Lahan 400 hektar di Hutan Bowosie sedang dipromosikan sebagai lokasi bisnis pariwisata dengan target investasi 800 miliar rupiah. Di sisi lain, konflik masih belum selesai dengan sejumlah kelompok warga yang ikut mengklaim sebagian lahan itu.
Persoalan Bowosie sebetulnya bukan saja soal konsep pariwisata yang pro-kapitalis, tetapi yang lebih parah ialah bagaimana agenda bisnis orang-orang kuat yang meng-capture kekuasaan. Ketakutan akan ada agenda diskriminasi terhadap hak-hak masyarakat lokal begitu kuat, karena di atas tanah leluhur masyarakat, negara “menggadaikan” hak-hak masyarakat untuk kepentingan korporasi.
"Membaca kasus Racang Buka, kita dapat menarik benang merah antara dominasi negara neoliberal dan penghancuran ruang hidup warga. Maraknya investasi sektor privat menunjukkan bahwa negara tidak lagi menjadi wadah penjamin kesejahteraan, tetapi malah menjadi racun bagi hidup warganya."
Desakan itu diutarakan warga Desa Gorontalo karena BPO-LBF turut mengklaim wilayah APL Bowosie yang sudah menjadi pemukiman dan lahan pertanian mereka. Wilayah itu, oleh BPO-LBF rencananya akan dijadikan destinasi wisata ekslusif. Bahkan lembaga yang dipimpin Shana Fatina itu berani menanam pilar tanpa berkoordinasi dengan mereka.
Labuan Bajo, Floresa.co - Memaknai Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh setiap tanggal 20 Mei, Orang Muda Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur akan...
Labuan Bajo, Floresa.co - Bupati Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) Edistasius Endi angkat bicara terkait rencana pembangunan pariwisata Badan Pelaksana Otorita Labuan...
Penolakan warga terhadap peta Dinas Kehutanan dan BPO Labuan Bajo Flores karena warga adat Lancang, Wae Bo dan Raba telah menguasai lahan tersebut sejak tahun 1972. Di atas lahan tersebut sudah ada bangunan rumah dari warga masyarakat Lancang, berbagai jenis tanaman serta mata air.