Kasus Edi Endi dkk: Antara Judi dan Korupsi

Floresa.co – Jumat jelang malam, 15 April 2016, kabar heboh datang dari kota Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) – Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Enam orang – sebelumnya disebut lima – tertangkap tangan oleh Polres Mabar sedang berjudi kartu di sebuah rumah di ruas jalan Patung Caci menuju Wae Kesambi.

Mereka yang ditangkap ini bukan masyarakat biasa. Mereka punya jabatan strategis, baik di pemerintahan maupun di tengah masyarakat.

Data dari kepolisian, mereka adalah Edi Endi, anggota DPRD dari Fraksi Golkar; Ovan Adu, Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum; Aven Jesman, Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD); Tan Hasiman, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Amanat Nasional (PAN) Mabar; Ferdi Setia, seorang kontraktor dan Teus, seorang anggota polisi.

BACA JUGA: Ditangkap Terkait Kasus Judi, Edi Endi Terancam Dipecat

Dari enam orang ini, lima diantaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polres Mabar. Sedangkan Aven Jesman masih berstatus sebagai saksi karena saat penangkapan berlangsung, meski ada di tempat kejadian, ia tidak sedang ikut berjudi.

Judi memang dilarang baik dalam agama maupun hukum positif. Dalam Agama Katolik misalnya, saat pembaharuan janji babtis ketika upacara Malam Paskah, judi merupakan salah satu perbuatan yang dijanjikan untuk ditolak.

Dalam hukum positif, perbuatan judi juga dilarang. Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa “Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.”

Undang-Undang yang mengatur soal perjudian adalah UU No 7 tahun 1974 tentang penertiban perjudian. Pasal 1 UU ini menegaskan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.

Dalam pasal dua disebutkan bahwa ancaman hukuman untuk tindak pidana perjudian adalah penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.

Seperti banyak tindak pidana lainnya, meski sudah banyak yang tahu itu kejahatan dan bila dilakukan akan mendapat konsekuensi hukum, tetapi masih banyak orang yang tetap melakukannya. Entah karena khilaf atau juga karena dilakukan dengan penuh kesengajaan dan kesadaran penuh.

Enam orang yang ditangkap di Mabar, bila mereka rajin membaca media, tentu tahu bahwa Kepolisian di NTT termasuk Mabar sedang gencar-gencarnya memberantas perjudian, baik kartu maupun kupon putih.

BACA JUGA: Di NTT, Polres Manggarai Paling Rajin Berantas Perjudian

Bahkan pada awal tahun ini di Manggarai heboh dengan pemberitaan PNS dan mantan anggota dewan yang juga tertangkap bermain judi. Di Mabar pada Januari lalu juga ada berita soal penangkapan pelaku judi di sebuah rumah.

BACA JUGA: Polisi Bekuk Tiga Pelaku Judi di Labuan Bajo

Tetapi, mengapa Endi Endi Cs tetap melakukannya? Rasanya sulit dimengerti bila meja judi menjadi sarana mereka mencari uang.

Karena toh, dari profil, mereka termasuk orang berada. Lantas kenapa? Sekedar rekreasi melepas penat dari banyaknya masalah di pemerintahan? Entahlah.

Setidaknya kabar penangkapan mereka ini menjadi pelajaran bagi yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama atau setidaknya-tidak bila kebelet melakukan, tetapi ekstra waspada.

Namun, ada catatan bagi kepolisian, kenapa kok cuma garang dengan berantas kejahatan perjudian? Bila dilihat dari dampak, tindakan kejahatan perjudian relatif tidak merugikan banyak pihak.
BACA JUGA: Kilas Balik Pengusutan Dugaan Korupsi Lando-Noa oleh Polres Manggarai Barat

Harusnya, Polres Mabar juga garang memberantas tindak kejahatan korupsi yang nyata-nyata merugikan masyarakat banyak. Sejumlah kasus dugaan korupsi hingga kini masih belum jelas penyelesaiannya, meski sudah masuk ke tahap penyidikan.

Sebut saja misalnya, kasus dugaan korupsi proyek ruas jalan Lando-Noa. Kasus ini sudah dinaikan statusnya ke penyidikan sejak September 2015. Sudah banyak saksi yang diperiksa. Dan, menarik bahwa salah satunya adalah Ovan Adu yang pada Jumat lalu juga ikut diseret.

Ada juga proyek infrastruktur yang didanai APBD Mabar yang dilaporkan mangkrak alias tidak dikerjakan hingga tuntas. Polisi harusnya gesit mengendus kemungkinan adanya tindak pidana korupsi pada proyek-proyek itu.

Contoh lain adalah proyek jembatan Wae Mege di Desa Watu Tiri, Kecamatan Lembor Selatan.

Proyek dengan anggaran Rp 3 miliar ini dari APBD tahun 2014 itu, pengerjaannya terbengkelai alias mangkrak karena dana yang dianggarkan tak cukup.

Dana yang sudah dihabiskan untuk mengerjakan sebagian jembatan itu sebesar Rp 1,57 miliar. Proyek ini diduga dikerjakan oleh perusahaan yang dimiliki salah satu anggota dewan. Nama Edi Endi pernah disebut ada di baliknya.

BACA JUGA: Proyek Jembatan Mangkrak di Lembor Selatan Diduga Milik Anggota Dewan Mabar

Masih banyak lagi kasus lain yang diduga kental dengan aroma korupsi. Tetapi, entah kenapa, para penegak hukum masih gagal menunjukkan kegarangan mereka, seperti saat menangkap pelaku judi. (Redaksi Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini