Pertahankan Ruang Hidup, Warga Wae Sano Kembali Demo Tolak Proyek Geotermal

Warga mendesak Bank Dunia agar membatalkan kerja sama dan pemberian dana hibah kepada PT SMI dan PT GeoDipa Energi. Kantor Staf Presiden (KSP) juga didesak agar berhenti terlibat dalam urusan proyek tersebut.

Labuan Bajo, Floresa.coRatusan massa menggelar demonstrasi di kantor Bupati Manggarai Barat, Rabu (2/2/2022). Mereka adalah warga Sanonggoang yang didampingi aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng dan Kota Jajakan Labuan Bajo.

Dalam press rilis, mereka menyampaikan tiga tuntutan yang semuanya mengarah pada penolakan proyek penambangan geotermal di kawasan Danau Sanonggoang, Desa Wae Sano, Kecamatan Sanonggoang.

Melalui Pemkab Mabar, mereka mendesak Menteri ESDM untuk menghentikan seluruh proses proyek ekstraksi panas bumi Wae Sano. Mereka juga mendesak agar seluruh izin panas bumi di Flores dicabut kembali karena merugikan warga sekitar.

BACA: Proyek Geothermal Wae Sano Terus Dipaksakan, Warga Surati Bank Dunia dan New Zealand Aid  

Selain itu, mereka juga mendesak Bank Dunia agar membatalkan kerja sama dan pemberian dana hibah kepada PT SMI dan PT GeoDipa Energi. Kantor Staf Presiden (KSP) juga didesak agar berhenti terlibat dalam urusan proyek tersebut.

Mereka menyebutkan Pemkab Mabar bersama investor terus melakukan upaya paksa untuk menghadirkan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi itu.

Padahal, sedari awal warga Wae Sano dan warga lainnya di sekitar danau Sano Nggoang menolak kehadiran proyek tersebut. Penolakan warga pun telah disampaikan berulang-ulang, baik kepada pemerintah maupun pihak perusahaan.

“Penolakan kami dilandasi dengan alasan yang jelas, yakni keselamatan ruang hidup warga dan masa depan anak cucu,” ujar warga Wae Sano Yosep Erwin.

BACA:Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi

Selanjutnya dalam press rilis, mereka menjelaskan, rencana penambangan panas bumi yang persis berhimpitan dengan pemukiman dan rumah adat, sumber air, lahan pertanian/perkebunan, fasilitas publik seperti sekolah dan gereja, itu tentu saja membawa ancaman besar bagi warga.

Kekhawatiran tersebut berdasarkan contoh buruk proyek serupa di berbagai tempat sebelumnya. Antara lain, rusaknya atap rumah warga dan tidak produktifnya tanaman pertanian serta kerusakan lahan milik warga seperti yang terjadi di Mataloko dan Ulumbu.

Contoh lain terjadi di desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal pada akhir Januari 2021 lalu. Lima warga tewas dan puluhan orang lainnya menjalani perawatan di rumah sakit karena semburan gas dari sumur bor PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP).

BACA: Komite Bersama Proyek Geothermal Klarifikasi Surat Warga Wae Sano kepada Bank Dunia

Meski bahaya penambangan panas bumi begitu nyata dan sangat berbahaya, pemerintah dan investor justru ngotot untuk melanjutkan proses proyek tambang panas bumi. Itu sebabnya, mereka menilai pemerintah sesungguhnya tidak berpihak pada kebutuhan riil masyarakat.

“Sebaliknya, ekstraksi panas bumi dalam skala raksasa itu hanya untuk memenuhi kebutuhan industri pariwisata yang model pengembangan pariwisatanya sendiri bermasalah dan dikuasai segelitir elit politik dan pengusaha tertentu,” kata Ketua PMKRI Ruteng, Nardi Nandeng.

ARJ/Floresa

spot_img
spot_img

Artikel Terkini