tertuang dalam kontrak maupun adendum,” katanya.

Ikhwan berkata, kendati tidak melakukan verifikasi teknis yang akurat di lapangan, Stevanus Kopong Miten tetap membuat laporan bulanan progres pelaksanaan proyek secara kumulatif.

Laporan itu “tanpa mencerminkan kondisi riil pekerjaan.”

Sementara itu, Johanes Gomeks, kata Ikhwan, tidak pernah turun ke lokasi pekerjaan untuk memastikan pelaksanaan kontrak berjalan sesuai ketentuan. 

Kendati demikian, ia tetap menandatangani dokumen serah terima pekerjaan atau PHO dengan menyatakan proyek telah selesai 100 persen.

“Padahal, back up data fisik 100 persen dari kontraktor tidak sesuai dengan adendum II dan tidak mencerminkan kondisi pekerjaan terpasang yang sebenarnya,” katanya.

Ikhwan berkata, perbuatan para tersangka menyebabkan kerugian keuangan negara mencapai Rp2,3 miliar. 

Indikasi kuat terjadinya penyimpangan itu, kata dia, menyebabkan proyek irigasi tersebut tidak maksimal dalam mendukung sektor pertanian dan ketahanan pangan di Manggarai. 

Ia berkata, para tersangka ditahan selama 20 hari ke depan di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Kupang.

Para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 dan subsidair Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Langsung Rusak Usai Dikerjakan

Pada Desember tahun lalu, Floresa pernah merilis laporan soal proyek irigasi yang terletak di sisi jalan raya Ruteng-Reo itu.

Hilarius Iluk, 64 tahun, petani di Kelurahan Tadong, Kecamatan Langke Rembong berkata, saluran irigasi  itu rusak di beberapa bagian, menyebabkan kekurangan air hingga kekeringan di lahan sawah miliknya di area Lingko Tango.

“Air bocor ke mana-mana karena bagian saluran irigasinya banyak yang rusak,” katanya kepada Floresa pada 2 Desember.

Pantauan Floresa di lokasi, tampak beberapa bagian saluran irigasi tersebut patah dan ambruk, sementara lantainya runtuh.

Irigasi Wae Ces di Kelurahan Tadong, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai sudah rusak kendati sempat direhab pada 2022. (Dokumentasi Mikael Jonaldi/Floresa.co)

Pada 29 November tahun lalu, penyidik Kejati NTT dan tim ahli dari Politeknik Negeri Kupang melakukan pemeriksaan lapangan terhadap kondisi proyek itu.

Dalam pemeriksaan itu, mereka menemukan ketidaksesuaian antara volume yang terpasang dengan dokumen back up data 100%. 

Selain itu, mereka menemukan tembok irigasi yang patah dan ambruk, “termasuk lantai saluran irigasi.”

Johanes Gomeks, PPK proyek tersebut sempat berkata kepada Floresa bahwa memang ada kelemahan dalam back up karena petugasnya tidak ada di lapangan.

“Kami dari PUPR juga memang seharusnya mengontrol back up itu. Cuma kelemahan kami, tidak memiliki anggaran cukup untuk melakukan pengawasan di lapangan, mungkin tidak teliti sehingga percaya saja,” katanya.

Ia juga menuding cuaca ekstrem dan kondisi alam di Wae Ces yang menyebabkan kerusakan saluran irigasi.

“Air dari jalan, dari sawah, semua masuk di saluran. Ketika air di saluran penuh, itu bisa merusak lantai dan sebagainya. Karena yang dia bawa itu batu, pasir, kayu dan sebagainya,” lanjutnya.

Tim penyidik dari Kejati NTT dan tim ahli dari Politeknik Negeri Kupang saat memeriksa kondisi irigasi Wae Ces pada 29 November 2024. (Dokumentasi Penatimor.com)

Sebelumnya, pada 17 Oktober, tim penyidik Tindak Pidana Khusus Kejati NTT, Fredy Simanjuntak dan Johanes Kardinto menggeledah Ruangan Bidang Sumber Daya Air Kantor PUPR NTT dan Biro Pengadaan Barang dan Jasa di Kantor Gubernur.

Penggeledahan mengacu pada hasil temuan bersama tim ahli saat memeriksa dan memverifikasi pekerjaan di lapangan. 

Beberapa di antara temuan itu adalah pengerjaan tidak sesuai Rencana Anggaran Biaya dan perubahan lokasi pengerjaan tanpa dasar justifikasi teknis.

“Seharusnya pekerjaan bongkar saluran kemudian pasang baru, tetapi dari hasil pemeriksaan dan keterangan masyarakat sekitar, yang terjadi mereka hanya tambal sulam,” kata Kusa Nope dari Politeknik Negeri Kupang.

Selain itu, “penyimpangan dalam penggunaan material yang kualitasnya sangat buruk, karena yang dipakai itu sirtu, bukan pasir.”

Johanes Gomeks sempat mempersoalkan temuan jaksa yang menyatakan kualitas saluran buruk karena yang digunakan bukan pasir melainkan sirtu, mengklaim bahwa “buktinya pekerjaan di lapangan itu rapi, tidak ada bolong-bolong.”

”Kalau ‘dibahasakan’ sirtu, saya agak ragu,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA