Labuan Bajo, Floresa.co – Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo – Flores mengklaim menguasai kurang lebih 400 hektar lahan di Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) yang akan digunakan untuk mengembangkan pariwisata di wilayah itu.
Menurut Direktur BOP, Shana Fatina, dari lahan seluas 400 hektar itu, akan dibagi menjadi dua bagian, yakni daerah otoritatif seluas 136 hektar dan sisanya daerah koordinatif.
“Konsep BOP itu akan menjadi BLU (Badan Layanan Umum-red). Untuk menjadi BLU dia harus punya aset. Aset itu, kalau pengelolaan kawasan, berupa area yang akan dia kelola,” kata Shana kepada Floresa.co, baru-baru ini.
Dalam lahan 136 hektar itu, jelas Shana, akan dijadikan lahan pengembangan pariwisata yang akan dikelola sepenuhnya oleh pihaknya secara otoritatif dan menyerupai Nusa Dua – Bali.
“Tapi, jangan bilang kita akan me-Nusa Dua-kan Labuan Bajo ya. Ngga sama sekali,” tambahnya.
Shana mengklaim, keberadaan BOP di Labuan Bajo, termasuk kewenangan mengelola lahan itu untuk mengakumulasi keuntungan ekonomi yang bertujuan mensejahterakan masyarakat setempat.
“Semua itu diatur, dalam rangka semua uang yang berputar di seluruh dunia, masuknya ke Flores aja. Jangan pergi ke Cina, jangan pergi ke Australia, dan segala macamnya. Itu sebenarnya strateginya,” katanya.
“Mengenai area, akan dijadikan asetnya kami, ini yang akan kami kelola jadi destinasi pariwisata juga,” tambahnya.
Lebih lanjut, kata Shana, lahan itu mereka peroleh atas usulan Gubernur NTT sebelumnya, yakni Frans Lebu Raya.
“Sebelumnya, diusulkan oleh gubernur NTT dulu (Frans Lebu Raya), ketika dari awal rapat inisiasi lokasi yang dijadikan lahan otoritas. Itu pun sebenarnya lahannya milik negara. Kita dapatnya itu, ya kita kerjakan itu,” ujarnya.
Hingga saat ini, jelasnya, pihaknya masih belum memiliki perencanaan secara teknis atas lahan itu dikarenakan belum ada kajian yang komprehensif.
“Kalau ditanya apa yang dibangun, kita ga mau bilang sekarang, detailnya seperti apa, karena ada tahapannya. Kita akan melakukan visioning master plan. Untuk itu, kondisi ekologinya seperti apa (dicek),” jelasnya.
“Kan sekarang, daerah (lahan itu) tangkapan air kan. Kita harus studi dulu dong, daerah mana yang bisa dibangun sehingga tidak membahayakan, jenis bangunan apa yang mesti dibangun. Itu juga belum cukup, apa yang laku dan apa yang membuat investor masuk ke sana. Kalau misalnya bikin yang ga laku, ya ga menguntungkan juga. Itu semua aspek harus diperhitungkan,” tambahnya.
Shana mengaku sangat bersyukur atas keberadaan lahan tersebut sehingga bisa mempromosikan serta mengembangkan pariwisata Labuan Bajo untuk kepentingan masyarakat.
“Terus terang, untuk Labuan Bajo Flores, kita sangat beruntung karena dari 400 hektar kita dikasih oleh pemerintah pusat ini, kita hanya boleh membangun 136 hektar, itu pun semuanya tidak boleh dibangun karena konteks yang mau kita tunjukan kepada dunia ialah, kita bisa kok mengelola hutan sebagai bagian dari konservasi dan pariwisata. Dan, itu adalah konsep Flores banget,” ujarnya.
“Ekoturism, yang bagaimana bisa sinergi cara pengembangan pariwisata secara berkelanjutan tanpa merusak lingkungan dan bagaimana memberikan manfaat kepada masyarkat paling banyak,” katanya.
Sementara itu, salah satu tokoh masyarakat Wae Mata Labuan Bajo yang tidak ingin disebutkan namanya, mengaku tidak tahu menahu jika BOP telah menguasai lahan seluas itu.
“Saya tidak tau. Dan, mereka juga tidak pernah sosialisasi,” katanya kepada Floresa.co beberapa waktu sebelumnya.
Begitu juga Kepala Desa Gorontalo, Vinsen Obin yang juga tidak mengetahui area yang dikuasai BOP itu. Pasalnya, BOP menguasai 83 hektar di desa yang dipimpinnya.
“Kami belum tahu apa itu BOP, apa saja kerjanya, kami juga belum tahu. Jika lahan di Gorontalo didorong untuk kembangkan pariwisata, maka sangat penting harus dilakukan sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu agar tidak masalah kemudian hari,” kata Obin seperti dilansir VictoryNews, Februari 2019.
Ia menambahkan, pihaknya sangat mendukung pembangunan pariwisata. Namun, pengembangan tersebut harus tetap melibatkan masyarakat.
ARJ/Floresa