Sawah Mengering, Petani di Manggarai Keluhkan Kerusakan Irigasi yang Proyeknya tengah Diselidiki Kejati NTT

Beberapa bagian dinding saluran irigasi itu ambrol dan lantainya runtuh, membuat penanam tak bisa menggarap lahan

Floresa.co – Petani di Kabupaten Manggarai mengeluhkan kerusakan saluran irigasi di persawahan mereka yang tengah diselidiki Kejaksaan Tinggi NTT atas dugaan korupsi.

Hilarius Iluk, 64 tahun, petani Kelurahan Tadong, Kecamatan Langke Rembong berkata, saluran irigasi Wae Ces itu rusak di beberapa bagian, menyebabkan kekurangan air hingga kekeringan lahan sawah miliknya di area Lingko Tango.

“Air bocor ke mana-mana karena bagian saluran irigasinya banyak yang rusak,” katanya kepada Floresa pada 2 Desember.

Ia mengatakan dirinya bersama warga lain sempat merasa senang ketika mendengar rencana perbaikan saluran tersebut pada 2022.

“Tetapi ternyata yang terjadi hanya rehabilitasi, tambal sulam tembok lama,” katanya.

Hal senada disampaikan Maksimus Pantur, 71 tahun, yang mengatakan tiga petak sawahnya di Lingko Pela Koe tidak lagi dikerjakan sejak 2019 “karena air tidak lancar.”

“Mungkin ini sudah tahun kelima ketika sawah saya tidak dikerjakan. Irigasinya sempat diperbaiki, tetapi hanya sistem tambal saja,” katanya.

Maksimus juga berkata para petani beberapa kali mengadukan kerusakan saluran irigasi tersebut kepada Pemerintah Daerah Manggarai, “mulai zaman Bupati Christian Rotok sampai Hery Nabit.”

Rotok menjabat bupati pada 2005 hingga 2015, dilanjutkan Kamelus Deno hingga 2020. Sementara Nabit, yang menjabat sejak 2020, akan memasuki periode kedua selama 2024-2029.

“Mereka bilang supaya kami langsung ke Dinas PUPR Manggarai. Tetapi saat kami ke Dinas PUPR, mereka bilang bahwa saluran irigasi ini bukan proyek mereka,” katanya.

Pantauan Floresa di lokasi, tampak beberapa bagian saluran irigasi tersebut patah dan ambruk, sementara lantainya runtuh.

Diperiksa Kejati NTT

Daerah Irigasi Wae Ces yang terletak di sisi jalan raya Ruteng-Reo berada di bawah kewenangan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR] Provinsi NTT, sesuai data yang tercantum pada laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik [LPSE].

Proyek rehabilitasi saluran irigasi Wae Ces I-IV dikerjakan selama dua kali tahun anggaran, yakni pada 2021 dan 2022.

Proyek pada tahun anggaran 2021 dikerjakan oleh PT. Kasih Sejati Perkasa yang beralamat di Kelurahan Oepura, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang.

Menurut data LPSE yang diakses Floresa pada 3 Desember, pagu anggaran proyek itu sebesar Rp4.638.900.000,00, dengan nilai kontrak Rp3.848.907.512,28.

Sementara proyek kedua dikerjakan oleh CV. Calasanz Prima yang beralamat di Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. 

Pagu anggaran proyek kedua sebesar Rp2.240.000.000,00 dengan nilai kontrak Rp2.040.349.182,11.

Pemeriksaan lapangan yang dilakukan penyidik Kejati NTT dan tim ahli dari Politeknik Negeri Kupang pada 29 November menemukan ketidaksesuaian antara volume yang terpasang dengan dokumen back up data 100%.

Selain itu juga ditemukan tembok irigasi yang patah dan ambruk, “termasuk lantai saluran irigasi.”

Sebelumnya, pada 17 Oktober, tim penyidik Tindak Pidana Khusus Kejati NTT, Fredy Simanjuntak dan Johanes Kardinto melakukan penggeledahan di Ruangan Bidang Sumber Daya Air Kantor PUPR NTT dan Biro Pengadaan Barang dan Jasa di Kantor Gubernur.

Penggeledahan dilakukan berdasarkan hasil temuan bersama tim ahli saat melakukan pemeriksaan dan verifikasi pekerjaan di lapangan. Temuan mengindikasikan sejumlah penyimpangan yang mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi karena pengerjaan tidak sesuai Rencana Anggaran Biaya [RAB].

Dugaan penyimpangan lainnya adalah perubahan lokasi pengerjaan tanpa dasar justifikasi teknis.

“Seharusnya pekerjaan bongkar saluran kemudian pasang baru, tetapi dari hasil pemeriksaan dan keterangan masyarakat sekitar, yang terjadi, mereka hanya tambal sulam,” kata Kusa Nope dari Politeknik Negeri Kupang.

Selain itu, kata dia, “penyimpangan dalam penggunaan material yang kualitasnya sangat buruk, karena yang dipakai itu sirtu, bukan pasir.”

Tim penyidik dari Kejati NTT dan tim ahli dari Politeknik Negeri Kupang saat memeriksa kondisi irigasi Wae Ces pada 29 November 2024. (Dokumentasi Penatimor.com)

PPK Proyek Sebut Kerusakan karena Kondisi Alam

Floresa menghubungi Kepala Seksi Penyidikan Bidang Pidana Khusus Kejati NTT, Mourest Aryanto Kolobani pada 3 dan 4 Desember, namun ia tidak merespons pesan dan panggilan Whatsapp. 

Selain itu, Floresa juga meminta tanggapan Pelaksana Tugas [Plt] Kepala Dinas PUPR NTT, Benyamin Nahak pada 4 Desember, yang diresponsnya dengan mengarahkan Floresa untuk mengonfirmasi langsung ke Pejabat Pembuat Komitmen [PPK], Johanes Gomeks.

Sementara Johanes yang dihubungi Floresa pada hari yang sama berkata bahwa fokus pemeriksaan yang dilakukan tim ahli dan kejaksaan adalah saluran irigasi Wae Ces III, ruas 56 dan 67 dengan panjang 700-an meter.

“Karena ada beberapa subdaerah irigasi di situ yang kita kerjakan, yaitu Wae Ces 1 sampai 4.” katanya.

Terkait temuan jaksa, ia berkata “memang back up datanya kemarin ada kelemahannya. Kemungkinan, orang yang membuat back up data tidak ada di lapangan, hanya mendapat informasi.”

“Kami dari PUPR juga memang seharusnya mengontrol back up itu. Cuma kelemahan kami, tidak memiliki anggaran cukup untuk melakukan pengawasan di lapangan, mungkin tidak teliti sehingga percaya saja,” katanya.

Namun kendati mengakui kelemahan tersebut, ia berkata cuaca ekstrem dan kondisi alam di Wae Ces yang menyebabkan kerusakan saluran irigasi.

“Tetapi saya melihat [temuan] itu sebenarnya bukan soal kualitas pekerjaan tetapi memang kondisi alam yang memungkinkan dia mengalami kerusakan,” kata Johanes.

“Air dari jalan, dari sawah, semua masuk di saluran. Ketika air di saluran penuh, itu bisa merusak lantai dan sebagainya. Karena yang dia bawa itu batu, pasir, kayu dan sebagainya,” lanjutnya.

Dinas PUPR, kata Johanes, “sangat mengharapkan kontraktor ada di lapangan” supaya bisa menjelaskan secara detail proses pengerjaannya. 

Terkait penilaian masyarakat, Johanes berkata sudah berdiskusi dengan tenaga ahli maupun kejaksaan untuk bertemu langsung kontraktor di Kupang.

“Ini kan penilaian masyarakat. Mereka lihat sehari, balik baru langsung menyimpulkan. Tapi intinya, kami sudah berusaha untuk bekerja secara maksimal,” kata Johanes.

Johanes juga mempersoalkan temuan jaksa yang menyatakan kualitas saluran buruk karena yang digunakan bukan pasir melainkan sirtu.

“Sirtu itu kan pasir batu. Dan itu kan ‘bahasanya’ mereka. Tapi buktinya pekerjaan di lapangan itu rapi, tidak ada bolong-bolong,” katanya.

“Sirtu itu komposisinya pasir dan batu, berarti dominannya batu. Tapi kalau pasir akan rapat dan rapi. Yang saya lihat di lapangan, itu rapi, artinya kalau ‘dibahasakan’ sirtu, saya agak ragu,” lanjutnya.

Perlu Renovasi Mulai dari Bendungan

Yan Romas, 71 tahun, petani lainnya yang berbicara kepada Floresa mengatakan pengerjaan proyek tersebut “sejak awal kesannya terburu-buru dan tidak terbuka.”

“Tidak ada papan proyek, sehingga batasnya kan kita tidak tahu, dengar-dengar anggarannya Rp3 miliar. Sekarang baru ketahuan bahwa ada temuan [dugaan korupsi],” kata Yan yang juga Ketua Kelompok Tani Raci Makmur Sejahtera, Kelurahan Tadong.

Ia menyesalkan proyek tersebut yang menelan anggaran miliaran, tetapi “belum satu tahun sudah rusak konstruksi, terutama lantainya.”

Romas yang juga menjadi pengurus Perkumpulan Petani Pemakai Air [P3A] mengaku pernah mengusulkan kepada Dinas PUPR NTT agar pengerjaan saluran “dimulai dari bendungan” yang terletak di Kelurahan Karot, berjarak sekitar 3,3 kilometer.

P3A adalah lembaga pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air di suatu daerah layanan atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani, menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 33/PRT/M/2007 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A.

“Bendungannya itu sudah terlalu tua, mungkin sudah umur 50-an tahun. Kami masih SD, sudah ada itu bendungan,” kata Romas.

Maksimus Pantur berkata, rehabilitasi bendungan lebih penting karena “posisinya lebih rendah ketimbang saluran irigasi.”

“Air pada akhirnya tertimbun di bendungan karena tanah di samping irigasi juga lebih tinggi. Saat musim hujan, tanah masuk ke irigasi, tersumbat dan tambah tertimbun lagi,” kata Maksimus.

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA