Oleh: VENAN HARYANTO dan ARIO JEMPAU
Proyek infrastruktur pariwisata di Taman Nasional Komodo (TNK) dan sejumlah konsensi bisnis yang khawatir mengancam konservasi, habitat komodo dan pariwisata berkelanjutan masih jadi polemik. Di tengah kondisi ini, tim International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan UNESCO kunjungan lapangan pada 3-6 Maret 2022.
IUCN merupakan lembaga internasional yang menangani isu-isu konservasi sumber daya alam, sementara UNESCO merupakan lembaga PBB yang memberikan status situs warisan dunia (world heritage site) untuk Taman Nasional Komodo.
Pasca kunjungan itu, pemerintah melalui Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) merilis pernyataan seolah-olah menegaskan, tak ada soal di TNK, mengabaikan sejumlah isu serius yang disuarakan kelompok sipil, juga memicu perhatian dari IUCN dan UNESCO.
Kunjungan kedua lembaga itu dilakukan setelah sebelumnya UNESCO menyatakan keprihatinan terhadap pelbagai izin konsensi dan proyek infrastruktur di TNK. Terutama sejak penetapan habitat alami satwa komodo ini sebagai bagian dari kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) Labuan Bajo dan sekitar.
Keperihatinan itu antara lain terungkap dalam Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam di Fuzhou, Tiongkok, pada 16-31 Juli 2021. Antara lain yang Unesco soroti adalah proyek infrastruktur pariwisata super-premium seperti pembangunan sarana-prasarana untuk wisata Jurassic di Pulau Rinca. Juga konsesi perusahaan-perusahaan swasta di dalam dan sekitar TNK yang berpotensi berdampak pada nilai universal luar biasa atau outstanding universal value (OUV) TNK, satu kriteria penilaian untuk penetapan status warisan dunia.
UNESCO juga prihatin dengan penilaian dan analisis pemerintah yang minim soal dampak lingkungan dari proyek itu, terutama soal target menarik pengunjung dalam jumlah banyak.
Meski kunjungan itu jelas disebut reactive monitoring mission (RMM), dalam pernyataannya pemerintah mengklaim kedatangan tim itu merupakan bagian dari pelaksanaan sistem pemantauan dan pelaporan oleh World Heritage Center. Padahal, sebagaimana namanya, tim itu merupakan reaksi atas masalah keterancaman komodo dan habitatnya.
Tak hanya itu, kami mencatat setidaknya empat klaim pemerintah yang perlu diluruskan karena mengabaikan fakta. Keempatnya, adalah terkait penyangkalan akan keberadaan resort wisata di Loh Buaya, soal dialog dengan warga Kampung Komodo, penyangkalan perubahan zonasi untuk bisnis wisata di TNK serta ketidakterbukaan informasi soal konsesi bisnis perusahaan-perusahaan swasta.
Dalam pernyataannya, BTNK mengatakan, selama kunjungan itu tim UNESCO dan IUCN “berkesempatan mengobservasi langsung penataan infrastruktur wisata alam yang dikerjakan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Resort Loh Buaya.”
Dijelaskan juga, Tim UNESCO dan IUCN mengatakan, sebelumnya mereka tak memahami terminologi resort untuk menggambarkan pos jaga para ranger.
“Tim UNESCO dan IUCN sebelumnya berprasangka, resort yang dimaksud adalah resort mewah dari sebuah usaha pariwisata di alam, merujuk pada tuduhan yang disampaikan pihak ketiga. Resort Loh Buaya pada faktanya merupakan pos jaga ranger yang didesain kuat agar bisa difungsikan secara berkelanjutan, tidak hanya untuk aktivitas ekowisata juga untuk mendukung impelementasi resort based management dalam rangka pengumpulan data ilmiah melalui berbagai kegiatan monitoring yang dilakukan oleh para ranger Balai Taman Nasional Komodo”, demikian menurut BTNK.
Pernyataan ini bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Mengapa? Dalam kenyataan, di area Loh Buaya, tepat bersebelahan dengan bangunan eleveated deck terdapat konsesi PT Sagara Komodo Lestari (SKL) di atas lahan seluas 22,1 hektar yang akan digunakan untuk membangun fasilitas rest area seperti resort, villa dan restoran.
Pada Agustus 2018, PT SKL sempat memulai proyek, namun rencana itu berhasil digagalkan sekelompok warga dengan membongkar pagar pembatas lahan.
Hingga sekarang PT SKL, juga perusahaan-perusahaan swasta yang lain terus dipantau ketat oleh publik. Pada Januari 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan izin PT SKL ini bersama PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) yang mendapat konsesi di Pulau Padar dan Pulau Komodo, sedang dievaluasi.
Dialog dengan Warga?
Pemerintah juga menyatakan, tim UNESCO dan IUCN berkesempatan berbincang dan bercengkrama dengan warga Kampung Komodo di Loh Liang yang jadi penjual souvenir dan penjaga warung.
“Tim UNESCO dan IUCN sempat membeli beberapa buah tangan dari beberapa penjual souvenir di Loh Liang. Tim RMM juga mengajak tim UNESCO dan IUCN menunjukkan pemukiman di Kampung Komodo.”
“Observasi dan dialog dengan perwakilan masyarakat sangatlah penting merupakan pembuktian kepada tim asesor bahwa kesempatan produktivitas ekonomi masyarakat dan akses terhadap ruang usaha di dalam kawasan Taman Nasional Komodo turut difasilitasi oleh Balai Taman Nasional Komodo,” begitu kutipan pernyataan BTNK.
Dari penjelasan itu, tidak ada informas perihal persoalan-persoalan penting yang dialami warga Kampung Komodo dalam beberapa tahun terakhir.
Rombongan juga tak mengunjungi Kampung Komodo untuk dialog dengan warga setempat, bertemu dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, perwakilan pemuda dan tokoh agama. Mereka hanya bercengkrama dengan penjual souvenir di Loh Liang dan menunjukkan dari jauh pemukiman warga Kampung Komodo.
Padahal, dalam beberapa tahun terakhir warga Kampung Komodo berjuang melawan sejumlah kebijakan pemerintah yang tengah mendorong investasi pariwisata di pulau mereka. Pada 2019, misal, Pemerintah NTT berencana merelokasi warga Kampung Komodo dari pulau itu guna pengembangan Pulau Komodo sebagai destinasi wisata eksklusif bertaraf internasional. Kendati upaya berhasil dipatahkan oleh gelombang perlawanan warga, kebijakan serupa rentan terulang di tengah upaya pemerintah yang masif mendorong investasi pariwisata dalam kawasan TNK.
Di tengah upaya warga memperjuangkan kembali kepemilikan bersama atas bekas tanah ulayat mereka di wilayah Loh Liang, pemerintah melalui KLHK justru menyerahkan lahan kepada perusahaan swasta, yaitu PT KWE seluas 151,94 hektar di area Loh Liang. Padahal, bagi warga Komodo, tanah itu sangat penting dikelola kolektif untuk pengembangan wisata komunitas.
Menyangkal Perubahan Zonasi untuk Bisnis Wisata
BTNK juga menyangkal soal perubahan zona di TNK dalam rangka memfasilitasi konsesi bisnis perusahaan-perusahaan swasta. Berikut ini adalah kutipan dari dokumen tersebut terkait perubahan zonasi dalam kawasan TNK:
“Balai Taman Nasional Komodo menyelenggarakan pertemuan penutup bagi kegiatan peninjauan lapangan pada tanggal 6 Maret 2022 di Gedung Komodo Visitor Center-Labuan Bajo. Kelapa Balai Taman Nasional Komodo berkesempatan menyampaikan klarifikasi terkait dengan tuduhan yang disampaikan pihak ketiga mengenai reduksi luasan zona rimba jadi zona pemanfaatan mencapai 2/3 dari total luasan sebelumnya. Lukita Awang, Kepala BTNK menyampaikan, tuduhan itu tidaklah benar, karena tak terdapat perubahan zona pemanfaatan berdasarkan peta zonasi tahun 2012 dan tahun 2020”.
Pernyataan daeri BTNK ini tidak berbasis fakta. Kenyataan menunjukkan. KLHK telah melakukan beberapa kali peninjauan kembali zonasi di TNK guna memfasilitasi bisnis-bisnis perusahaan swasta.
Pulau Padar dan Pulau Tatawa adalah dua kasus yang jelas menunjukkan bagaimana perubahan zonasi di dua pulau itu guna memuluskan investasi PT KWE dan PT Synergindo Niagatama (PT SN).
Sebelum 2012, diketahui Pulau Padar hanya terdiri dari zona inti dan zona rimba. Perubahan signifikan terjadi ketika pada 2012, KLHK melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012 mengubah 303,9 hektar lahan di pulau itu jadi zona pemanfaatan wisata darat.
Berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi jadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik.
Dua tahun setelah itu, tepat September 2014, KLHK menerbitkan izin bagi PT KWE di Pulau Padar. Sekitar 274,13 hektar dari total 275 hektar ruang usaha diserahkan kepada perusahaan itu untuk bangun resort-resort eksklusif. Hingga sekarang, PT KWE belum mulai membangun, karena gelombang perlawanan publik.
Kasus di Pulau Tatawa, lebih menarik lagi. Pemerintah tercatat dua kali melakukan perubahan zonasi untuk memuluskan investasi PT SN. Pada 2001, Pulau Tatawa tercatat sebagai zona rimba. Perubahan zonasi mulai terjadi pada 2012, melalui SK No. SK.21/IV-SET/2012. KLHK mengkonversi 20,944 hektar lahan di pulau itu menjadi zona pemanfaatan wisata darat.
Lalu berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi menjadi 14,454 hektar untuk ruang publik dan 6,490 untuk ruang usaha. Pada 2014, PT SN mendapat konsensi di Pulau Tatawa dan berhak membangun bisnis pariwisata di lahan seluas 6,490 hektar. Itu berarti seluruh ruang usaha pada zona pemanfaatan di pulau ini dikuasai PT SN.
Empat tahun berselang, tepat pada 2018, melalui Keputusan Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi No: SK. 38/PJLHK/PJLWA/KSA.3/7/2018, pemerintah merevisi desain tapak zona pemanfaatan. Revisi desain tapak ini secara signifikan memperkecil ruang publik dengan hanya 3,447 hektar, dan memperluas ruang usaha jadi 17,497 hektar. Tepat pada April 2020, KLHK menerbitkan ulang izin usaha PT SN. Sebanyak 15,32 hektar dari total ruang usaha dikuasai PT Synergindo Niagatama.
Ketidakterbukaan Informasi
Pemerintah juga kurang terbuka menginformasikan konsesi bisnis perusahaan-perusahaan swasta dalam kawasan TNK. Padahal, konsesi perusahaan-perusahaan swasta ini jadi yang paling disorot publik dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam kunjungan lapangan ini, rombongan UNESCO dan IUCN justru tak diarahkan mengunjungi lokasi-lokasi konsesi PT SKL di Pulau Rinca, PT KWE di Padar Utara dan Komodo dan PT SN di Pulau Tatawa.
Tak ada juga informasi yang mendiskusikan substansi penolakan warga terhadap kehadiran perusahaan-perusahaan yang mengembangkan bisnis wisata alam dalam kawasan TNK. Padahal, sejak awal inti protes publik terhadap kehadiran perusahaan-perusahaan itu tak lagi terletak pada bagaimana realisasi dari pembangunan-pembangunan itu memenuhi prinsip ekologi, tetapi publik mendesak pemerintah segara mencabut izin perusahaan-perusahaan ini.
Sebaliknya pemerintah dengan buru-buru mengklaim bahwa UNESCO dan IUCN merekomendasikan kelanjutan proyek pembangunan resort-resort perusahaan swasta itu asal memenuhi prinsip environmental impact assesment (EIA).
Meski BTNK mengabaikan berbagai soal di atas, yang jelas elemen sipil akan terus memantau berbagai proyek di kawasan TNK, sambil menanti tindak lanjut dari kunjungan lapangan ini, apakah berkomitmen terhadap masa depan konservasi dan pariwisata berkelanjutan di TNK atau tidak.
Sebelumnya, tulisan ini dipublikasikan di mongabay.co.id. Kembali dimuat di sini untuk tujuan edukasi.