Floresa.co – Kejaksaan memperkirakan kerugian negara mencapai hampir 13 miliar rupiah dalam sebuah proyek kontroversial persemaian modern milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] yang membabat kawasan hutan di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT.
Proses hukum kini telah naik ke tahap penyidikan, demikian menurut Abdul Hakim, bagian Humas Kejaksaan Tinggi [Kejati] NTT.
“Sudah ditemukan peristiwa pidana [dalam kasus ini]. Tindak pidana tersebut masuk kualifikasi delik tindak pidana korupsi,” katanya kepada Floresa.
Saat ini, kata dia, mereka sedang melengkapi bukti-bukti “agar membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.”
Abdul mengatakan, penyidik sudah melihat “ada item-item [pekerjaan] yang dianggap fiktif” dalam proyek ini dan dari perhitungan sementara, kerugian negara mencapai Rp 12.750.711.318.
Ia juga menjelaskan bahwa penyidik sudah melakukan ekspos kasus ini di hadapan sejumlah pejabat tinggi Kejati NTT pada Rabu, 29 Maret 2023.
Proyek dengan anggaran 42 miliar ini dikerjakan oleh PT. Mitra Eclat Gunung Arta sejak Agustus 2021 di kawasan Hutan Bowosie, hutan penyangga untuk kota Labuan Bajo.
Diklaim untuk mendukung pariwisata super premium Labuan Bajo sebagai etalase Indonesia, proyek ini merupakan salah satu dari program 1.000 kebun bibit desa yang tengah dijalankan KLHK di seluruh Indonesia.
Dalam sebuah pernyataan saat mengunjungi lokasi proyek itu pada Januari 2020, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan, “program tersebut adalah instruksi Presiden Joko Widodo dalam upaya membudayakan kegiatan menanam di kalangan masyarakat untuk menghijaukan kembali daerah-daerah di Indonesia.”
Persemaian modern ini disebut menyediakan tanaman endemik dan diperkirakan setiap tahun bisa memproduksi satu juta bibit tanaman.
Kondisinya Kini
Baru-baru ini, Floresa mendatangi lokasinya, yang berada di sebelah timur Labuan Bajo.
Dari 30 hektar wilayah hutan yang dialokasikan untuk proyek itu, diperkirakan 10,16 hektar hutan yang sudah dibabat.
Baru setahun lebih beroperasi, beberapa fasilitas di dalamnya sudah rusak.
Di beberapa titik jalan aspal di dalam lokasi itu misalnya, kerikil-kerikil berserakan di badan jalan.
Itu terlihat dari pintu gerbang menuju taman, gudang, rumah produksi, reservoir, laboratorium kultur jaringan, garasi, rumah informasi dan beberapa titik lain.
Sementara di jalan dari taman menuju reservoir pertama yang berdekatan dengan mes karyawan, yang tersisa hanyalah kerikil-kerikil.
Di depan bangun reservoir itu, terdapat sebuah lantai bangunan yang sudah rusak, diduga tidak dilanjutkan pekerjaannya.
Terlihat juga kerangka besi beton yang mulai karat yang masih melekat di sekeliling lantai bangunan. Beberapa batang besi beton lainnya juga berserakan di lantai.
Di belakang reservoir itu, terdapat kubangan air dengan kedalaman kira-kira 1,5 meter. Itu diduga sebagai bekas galian untuk membuat bangunan karena di empat sisi dalam genangan air itu ada tiang-tiang beton yang sudah dirangkai. Beton-beton itu tampak karat, sebagian sudah miring.
Pada blok 15 yang menjadi tempat tumbuh tanaman induk tampak terjadi longsor yang menyebabkan tembok blok hancur tertimbun tanah.
Tidak jauh dari tempat longsor itu, persis di antara rumah informasi dan garasi, terdapat fondasi bangunan yang tidak dilanjutkan pekerjaannya. Beberapa bagian fondasi itu sudah rusak, sementara di bagian dalam dan luar, air menggenang.
Kira-kira 150 meter dari garasi, terdapat daerah pertumbuhan terbuka yang dibagi dua bagian. Di situ terlihat tiang keran-keran air yang dipasang tiap kolom. Kolom-kolom itu diisi kerikil dan dibatasi tiang tembok dengan tinggi 20 cm. Kebanyakan tembok itu rusak dan sudah berlubang.
Kejaksaan Temukan Item Pekerjaan yang Bermasalah
Abdul mengatakan, penyidik mereka telah meninjau lokasi proyek itu dan memeriksa sejumlah saksi, termasuk Pejabat Pembuat Komitmen, Konsultan Supervisi dan Kontraktor Pelaksana.
Beberapa kesimpulan sementara, kata dia, item pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi dan ada item pekerjaan yang fiktif.
Di area pembibitan, kata dia, mutu beton dari beberapa uraian kegiatan tidak sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang ditentukan di dalam kontrak.
Hal yang sama, kata dia, juga terjadi di bagian reservoir. Selain beton yang tidak sesuai spesifikasi, juga tidak pernah uji fungsi ketika serah terima sementara pekerjaan (Provisional Hand Over-PHO), tidak pernah diisi air atau tidak pernah difungsikan dan ada pekerjaan yang ditiadakan.
“Terdapat item pekerjaan fiktif pada pekerjaan pembangunan reservoir dengan nilai sebesar Rp 141.545.161,22,” katanya.
Semenatar pada pada item pembangunan jalan, kata dia, penyidik berkesimpulan bahwa material dan konstruksi juga tidak sesuai spesifikasi sehingga cepat rusak.
“Pekerjaan jalan, saluran drainase, pekerjaan pasangan batu dan pekerjaan deker juga tidak sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang ditentukan di dalam dokumen kontrak dengan nilai sebesar Rp 4.989.387.779,67,” imbuhnya.
Sementara pada item sistem mesin dan listrik pompa air reservoir, penyidik berkesimpulan bahwa terdapat kesalahan instalasi, tidak pernah uji fungsi ketika PHO, tidak bekerja optimal, dan ada bagian peralatan mekanikal dan elektrikal yang tidak dipasang.
Ia juga mengklaim terdapat kekurangan pembayaran denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan dengan nilai sebesar Rp 1.907.957.510.
Abdul menyebut, hingga Agustus 2022, pengerjaan proyek ini belum tuntas, meski “sudah tiga kali diadendum.”
Cacat Prosedural
Sejak awal pengerjaannya proyek ini menuai kritikan dari warga dan aktivis.
Deddy Febrianto Holo, Koordinator Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan Walhi NTT mengkritisi KLHK karena proyek itu justeru menimbulkan kerusakan lingkungan.
Ia juga menyebut proyek yang membabat hutan itu adalah ironi karena situasi yang yang sedang dihadapi oleh warga di wilayah Labuan Bajo adalah krisis air.
“[Proyek] itu justru menghilangkan [hutan], sumber mata air dan kehidupan petani di sekitarnya terancam,” katanya.
Ia menuding proyek ini “hanya mengakomodir kepentingan sekelompok tertentu” dan mengabaikan keselamatan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Marsel Jeramun Wakil Ketua DPRD Manggarai Barat “mengutuk pembabatan hutan atas nama negara” itu dan menyebut program ini sejak awal “cacat prosedural.”
“Semua proses tidak pernah dibahas,” ungkapnya.
“Saya mendukung sepenuhnya langkah penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini,” tutupnya.
Proyek-proyek Bermasalah
Proyek persemaian modern ini hanyalah salah satu dari sejumlah proyek yang diduga bermasalah di tengah masifnya proyek infrastruktur pemerintah, menyusul penetapan Labuan Bajo sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional [KSPN].
Floresa pernah melaporkan kebun hidroponik yang dibangun Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo-Flores [BPO-LBF] dan sempat digadang-gadang akan menjadi salah satu pemasok sayur di kawasan destinasi pariwisata super premium Labuan Bajo yang juga sudah hancur dan kini menjadi tempat warga memelihara ternak.
Kebun yang berada di Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo itu tidak lagi terawat usai panen perdana pada pertengahan 2021.
Sebuah tempat limbah bahan berbahaya beracun [B3] yang dibanguan KLHK di pada 2021 dengan anggaran tujuh miliar rupiah juga hingga sekarang tidak dimanfaatkan.
Bangunan yang berada di atas lahan 2,65 hektar di Hutan Bowosie itu sudah rusak, dipenuhi rumput liar.
Sejauh ini, penegak hukum baru mengusut indikasi korupsi dalam proyek persemaian modern, sementara proyek-proyek mubazir lainnya belum tersentuh