Floresa.co – Haji Muhammad Adam Djudje, warga Labuan Bajo yang mengklaim sebagai pemilik lahan polemik 30 ha di Manggarai Barat (Mabar) memberi tanggapan terhadap pernyataan Frans Paju Leok, mantan pejabat di Kabupaten Manggarai, yang diwawancarai khusus oleh Floresa.co.
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lahan yang terletak di Toroh Lema Batu Kallo/Kerangan itu adalah milik Pemda Mabar. Namun, Djudje juga mengklaim sebagai pemilik dan memasang plang di lokasi lahan itu.
Tanggapan Djudje atas wawancara dengan Frans Paju Leok dikirim via surat elektronik kepada Floresa.co oleh Surion Adu Florianus, yang mengklaim diri sebagai juru bicara Djudje.
Sebelumnya, tercatat dua kali Floresa.co menyambangi kediaman Djudje di Labuan Bajo untuk meminta tanggapannya atas polemik ini. Namun, ia menolak memberi komentar, dengan alasan akan manyampaikan pernyataan hanya untuk berita yang menguntungkan dirinya.
Berikut tanggapan Florianus:
SIAPA YANG OMONG KOSONG?
Sehubungan dengan wawancara Floresa.co berjudul “Frans Paju Leok: Haji Djudje Omong Kosong” (21/02/2018), saya Surion Adu Florianus, sebagai juru bicara H. Adam Djudje, untuk dan atas nama H. Adam Djudje, hendak menggunakan hak jawab guna mengklarifikasi/membantah sejumlah pernyataan dalam wawancara tersebut.
Salah Tahun Pertemuan, Salah Lokasi Tanah
Menjawab pertanyaan Floresa dalam wawancara, bagaimana kisahnya sampai bapak terlibat mengurus lahan di Kerangan? Pak Frans Padju Leok menjawab:
“Saya terlibat karena saat pengurusan lahan itu, saya menjabat sebagai asisten satu Bupati Manggarai. Hal itu berawal dari adanya permintaan dari pemerintah pusat kepada kami pada tahun 1997, yaitu menyiapkan tanah untuk membuka SMK Kelautan. Pak Gaspar lalu mengatakan, ada tanah di Labuan Bajo yang beliau sudah minta pada Dalu Nggorang, Haji Ishaka pada tahun 1993.”
Menurut Bapak H. Adam Djudje, pertemuan Pak Gaspar dengan Bapak Dalu Ishaka terjadi pada tahun 1989, bukan pada tahun 1993. Pertemuan tersebut terjadi di Bajo Beach Hotel. Pak Gaspar suka menginap di Bajo Beach Hotel saat ke Labuan Bajo di waktu dulu itu.
Tanah yang sudah diminta Pak Gaspar Ehok adalah sebidang tanah ulayat untuk pembangunan Sekolah Perikanan dan Kelautan sebagaimana dinyatakan Pak Gaspar Ehok dalam Surat Pernyataan/Penegasan yang dibuat dan ditandatangani Pak Gaspar Ehok dalam rapat di ruang rapat Bupati Manggarai Barat, tanggal 22 Oktober 2014.
Pak Gaspar Ehok, dalam Pernyataan/Penegasan tanggal 22 Oktober 2014 itu, tidak menyatakan bahwa permintaan sebidang tanah untuk pembangunan Sekolah Perikanan dan Kelautan kepada Bapak Dalu Ishaka itu berawal dari adanya permintaan dari pemerintah pusat pada tahun 1997, yaitu menyiapkan tanah untuk membuka SMK Kelautan seperti dinyatakan Pak Frans Padju Leok.
Jadi, pernyataan Pak Frans Padju Leok sangat berbeda dengan Pernyataan/Penegasan Pak Gaspar Ehok, tanggal 22 Oktober 2014, sementara Pak Frans Padju Leok terlibat mengurus tanah Pemda di Labuan Bajo atas perintah Pak Gaspar Ehok.
Selanjutnya Pak Frans Padju Leok menyatakan, “Saya lalu menindaklanjuti pengurusan tanah itu. Saya ke Labuan Bajo bersama kepala Badan Pertanahan, juga Kepala Dinas Perikanan yang sekarang bertugas di Manggarai Barat, Pak Fidelis Kerong, karena dia sebagai dinas teknis. Kami ditugaskan untuk melihat, apakah lokasi itu cocok untuk pembangunan SMK Kelautan itu”.
Pak Frans Padju Leok “menindaklanjuti pengurusan tanah itu”. “Tanah itu” yang mana? Bidang tanah yang diminta Pak Gaspar Ehok dan dikabulkan Dalu Ishaka dalam pertemuan di Bajo Beach Hotel tahun 1989, yang disebut dan ditunjuk Bapak Dalu H. Ishaka, yakni tanah di lokasi Kerangan.
Aneh rasanya ketika Pak Frans Padju Leok dan timnya ditugaskan Pak Gaspar Ehok untuk melihat, apakah lokasi itu cocok untuk pembangunan SMK Kelautan. Sementara Pak Gaspar Ehok bersama Bapak Dalu H. Ishaka, Bapak Kuba Usman (Kepala Desa), Bapak H. Djudje, Zulkarnain, pada tahun 1989, sudah ke lokasi Kerangan, lokasi tanah yang ditunjuk Bapak Dalu H. Ishaka yang cocok untuk pembangunan Sekolah Perikanan dan Kelautan.
Karena Pak Frans Padju Leok dan tim ke Labuan Bajo atas perintah Pak Gaspar Ehok untuk menindaklanjuti pengurusan tanah yang diminta Pak Gaspar Ehok, dan dikabulkan Bapak Dalu H. Ishaka dengan menyebut dan menunjuk tanah di lokasi Kerangan, maka seharusnya Pak Frans Padju Leok menindaklanjuti pengurusan tanah di Kerangan tersebut. BUKAN tanah bukit di Toroh Lemma Batu Kalo yang tidak pernah diminta Pak Gaspar Ehok, dan tidak pernah disebut dan ditunjuk Bapak Dalu Ishaka.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa Pak Frans Padju Leok sudah salah dalam menindaklanjuti pengurusan tanah di Toroh Lemma Batu Kalo. Dan inilah yang menjadi sumber masalah tanah Pemda tersebut.
Menjawab pertanyaan Floresa, “Apakah yang diperintahkan Haji Ishaka waktu itu?”, Pak Frans Padju Leok menyatakan, “Perintahnya jelas, lahan untuk pemda 30 hektare itu tidak boleh diganggu, karena dia sudah buat kesepakatan dengan Pak Gaspar. Keesokannya, kami ke lokasi dengan tim penuh. Kami naik perahu dari Kampung Ujung. Dari kecamatan dan kelurahan juga ada waktu itu yang ikut. Dari kecamatan, ada Pak Vinsen Ndahur. Dari kelurahan, seharusnya Pak Yosef Latif. Tetapi, waktu itu bukan dia yang pergi. Ia mengutus salah seorang anak buahnya, namanya Frans.”
Apakah benar perintah Bapak Dalu H. Ishaka begitu? Hanya Pak Frans Padju Leok dan Tuhan yang tahu. Tapi ketika yang disebut “… lahan untuk pemda 30 hektare itu tidak boleh diganggu, karena dia (Bapak Dalu H. Ishaka) sudah buat kesepakatan dengan Pak Gaspar,” maka suatu kesalahan besar ketika yang ditindaklanjuti Pak Frans Padju Leok dan timnya adalah tanah bukit di lokasi Toroh Lemma Bukit yang memiliki pantai karang terjal/curam.
Sebab tanah di Toroh Lemma Bukit Kallo itu bukan tanah yang disebut dan ditunjuk Bapak H. Dalu Ishaka, dan telah diserahkan kepada Pak Gaspar Ehok, dan bukan tanah dalam kesepakatan antara Bapak H. Dalu Ishaka dengan Pak Gaspar Ehok. Yang seharusnya ditindaklanjuti berdasarkan kesepakatan Bapak H. Dalu Ishaka dengan Pak Gaspar Ehok adalah tanah di Kerangan.
Pak Frans Padju Leok Tidak Ke Lokasi Tanah
Pak Frans Padju Leok tidak pergi ke lokasi pada saat itu sebagaimana diungkapkan dalam wawancara tersebut. Demikian keterangan Bapak H. Djudje dan Zulkarnain.
Hal ini terkonfirmasi dengan tidak adanya tandatangan Pak Frans Padju Leok dalam “Daftar Hadir Yang Turut Menyaksikan Pada Saat Pengukuran”. (Lihat Daftar Hadir Yang Turut Menyaksikan Pada Saat Pengukuran)
Karena itu seluruh pernyataannya dalam wawancara tersebut yang berhubungan dengan keberadaannya di Lokasi tanah, dan segala kegiatannya di lokasi hanya karangan saja alias “omong kosong”.
Tentang Raja Naib di Labuan Bajo
Pak Frans Padju Leok tentu saja tidak tahu tentang sejarah Raja Naib (Perwakilan Raja Bima) di Labuan Bajo. Jika Pak Frans Padju Leok tidak tahu bukan berarti sejarah itu tidak ada atau sejarah itu tidak masuk akal.
Saat Manggarai berada di bawah kekuasaan Bima, sebelum diangkatnya Raja Alexander Baroek, di Labuan Bajo, di Reo, dan di Pota ada perwakilan kekuasaan Bima yang disebut Raja Naib. Di Labuan Bajo ada Raja Naib-nya. Raja Naib di Labuan Bajo bernama Ahmad Daeng Malewa. Tanah pekarangan dan rumah Raja Naib Ahmad Daeng Malewa itu di Kampung Ujung yang kemudian diambil Pemerintah di masa Camat Alo Tani. Kekuasaannya berakhir saat diangkatnya Raja Alexander Baroek, dan Manggarai lepas dari kekuasaan Bima.
Cucu dari Raja Naib Ahmad Daeng Malewa adalah Abdullah Tengku Daeng Malewa. Tanah Kebun Jati Wae Medu itu salah satu tanah warisan milik Abdullah Tengku Daeng Malewa yang dijual kepada H. Bedu di tahun 1963. Tanah kebun jati di Sera dan kebun kelapa di Nanga Pede adalah juga tanah warisan miliknya yang kemudian diambil pemerintah karena tidak pernah bayar pajak (1974). Sedikit tentang Raja Naib ini bisa dibaca dalam tulisan Donald T. Tick, sejarawan Pemerhati Kerajaan-Kerajaan NTT. Bisa ditanyakan juga kepada Camat Labuan Bajo sekarang ini, termasuk letak pemakaman istri Raja Naib Ahmad Daeng Malewa di Labuan Bajo.
Dugaan Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik, UU ITE
Dalam wawancara itu Pak Frans Padju Leok menyatakan, “Kalau sekarang dia (Bapak H. Djudje) bilang itu dia punya, omong kosong, dia bohong. Sekali lagi, kalau dia klaim lahan itu milik dia, saya katakan dia penipu. Itu penggelapan aset Pemda”.
Sekalipun Bapak H. Djudje telah menggunakan hak jawabnya ini, tetapi hal ini sama sekali tidak menghilangkan haknya untuk melaporkan dugaan tindak pidana pencemaran nama baiknya yang dilakukan Pak Frans Padju Leok dalam pernyataannya ini.
Tanah di Toroh Lemma Batu Kallo itu memang hak miliknya berdasarkan Surat Bukti Penyerahan Tanah Adat, tanggal 10 April 1990, dan bukti-bukti lain yang dimilikinya.
Keterlibatan Bapak H. Djudje dalam pengukuran tersebut tidak didasarkan pada kehendak bebasnya. Bapak H. Djudje telah menyampaikan keberatannya saat pengukuran di lokasi, tetapi tim dari Pak Frans Padju Leok tetap memaksa dan mengatakan “Bapak Haji, ukur saja dulu.” Setelah pengukuran, dibikinkan Gambar Situasi (GS) yang tidak punya nilai hukum apa-apa karena tidak ada nomor, tidak ada pemohon, tidak batas-batas, dan tidak ada data-data penting lainnya.
Peristiwa pengukuran dan GS itu tidak serta merta menghilangkan hak milik Bapak H. Djudje atas tanah tersebut yang diperoleh dari penyerahan/pelepasan Fungsionaris Adat tanggal 10 April 1990. Pada saat itu Surat Bukti Penyerahaan Tanah Adat untuk Bapak H. Djudje tidak pernah dibatalkan oleh Fungsionaris Adat.
Yang diukur tim Pak Frans Padju Leok saat itu adalah tanah hak milik Bapak H. Djudje. Bukan tanah Pemda yang disebut dan ditunjuk, dan yang sudah diserahkan secara hukum adat Manggarai pada saat pertemuan Pak Gaspar Ehok dengan Bapak Dalu Ishaka pada tahun 1989.
Adalah kesalahan dari Pak Frans Padju Leok dan timnya dalam melaksanakan perintah Pak Gaspar Ehok untuk menindaklanjuti pengurusan tanah yang bukan tanah Pemda tersebut.
Uang Duka, Bukan Pelunasan Uang Tuak
Dalam wawancara ini, Pak Frans Padju Leok menyebut nama “Pit Agus”, Bagian Umum Pemerintahan, yang bawa uang Rp. 5 juta untuk pembayaran kedua.
Nama “Pit Agus” yang sebenarnya adalah “Petrus Tagus”, Kepala Bagian Umum pada Sekretariat Wilayah Daerah Kab. Manggarai. Pak Petrus Tagus adalah orang yang membawa uang Rp. 5 juta, tapi untuk pembayaran kedua seperti dikatakan Pak Frans Padju Leok.
Mengenai hal ini, dalam Surat Pernyataan yang dibuat dan ditandatanganinya di atas meterai pada tanggal 24 Oktober 2014 di Ruteng, Pak Petrus Tagus menyatakan:
“Bahwa saya Petrus Tagus diutus oleh Bupati Manggarai Bapak Drs. Antony Bagul Dagur, M. Si, untuk menghantar uang duka tersebut di atas. Dan mengikuti upacara Pemakaman Bapak Haji Ishaka di tempat peristirahatan yang terakhir di Pekuburan Gorontalo. Jika ada para pihak yang menyatakan uang duka yang diserahkan sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima juta Rupiah), adalah pelunasan uang tuak tanah adat di Toroh Lemma Batu Kalo luas 30 Ha, yang diserahkan oleh Fungsionaris Adat/Tua Adat Nggorang kepada Pemda Tingkat II Manggarai, maka para pihak yang menyatakan hal itu adalah pembohong”. Jadi, siapa yang berbohong?
Penyebab Masalah Tanah Pemda
Di bagian akhir wawancara tersebut, Pak Frans Padju Leok menyatakan, “Persoalan ini jadi seperti sekarang ini karena Dalu Ishaka sudah meninggal. Jadi, Haji Djudje melihat ada celah untuk mengklaimnya. Di sini, dia coba bermain. Tetapi, kami ini kan masih ada.”
Peryataan Pak Frans Padju Leok ini menyesatkan. Seakan-akan persoalan ini disebabkan karena Bapak Dalu Ishaka sudah meninggal. Persoalan ini jadi seperti sekarang ini bukan karena Bapak Dalu Ishaka sudah meninggal.
Persoalan ini jadi seperti sekarang ini karena orang-orang yang diperintahkan Pak Gaspar Ehok untuk menindaklanjuti pengurusan tanah Kerangan yang sudah disebut, ditunjuk Bapak Dalu Ishaka, dan telah disepakati Bapak Dalu Ishaka dan Pak Gaspar Ehok pada tahun 1989, salah dalam melakukan tindak lanjut pengurusan tanah tersebut.
Yang ditindaklanjuti bukan tanah di Kerangan yang datar, rata, memiliki pantai pasir putih, yang disebut, ditunjuk Bapak Dalu Ishaka sebagaimana dinyatakan dan ditegaskan Pak Gaspar Ehok dalam Surat Pernyataan/Penegasan, tanggal 22 Oktober 2014.
Yang ditindaklanjuti justru tanah lain sama sekali, yakni tanah di Toroh Lemma Batu Kallo yang sudah menjadi milik Bapak H. Djudje sejak tanggal 10 April 1990. Sejak tanggal 10 April 1990 itu tanah di Toroh Lemma Batu Kallo bukan lagi tanah ulayat, dan pada tahun 1997 Fungsionaris Adat tidak lagi memiliki wewenang/otoritas atas tanah yang sudah menjadi hak milik pribadi Bapak H. Adam Djudje. Tidak lagi memiliki wewenang/otoritas untuk menyerahkan tanah tersebut kepada pihak lain, termasuk kepada Pemda.
Jika saat ini Bapak H. Adam Djudje mempertahankan haknya atas tanah tersebut, tidak berati Bapak H. Adam Djudje melihat ada celah untuk mengklaimnya. Tetapi memang karena nyata-nyata tanah tersebut telah diserahkan kepada Bapak H. Djudje sejak tanggal 10 April 1990.*
Tanggapan Redaksi:
Terima kasih atas klarifikasi saudara. Dalam wawancara dengan Frans Padju Leok, ia membenarkan kehadirannya di lokasi yang dimaksud sebagai lahan Pemda, di mana proses pengukurannya dilakukan oleh Djudje, yang merupakan orang kepercayaan Haji Ishaka.
Terkait penyebutan nama lokasi dimaksud, yang saudara klaim sebagai Kerangan, pernyataan dari pihak terkait, di antaranya pihak BPN dan Pemda Mabar menyatakan, yang menjadi patokan mereka adalah lahan yang ditunjukkan dalam dokumen penyerahan tahun 1997 serta saat proses pengukuran ulang yang sudah dilakukan. Jadi patokannya, bukan pada nama lokasi. Penjelasan tentang ini bisa saudara cek pada artikel ini: Lahan 30 Ha: Di Kerangan atau Toroh Lemma Batu Kallo?