Sidang Kasus Terminal Kembur di Manggarai Timur: Peran Fansi Jahang dan Gaspar Nanggar yang Berkali-kali Disebut oleh Mantan Staf

Kasus ini menyeret staf biasa ke meja hijau, sementara para petinggi melenggang bebas. Ada dugaan tebang pilih dalam penegakan hukum.

Floresa.co – Nama Fansialdus Jahang dan Gaspar Nanggar beberapa kali disebut dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur.

Aristo Moa, salah satu terdakwa dalam sidang itu mengatakan, Fansi dan Gaspar, dua mantan atasannya di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Manggarai Timur yang masing-masing menjabat sebagai kepala dinas dan kepala bidang, memiliki peran penting dalam pengadaan lahan terminal yang menggunakan anggaran tahun 2012-2013 itu.

Dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan [PPTK] pengadaan tanah untuk pembangunan terminal yang kemudian mubazir itu, Aristo menjadi tersangka bersama Gregorius Jeramu, warga Kampung Kembur dan pemilik lahan. Keduanya dianggap merugikan negara karena melakukan transaksi atas tanah yang belum memiliki sertifikat.

Kendati proses penetapan tersangka mereka pada Oktober tahun lalu memicu protes publik, terutama terkait Gregorius karena tanah yang dijualnya adalah tanah ulayat miliknya, namun aparat penegak hukum tetap memproses mereka. Di sisi lain, pejabat level tinggi di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi pada saat proyek itu dikerjakan masih melenggang bebas.

Fansi saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai, sementara Gaspar sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Manggarai Timur.

Aristo Ungkap Peran Atasan

Dalam sidang pada Senin, 6 Februari 2023 dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Aristo mengatakan, dalam seluruh proses pengadaan tanah tersebut, ia hanya menjalankan perintah  atasannya dan mengklaim Surat Keputusan [SK] penunjukannya adalah janggal.

“Saya tidak tahu apa tugas saya, maka pada saat ditunjuk menjadi Ketua PPTK, saya keberatan,” katanya dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang itu.

Namun, tambah dia, Gaspar, yang menjabat sebagai Kepala Bidang Perhubungan Darat memberi tahu bahwa itu adalah perintah dari atasannya.

“Bapak Gaspar Nanggar bilang, ini perintah dari Pa Kadis,” katanya, merujuk ke Jahang.

Ia mengaku keberatan karena tidak memiliki pengalaman sebagai PPTK dan karena baru saja menjadi Pegawai Negeri Sipil tiga bulan sebelumnya, yakni November 2011, usai menjalani prajabatan di Kupang.

Karena tetap keberatan, kata dia, Gaspar memintanya menghadap Fansi untuk menyampaikan penolakan secara langsung.

“Jawaban beliau [Fansi] waktu itu, ‘Terima saja Adik, nanti dibantu oleh Pak Kabid dan teman-teman,’” ujarnya.

Informasi yang diperoleh dari sumber Floresa, selain PPTK yang dibentuk tahun 2012, terdapat PPTK lain yang dibentuk pada tahun 2013 untuk tujuan memproses pengadaan tanah proyek ini ini.

Pembentukan PPTK tahun 2013 ini – demikian sumber tersebut yang meminta namanya tidak dipublikasi, namun mengetahui riwayat kasus ini -, dibuat karena transaksi dilakukan dua kali, yakni pada tahun anggaran tahun 2012 dan anggaran perubahan tahun 2013.

Namun, sampai saat ini, tidak pernah diketahui pihak yang menjabat sebagai PPTK 2013 itu.

Dalam sidang pada 6 Februari, Aristo juga menjelaskan bahwa SK Nomor HUBKOM/02/II/2012, yang menjadi dasar penunjukkannya sebagai PPTK, bermasalah. 

SK tersebut, urainya, dikeluarkan pada 15 Februari 2012, sementara ia baru menerimanya sembilan bulan kemudian setelah semua proses pengadaan tanah terminal selesai.

“Saya baru mendapatkan SK sebagai PPTK pada bulan November 2012,” katanya.

Sebagaimana dimuat dalam SK PPTK tahun 2012 tersebut, demikian pengakuan Aristo, PPTK tidak memiliki tugas “untuk melakukan penelitian status tanah.”

Di dalam SK yang salinannya diperoleh Floresa itu, hanya disebutkan bahwa PPTK mempunyai tugas mengendalikan pelaksanaan kegiatan serta melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan.

Selain itu, PPTK juga bertugas “menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan, mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait dengan persyaratan pembiayaan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

Setelah menerima SK tersebut, Aristo mengaku pernah diajak oleh Gaspar untuk menyambangi rumah Gregorius, menanyakan harga tanah.

“Saya juga tidak ikut survei, hanya ikut kepok karena diajak oleh Pak Kabid Gaspar Nanggar. Kemudian, dokumen saya yang buat, sumber dan formatnya dari Pa Gaspar Nanggar,” tambahnya.

Kepok merupakan salah  ritual adat masyarakat Manggarai, yang salah satu tujuannya adalah  meminta restu atas sesuatu.

Aristo juga mengungkapkan dalam sidang bahwa proses pengadaan tanah terminal itu, selain melibatkan PPTK, juga tim lain yang disebut Tim Pengadaan Tanah dan Tim Penafsir dan Negosiasi Harga Tanah.

Kedua tim itu memiliki anggota yang sama, yang diketuai oleh Ferdinandus Jerau, dengan sekretaris Maria K Arong dan anggota masing-masing Yosef Soni, Adrianus Patrysius Anggo, dan Benyamin Guido Ndap. Dalam tim itu, Jahang menjabat sebagai penanggung jawab atau pengarah.

Tim Pengadaan Tanah mempunyai sebelas tugas pokok, yang beberapa di antaranya dipersoalkan oleh Aristo.   

Tugas-tugas itu antara lain, “mengadakan penelitian dan inventarisasi atas bidang tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; serta mengadakan penelitian status hukum bidang tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.”

Selain itu, adalah “menetapkan besaran ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan.”

Berbeda dengan tugas Tim Pengadaan Tanah, Aristo menegaskan bahwa sebagai PPTK ia hanya ikut melakukan pengukuran tanah dan itu atas perintah atasannya, Gaspar.

Ia juga mengaku bahwa semua pekerjaannya selalu ia laporkan kepada Gaspar.

Ia mencontohkan, ketika selesai melakukan pengukuran lahan, ia bersama Yosef Soni, salah satu anggota Tim Pengadaan Tanah, menghadap Gaspar untuk membahas dokumen-dokumen yang harus disediakan dalam proses tersebut.

“Beliau menanyakan dokumen dan mengatakan agar semua dokumen dipastikan sudah ditandatangani,” katanya.

Setiap kali menghadap Gaspar, jelasnya, dirinya tidak pernah sendirian, tetapi selalu bersama Soni.

Dalam persidangan itu, Jaksa Penuntut Umum [JPU] sempat menyebut Aristo berperan dalam membuat dokumen persyaratan pencairan uang dalam pengadaan tanah itu.

Namun, ia membantah, menegaskan bahwa dokumen tersebut dibuat bersama-sama oleh tim, termasuk Gaspar.

“Tidak ada dokumen yang saya buat sendiri, tetapi secara bersama-sama. Sementara contoh [dokumen] jual beli dan contoh berita acaranya didapatkan dari Pa Gaspar Nanggar,” tegasnya.

“Yang selalu bersama itu Pak Kabid [Gaspar], Pak Sony dan saya,” ujarnya. 

Selain Aristo, Gregorius yang juga diperiksa pada sidang yang sama juga mengaku bahwa Soni dan Gaspar adalah orang yang sering berinteraksi dengan dirinya saat proses pengadaan tanah.

“Pa Yosef Soni yang antar surat perjanjian jual beli ke rumah saya. Kemudian dia yang membantu saya membuka rekening di bank,” ujarnya.

“Pa Soni adalah tetangga saya di kampung,” tambah Gregorius.

Ia juga menyebut Gaspar “juga pernah ke rumah saya.”

Sementara Aristo, demikian pengakuan Gregorius, ia temui dalam dua kesempatan, yaitu pada saat kepok dan pengukuran tanah.

“Uuntuk urusan lain saya tidak ketemu,” ujarnya. 

Ia juga menegaskan bahwa tanah yang dijualnya untuk pembangunan terminal adalah dari warisan.

“Tanah itu saya garap sejak tahun 1980 dan itu tanah warisan orang tua. Di sekitar tanah milik saya, tidak ada hutan atau tanah negara,” katanya.

Pada saat transaksi tanah tersebut, kata dia, tua adat setempat atau tu’a golo juga mengetahuinya.

Penuh Kejanggalan

Menyimak pengakuan Aristo dan Gregorius, Hipatios Wirawan, pengacara Aristo mempertanyakan alasan penegak hukum menjadikan klien sebagai satu-satunya terdakwa yang berasal dari unsur pemerintah dalam kasus ini.

Penetapan tersangka oleh kejaksaan, kata dia, penuh kejanggalan dan terkesan tebang pilih.

“Mana mungkin korupsi dilakukan oleh satu orang saja dari pihak Pemda. Apalagi, yang jadi korban adalah PPTK, dan hanya PPTK 2012,” ujarnya kepada Floresa, Rabu, 8 Februari.

“Uang pengadaan tanah ini berasal dari APBD, tetapi kok tiba-tiba pejabat pelaksana teknis yang jadi korban. Ini kan ada lompatan jauh logika hukumnya. Ini tidak bisa diterima,” tegasnya.  

Menurutnya, masih ada nama-nama lain yang terlibat serta memiliki peran signifikan, seperti nama-nama mereka yang terdaftar di dalam Tim Pengadaan Tanah.  

Ia mengatakan, para pihak tersebut diduga sengaja “dilindungi” untuk kepentingan tertentu sehingga harus mengorbankan kliennya dan Gregorius. 

“Klien kami juga tidak pernah mendapat honor sebagai PPTK. Kami harap majelis hakim bijaksana dan menggunakan logika hukum yang masuk akal dalam menangani perkara ini,” ujarnya.

“Kalau memang ada unsur tindak pidana korupsinya, semuanya harus ditarik. Jangan tebang pilih,” tegasnya. 

Senada dengan Hipatios, Mensi Anam, kuasa hukum Gregorius menegaskan bahwa tidak ada unsur korupsi yang dilakukan oleh kliennya selama proses pengadaan tanah itu karena tanah itu adalah warisan orang tuanya.

Selama tanah itu berada dalam penguasaan kliennya, kata Mensi, kliennya tidak pernah bersengketa dengan pihak mana pun.

“Tidak ada pengklaiman oleh pihak mana pun, baik dari orang sekitar, oleh lembaga adat tertentu, oleh pemerintah desa maupun oleh negara,” ujarnya  kepada Floresa, Kamis, 9 Februari.

Ia mengatakan, saat pemerintah membeli tanah tersebut, meski dokumen yang dikantongi oleh kliennya hanya berupa SPT Pajak Bumi Bangunan [PBB], namun tidak ada kendala saat proses jual beli, khususnya terkait alas hak.

Demikian juga saat Pemda Manggarai Timur mengajukan permohonan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional [BPN] setempat pada tahun 2019, kata dia, pihak BPN tidak mempersoalkan alas haknya.

“BPN merujuk pada PP 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, tidak ada masalah,” ujarnya.  

Hingga kini, pasca permohonan sertifikat pada tahun 2019, Mensi menyebut bahwa tidak ada juga pihak yang mengklaim tanah itu dan di atas tanah itu sudah dibangun gedung terminal yang  sudah didaftarkan sebagai aset pemerintah daerah.

“Kok pemilik atau penjual tanah bisa menjadi terdakwa. Kalau mark up, mungkin bisa diterima. Misalnya GJ [Gregorius Jeramu] menandatangani kwitansi tidak sesuai dengan uang yang diterima,” katanya.

“Kami yang mengerti hukum menjadi bingung,” tambahnya.

Hipatios juga mempermasalahkan peran inspektorat yang menghitung kerugian dalam proses pengadaan tanah tersebut, yang menurut dia, tidak bisa mempertanggungjawabkan peran dan metode perhitungan kerugian negara.

“Persidangan pekan lalu, kami mempertanyakan kewenangan inspektorat menghitung kerugian negara karena menurut undang-undang, hanya BPK [Badan Pemeriksa Keuangan] yang diberikan wewenang untuk itu,” ujarnya.  

“Kemudian kami juga minta penjelasan tata cara menghitung kerugian negaranya, namun inspektorat hanya menghitung atau melihat berdasarkan bukti uang keluar,” tambahnya.  

Padahal, kata dia, tanah terminal sendiri sudah bersertifikat atas nama Pemda Manggarai Timur dan sudah terdaftar dalam aset daerah.

“Kan sudah jadi aset negara. Tidak masuk akal perhitungan total kerugian dari inspektorat itu. Jangan sampai inspektorat hanya jadi stempel. Ini bahaya bagi penegakan hukum,” tegasnya.

Harapan untuk Vonis yang Adil

Mensi menyatakan masalah ini telah menciptakan keresahan di masyarakat.

“Saya takut ke depan, saat Pemda butuh tanah, warga tidak mau jual atau ganti rugi karena takut masuk penjara,” katanya.

Sementara itu, Valentinus Dulmin, rekan dari Hipatios berharap majelis hakim mempertimbangkan aspek hukum adat dalam proses jual-beli tanah tersebut.

Negara, kata dia, sudah menjamin dan mengakui berlakunya hukum adat di dalam proses peradilan.

Dan, di Manggarai, termasuk di Manggarai Timur, jelas Valens, masyarakat masih memegang teguh prinsip-prinsip hukum adat dan menaatinya.

“Kami berharap majelis hakim bisa memahami kondisi masyarakat hukum adat di sana, sehingga putusannya nanti tidak mencederai hukum yang hidup di masyarakat hukum adat Manggarai. Itu harapan terbesar kami,” katanya.  

“Kita harapkan majelis hakim memutuskan seadil-adilnya. Kalau tanah tersebut tidak layak, mengapa dibeli. Kasihan klien kami, sudah menjadi korban,” tambah Mensi.  

Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur dengan angkutan khusus menuju Borong.

Untuk mengerjakan terminal tersebut, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi menghabiskan anggaran sebesar Rp 4 miliar, di mana Rp 3,6 miliar adalah untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015.

Jaksa sudah mengendus kasus terminal ini sejak Januari 2021, dengan memeriksa 25 orang saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote hingga beberapa mantan pejabat, termasuk Jahang dan Gaspar.

Kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.

Sejauh ini, Kejaksaan baru mengusut masalah pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan terminal belum tersentuh.

Pada hari penetapan tersangka Gregorius dan Aristo Moa, Kejaksaan sempat memeriksa kembali sejumlah saksi, termasuk Jahang.

Floresa sudah menghubungi Jahang dan Gaspar pada Kamis pagi, 9 Februari, meminta tanggapan terkait penyebutan nama dan peran mereka dalam kasus ini.

Meski pesan yang dikirim melalui layanan WhatsApp sudah dibaca Jahang dan Gaspar, namun hingga laporan ini kami publikasikan, keduanya tidak merespons.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA