Labuan Bajo, Floresa.co – Pemerintah berjanji akan mengembalikan kebun dan tanah rumah milik warga adat Lancang, di Kelurahan Wae Kelambu – Labuan Bajo yang ‘dihutankan’ untuk dijadikan destinasi wisata yang akan dikelola oleh Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO–LBF].
Hal itu merupakan hasil kesepakatan ‘lisan’ antar Warga Adat Lancang dengan unsur pemerintah dalam rapat terbatas yang digelar di Bandara Udara Komodo Labuan Bajo pada Kamis pagi, 19 Agustus 2021.
Perwakilan Warga Adat Lancang yang hadir ialah Tua Golo Theodorus Urus serta jajaran tokoh masyarakat antara lain Bertolo Bahoten, Gaba Gambur dan Yohanes Sahidin.
Sementara dari unsur pemerintah ada Bupati Manggarai Barat [Mabar] Edistasius Endi, Direktur Pemetaan Kementerian ATR BPN Yuli Mardiono, perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], serta perwakilan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi.
Hadir juga Kepala UPTD Kehutanan Mabar, Stefanus Naftali serta Direktur Utama BPO-LBF Shana Fatina, Direktur Destinasi Konstan Mardianus dan lainnya.
Pantauan Floresa.co, Konstan tiba di Bandara Komodo sekitar pukul 07.00 Wita, menggunakan kendaraan dinas – Kijang Innova hitam, tipe 2.0 G dengan nomor polisi B1424 PQF. Nampak Konstan didampingi oleh dua rekannya.
Lalu, disusul oleh Shana Fatina yang menggunakan kendaraan dinas – Fortuner hitam dengan nomor polisi B 1142 PQI. Sementara Bupati Edi sendiri baru tiba sekitar pukul 07.50.
Pertemuan itu digelar di ruang VIP Bandara Udara Komodo, dimuali sekitar pukul 07.55 Wita yang dipimpin oleh Bupati Edi. Membuka pertemuan tersebut, Edi menuturkan secara ringkas sejarah Komunitas Adat Lancang.
“Di sini ada Tua Golo [Lancang]. Tua Golo di Lancang [berada] di bawah Kedaluan Nggorang. Satu-satunya Tua Golo yang didaulat resmi oleh Dalu. Dalu di pemerintahan ialah camat,” tutur Edi di hadapan pihak kementerian dan BPO-LBF.
“Dari tahun 1940-an, mereka sudah diberi kuasa untuk menguasai dan menata sebuah kawasan atau sebuah wilayah itu karena fatwa dari Dalu,” tambahnya.
Lebih lanjut, Edi menjelaskan, pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut dari laporan Warga Adat Lancang yang dilakukan pada 19 Mei 2020 kepada pihaknya dan DPRD setempat.
Akhirnya, aku Edi, pihaknya berkoordinasi dengan UPTD Kehutanan Mabar, BPO-LBF, KLHK dan Kemenko Maritim dan Investasi hingga digelarnya pertemuan tersebut.
BACA: Proyek Pariwisata BOP-LBF di atas 400 Hektar Hutan Bowosie – Labuan Bajo: Tanpa Amdal Hingga Keringanan Pajak untuk Perusahaan
Edi menjelaskan, musabab masalah yang menimpa warga adat Lancang itu ialah Surat Keputusan [SK] Tentang Kehutanan di Mabar bernomor 377 Tahun 2016. Melalui SK tersebut, kebun bahkan rumah mereka menjadi wilayah hutan yang kemudian oleh BPO-LBF akan dijadikan destinasi wisata.
Sementara, acuan yang dipakai warga terkait batas hutan ialah Pal Belanda yang masih berjarak sekitar 100 meter dari titik terakhir kebun mereka.
“[Batas] yang [tertera] pada [SK] tahun 2016 itu sudah bergeser. Malah semakin ke depan [sampai di perkampungan]. Posisi rumah yang mereka tempati beberapanya itu, termasuk mata air yang di Lancang masuk dalam wilayah hutan,” jelasnya.
Edi juga menyinggung jika tanah miliknya juga menjadi bagian dari belasan hektar wilayah yang dihutankan melaui SK 2016 tersebut. “Di satu sisi, ada beberapa yang punya tanah di situ, sudah punya sertifikat. Salah satunya punya saya, saya omong lurus saja. Itu sertifikatnya di tahun 2006,” ujarnya.
Meskipun demikian, Edi sendiri belum bisa memastikan janji membebaskan kebun dan tanah rumah seluas sekitar belasan hektar itu dari kawasan hutan yang akan dikelola BPO-LBF itu akan direalisasikan.
“Yang pasti pemerintah serius untuk menangani itu. Diusulkan supaya itu dikembalikan ke Pal Belanda. Dan kita optimis pemerintah pusat akan merespons ini secara baik,” ujarnya.
BACA: Catatan Tentang Lahan 400 Hektar BOP Labuan Bajo Flores
Senada dengan Edi, Shana Fatina juga mengakui akar masalah ini ialah SK Nomor 377 Tahun 2016. Pertemuan ini, kata dia sebagai upaya dari pihaknya untuk mengkomunikasikan masalah tersebut dengan pihak KLHK guna mendapatkan solusi.
“Akan berproses kembali ke sana [Pal Belanda]. Memang ga cepat sih, tetapi kita akan usahakan,” ujarnya.
Penelusuran Floresa.co, SK Nomor 377 Tahun 2016 tersebut diterbitkan dua tahun sebelum Peraturan Presiden [Perpres] Nomor 32 Tahun 2018 Tentang BPO-LBF disahkan.
Perpres ini yang menjadi landansan lembaga yang dipimpin Shana Fatina itu ‘mengklaim’ 400 hektar lahan hutan Bowosie – penyangga kota Labuan Bajo. Di kawasan 400 hektar ini, terdapat juga kebun dan tanah rumah warga adat Lancang.
Melalui SK 377 Tahun 2016 juga terdapat sekitar 38 hektar wilayah hutan dikeluarkan dari kawasan hutan atau disebut wilayah Area Penggunaan Lain atau APL. Wilayah APL ini masuk dalam administrasi Desa Gorontalo tepatnya di sebelah atas SPBU Pasar Baru dan Wae Nahi.
SK 377 Tahun 2016 ini sendiri menggantikan SK Nomor 3911 Tahun 2014. Pada SK 3911 Tahun 2014 batas-batas hutan mengacu kepada tata batas yang dibuat antar tahun 1993-1997.
Selain kedua SK tersebut, ada juga SK yang diterbitkan tahun 2018. Meskipun tidak ada perubahan di wilayah Labuan Bajo, tetapi di wilayah Boleng, terdapat sekitar ratusan hektar hutan yang juga dibebaskan dari kawasan hutan.
Tuntutan Warga: Kembali ke Pal Belanda dan Tolak Hutan Bowosie jadi Tempat Wisata
Sementara, Tua Golo Lancang, Thorodorus Urus mengapresiasi langkah yang sudah diambil oleh pemerintah melalui pertemuan tersebut meskipun sedikit kecewa karena manuver pihak Kehutanan dan BPO-LBF sudah cukup menggangu kenyamanan warga adat Lancang.
“Ini jalan terbaik. Saya cerita semua [kepada unsur pemerintah yang hadir]. Kami tidak merusak nama pemerintah, tidak merambah sembarang itu hutan [Bowosie],” ujar kepada Floresa.co sesaat setelah pertemuan tersebut.
Theodorus pun meminta agar pemerintah secepatnya menyelesaikan persoalan ini agar masyarakat bisa kembali hidup tenteram dan dapat beraktifitas seperti biasa.
“Harapan kami untuk kembali ke Pal Belanda. Tadi sudah disampaikan pada pertemuan,” ujarnya.
Selain meminta mengembalikan lahan warga yang ‘dihutankan’, dalam forum itu, Theodorus juga menolak rencana menjadikan hutan Bowosie, yang berada tepat di atas perkampungan masyarakat adat Lancang sebagai destinasi pariwisata sebagaimana yang direncanakan oleh BPO-LBF.
BACA: Kebun dan Tanah Rumah Dicaplok Kehutanan dan BPO Labuan Bajo – Flores jadi Destinasi Wisata, Warga Adat Lapor ke Bupati dan DPRD
Penegasan Theodorus disebabkan karena hutan tersebut memiliki peran yang vital bagi kehidupan masyarakat di sekitar hutan itu, termasuk memastikan ketersediaan air untuk masyarakat adat Lancang dan sekitarnya.
“Tidak boleh hutan itu dibabat menjadi objek pariwisata karena di situ ada tiga mata air untuk hidup masyarakat. [Air] itu datang dari atas hutan itu,” tuturnya.
“Ada air keramat yang kita punya sampai sekarang. Tetapi, ada matanya [sumber] dari atas [hutan] itu,” tambahnya. Air kramat yang dimaksud ialah mata air yang dijadikan tempat digelarnya upacara-upacara adat.
Selain mata air, sebagian besar masyarakat adat Lancang juga mengandalkan air sumur untuk kebutuhan sehari-hari yang disebut Theodorus airnya hasil resapan dari hutan Bowosie.
“Kalau digali manual, sumur di Lancang itu hanya 10 meter atau 5 meter airnya keluar. Sumbernya dari hutan itu” tuturnya.
Poin yang sama sebenarnya sudah disampaikan berkali-kali oleh publik luas, lebih khusus pegiat lingkungan. Disebutkan, terdapat sekitar 14 mata air yang bersumber dari hutan Bowosie.
Theodorus pun sangat berharap agar secepatnya pemerintah merespons aspirasi mereka sebelum mereka akan menempuh langkah-langkah lainnya.
“Kalau tidak ada realisasi, kita tetap buat surat resmi untuk meneruskan persoalan ini ke Jakarta. Kita sampaikan aspirasi,” pungkasnya.
Kritikan
Rapat yang digelar di Bandara Udara Komodo itu merupakan yang pertama yang diinisiasi pemerintah dengan melibatkan publik, lebih khusus warga adat Lancang untuk menyelesaikan masalah ini.
Silvester Joni, salah satu pemerhati masalah sosial di Labuan Bajo mengkritisi agenda rapat yang berlangsung tidak sampai satu jam tersebut.
Dirinya menduga, rapat itu sekadar mengisi waktu pihak dari kementerian terkait sebelum melakukan perjalan udara kendati agenda yang diusung ‘sangat vital’ yakni tentang tapal batas dan skema pengelolaan hutan Bowosie.
Jika demikian, kata Joni, hal tersebut menunjukan sebuah ketidakseriusan pemerintah dalam merespons aspirasi publik.
“Bayangkan, untuk agenda sevital itu, BPO-LBF lebih melayani ‘kemauan dan ritme hidup rombongan Jakarta’ ketimbang pembahasan secara matang isu publik pengelolaan hutan Bowosie,” tuturnya.
“Itu berarti kita tidak merasa bahwa isu Bowosie sangat mendesak dan penting untuk didiskusikan secara serius,” tegasnya.
Kritikan Silvester tersebut setidaknya terkonfirmasi dari riwayat perjuangan masyarakat adat Lancang dalam memperjuangkan lahan tersebut.
BACA: Setelah Ruang Hidup Komodo, Proyek Super Premium Jokowi juga Ancam 400 Hektar Hutan Penyangga Kota Labuan Bajo
Gabriel Gampur, salah satu pemilik tanah mengaku sudah memperjuangkan masalah tersebut sejak Mei 2020 lalu usai pihak Badan Pertanahan Negara [PBN] menolak untuk mensertifikat tanah miliknya itu.
Berkali-kali dirinya mendatangi BPO-LBF dan UPTD Kehutanan Mabar untuk mengkonfirmasi soal yang mereka hadapi tersebut.
Namun, ia menangkap kesan, antar kedua lembaga tersebut saling melempar tanggung jawab saat dihadapkan dengan persoalan yang mereka bawa.
“BOP bilang, kami hanya sewa kelola hutan. Kami tidak tau, lahan itu milik masyarakat,” katanya mengulang jawaban pihak BOP.
Seperti BOP-LBF, UPTD Kehutanan juga terkesan mencuci tangan dengan menyatakan bahwa UPTD Mabar hanya melaksanakan tugas. “Kewenangan ada di provinsi,” tambahnya mengulang yang disampaikan UPTD Kehutanan.
Bahkan, saking kesal, dirinya pernah mengusir pihak ketiga yang dipekerjakan BPO-LBF dari lahan miliknya yang tengah melakukan foto dan video udara.
Selain warga pemilik lahan, publik berkali-kali melayangkan protes dan kritik terhadap proyek BPO-LBF di hutan 400 hektar itu. Bahkan demostrasi juga sudah digelar berkali-kali. Namun, BPO-LBF nampak tetap ngotot melanjutkan proyek itu.
Senada, Tua Golo Theodorus menegaskan, seandainya pihak pihak Kehutanan dan BPO-LBF memiliki niat baik, seharusnya sudah sejak awal melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Komunitasi Adat Lancang.
Nyatanya, warga sendiri yang berupaya mencari dan menggali informasi, menempuh berbagai upaya, termasuk mengadukan masalah tersebut kepada Bupati dan DPRD Mabar.
“Masalah ini [ibaratnya] kami sedang tidur, ada foto bahwa tanah kami itu milik Kementerian Pariwisata yang dikelola BPO-LBF. Itu yang kami rasa kesal. Masyarakat setengah mati memikirkan itu,” pungkasnya.
ARJ/Floresa