Floresa.co – Festival ‘Maumerelogia 5’ yang digelar di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, NTT pada 15-24 Mei mengangkat tema seputar identitas ruang hidup dan kebudayaan warga setempat, bagian dari upaya perlawanan kolektif terhadap warisan “lubang-lubang akibat kolonialisme” di wilayah itu.
Diinisiasi oleh Komunitas KAHE, kolektif yang bergerak di bidang kesenian dan budaya berbasis di Maumere, Maumerelogia 5 menampilkan beragam kegiatan, di antaranya pertunjukan musik, teater, pameran seni rupa dan kuliah umum serta diskusi publik.
Kegiatan tersebut digelar di sejumlah titik, mulai dari Rumah Jabatan Bupati Sikka, Area Car Free Night dan Pusat Jajanan di Jalan El Tari hingga Aula Karmel Wairklau dan Aula Kampus II Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero.
Panitia kegiatan berkata dalam konferensi pers di Rumah Jabatan Bupati Sikka pada 15 Mei bahwa Maumerelogia 5 merupakan lanjutan pagelaran tahunan sejak 2015, yang sempat batal beberapa edisi akibat pandemi Covid-19.
“Pada edisi kelima tahun ini, Maumerelogia dirancang dengan cakupan tema yang lebih luas: kultur, kota, kita, dengan paradigma festival seni sebagai kajian masyarakat yang digarap selama sepuluh tahun ke depan,” kata panitia.
Panitia juga berkata, Maumerelogia 5 “bukan hanya pameran kesenian sebagai bentuk estetik, tetapi juga suatu upaya politik untuk mendorong pengalaman otonom demi menangguhkan dominasi sistem yang menjajah.”
“Kesenian sebagai sebuah alat estetik yang cair, intens juga komunikatif diharapkan bisa menjadi wadah yang santai untuk membicarakan sejarah Maumere tidak hanya sebagai ‘kota yang lahir secara konstruksional‘, tetapi juga sebagai ‘medan kebudayaan’, menjadi ruang aktivitas warga yang turut membentuk identitas dan kebudayaan itu sendiri.”
Eka Putra Nggalu, Kurator Pameran yang juga Koordinator Komunitas KAHE mengatakan festival tersebut diinisiasi untuk mengangkat “Maumere sebagai kota warisan kolonial” yang “sejarahnya selalu punya tegangan kekuatan politik dominan.”
Eka menjelaskan, Maumerelogia 5 menggunakan frasa “jalan-jalan berlubang,” yang terinspirasi dari judul salah satu lagu ciptaan Papache, seorang musisi dan produser musik Maumere yang karya-karyanya santer beredar di awal tahun 2000-an.
“Lirik serta cerita di balik lagu ini tentang pulang, kampung, juga suasana tentang medan yang ‘berlubang-lubang,’ dimaknai sebagai proses untuk melihat sejarah Maumere juga disusun berdasarkan ‘agenda politis yang tidak bebas nilai,’” katanya.
Festival tersebut, lanjutnya, ingin menghadirkan percakapan terkait Maumere yang jarang dilihat sebagai produk kolonial “yang mewarisi lubang-lubang akibat kolonialisme”.
“Rangkaian permasalahan tentang politik identitas, dinamika negara-agama yang dominan, problem ekologi juga kenyataan ekonomi kapitalis yang nyata dalam perampasan lahan, berusaha dilihat dan dibicarakan dalam pagelaran festival,” katanya.
Terkait masalah monopoli ruang dan perampasan lahan, Feni Kusuma, Manajer Program Maumerelogia mencontohkan konflik agraria yang melibatkan PT Krisrama, korporasi milik Gereja Keuskupan Maumere dan warga adat dari Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai di Nangahale, wilayah timur Sikka.
Feni berkata, perlawanan warga adat di Nangahale hingga kini merupakan akibat dari “monopoli tanah dan aset oleh Misi Gereja Katolik sejak era kolonial”.
Persoalan tersebut, kata Feni, diangkat sebagai hasil riset Komunitas KAHE sejak 2019, termasuk dinamika masyarakat nelayan marjinal di pesisir Wuring.
Persoalan lainnya adalah politik pemisahan identitas warisan kolonial: Barat-Timur, Sikka-Kangae, yang selanjutnya direproduksi oleh pemerintah Orde Baru.
Selain itu, lanjut Feni, peristiwa pembantaian massal 1965 juga mempengaruhi “masyarakat di Kota Maumere berinteraksi sampai sekarang.”
“Ada juga riset bertajuk ‘Cerita-cerita Keberagaman’, yang beranjak pada riset arsip-arsip Perwakas (Persatuan Waria Kabupaten Sikka), sebuah kelompok ragam gender yang sudah ada sejak 1980 di Maumere,” katanya.
Bangun Solidaritas
Feni berkata, Maumerelogia 5 digagas untuk membangun solidaritas di antara semua kelompok yang terlibat melalui forum diskusi publik, seminar, talkshow, peluncuran buku, nonton bareng film, tur kota dan presentasi kuliner.
“Programnya banyak karena kami ingin menjangkau publik yang inklusif di mana semua orang bisa menikmati festival ini,” kata Feni.
Festival itu juga membuka kesempatan bagi lima orang seniman dari Jayapura, Madura, Surabaya, dan Yogyakarta untuk melakukan residensi di Maumere. Hasil riset selama residensi akan dipresentasikan dalam program pertunjukan.
Eka Putra Nggalu menambahkan festival itu dikerjakan dengan semangat kolaborasi antarwarga, “di mana warga bisa berbincang tentang isu, modal dan potensi yang ada pada mereka.”
“Maumerelogia 5 ingin ditumbuhkan dengan semangat dialog kritis antarwarga di ruang hidupnya sendiri. Orang bisa bicara tentang perampasan tanah, penggusuran pemukiman, pemusnahan terhadap hak-hak masyarakat adat, krisis iklim, serta perempuan dan minoritas gender bisa bicara soal hak mereka di ruang aman,” kata Eka.
“Kami ingin melihat perubahan apa yang terjadi di Maumere dan dunia hari ini,” lanjutnya.
Sementara Carlin Karmadina, Kurator Forum Gagasan festival tersebut menjelaskan Maumerelogia 5 “hendak membaca Maumere sebagai ruang pascakolonial.”
“Ada tegangan-tegangan antara tradisi dan modernitas. Maumere tidak sepenuhnya kampung, tidak juga sepenuhnya kota,” katanya.
Festival tersebut, kata Carlin, merupakan suatu pernyataan ‘jalan pulang’ untuk melihat “seluruh konteks kultur, kota, dan kita” hari ini.
“Maumerelogia 5 dengan demikian tidak hanya dirayakan sebagai pesta, tetapi juga sebagai sebuah gestur dekolonial, sebagai perlawanan atau resistensi,” kata Carlin.
Ia menambahkan, informasi publik lain terkait festival tersebut dapat diakses melalui laman maumerelogia.com dan media sosial Instagram serta Facebook.
Editor: Anno Susabun