Polemik Penetapan Tersangka Kasus Terminal di Manggarai Timur: Kepala Kejaksaan Didesak Dicopot, Warga Diminta Ajukan Praperadilan

Aksi protes terus dilakukan warga, termasuk dengan berunjuk rasa pada Senin, 7 November 2022 di kantor Kejari Manggarai.

Floresa.co – Langkah Kejaksaan menetapkan seorang warga pemilik lahan sebagai tersangka dalam kasus terminal yang mubazir di Kabupaten Manggarai Timur, NTT masih terus menuai polemik.

Dalam aksi unjuk rasa pada Senin, 7 November 2022, massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Keadilan dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] Cabang Ruteng mendatangi kantor Kejaksaan Negeri [Kejari] Manggarai.

Selain meminta agar Gregorius Jeramu [62] dibebaskan dari status tersangka, mereka juga mendesak Kejaksaan Agung mencopot Kepala Kejari yang dianggap telah melecehkan kearifan lokal orang Manggarai.

“Kami mendesak Kejaksaan Agung copot Kepala Kejari Manggarai. Penetapan Bapak Gregorius Jeramu telah melecehkan kearifan lokal kami orang Manggarai,” kata Vitus Akong, salah satu orator dalam aksi.

Protes Penetapan Tersangka

Aksi ini merespons penetapan tersangka Gregorius pada 28 Oktober 2022 bersama Benediktus Aristo Moa, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo).

Menurut Bayu Sugiri, Kepala Kejari Manggarai, Gregorius menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai pemilik lahan yang tidak mengantongi alas hak berupa sertifikat yang kemudian dijual kepada pemerintah untuk pembangunan Terminal Kembur.

Gregorius, kata dia, hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) sebagai alas hak, sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SPT PBB bukanlah alas hak atau bukti kepemilikan tanah.

Aristo Moa menjadi tersangka karena disebut tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.

Tanah itu dibeli pemerintah pada tahun 2012 dan 2013 dengan harga Rp 420 juta atau setelah dipotong pajak menjadi Rp 402.245.455.

Tindakan keduanya, kata Bayu, merugikan keuangan negara dengan nilai kerugian total (total loss) atau senilai yang telah dibayarkan kepada Gregorius.

Massa mempersoalkan langkah Kejaksaan itu dan menganggap bahwa tidak ada alasan kuat untuk penetapan tersangka Gregorius.

Vitus dalam orasinya di depan kantor Kejari mengatakan langkah lembaga itu adalah bentuk sikap otoriter negara melalui tangan penegak hukum.

“Mestinya, Kejaksaan meneliti lebih jauh soal kepemilikan tanah Bapak Gregorius sebelum menetapkan dia sebagai tersangka karena menjual tanah tanpa sertifikat,” ujarnya.

Ia mengatakan, keluarga, masyarakat, tokoh adat setempat mengakui bahwa itu tanah milik Gregorius yang ia kuasai dan kelola sejak berpuluh-puluh tahun.

“Kearifan lokal kami orang Manggarai, kalau keluarga, masyarakat, tokoh adat (pemilik ulayat) mengakui kepemilikan tanah seseorang, maka itu sah,” sebutnya.

“Mengapa negara melalui Kejaksaan Negeri Manggarai hari ini tidak mengakui hak kepemilikan tanah sesuai kearifan lokal kami?,” tambahnya.

Menurut Vitus, keputusan pihak Kejari Manggarai menimbulkan keresahan sosial di tengah masyarakat Manggarai Timur pada umumnya.

“Masyarakat yang selama ini telah menjual tanah tanpa sertifikat menjadi resah karena bukan tidak mungkin suatu saat nanti mereka akan dipidana seperti Bapak Gregorius ini,” katanya.

“Masyarakat yang selama ini telah menjual tanah tanpa sertifikat menjadi resah karena bukan tidak mungkin suatu saat nanti mereka akan dipidana seperti Bapak Gregorius ini,” kata Vitus Akong, salah satu orator. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Firman Jaya yang juga berbicara dalam aksi tersebut mengatakan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 telah mengatur bahwa setiap warga negara yang menguasai sebidang tanah secara terus-menerus selama lebih dari 20 tahun, tanah tersebut sah menjadi hak miliknya.

“Bapak Gregorius sudah menguasai dan mengolah tanah itu sejak 1982. Pada saat menjual ke Pemda Manggarai Timur, ia telah menguasai tanah itu lebih dari 20 tahun dan tidak ada pihak lain yang mengklaim tanah tersebut selain dia,” ujarnya.

Ia menilai penetapan Gregorius sebagai tersangka adalah keputusan yang tergesah-gesah dan serampangan.

Gregorius, kata Firman, seorang petani yang hanya tamat Sekolah Dasar dan tidak mengerti prosedur jual beli tanah.

“Kalau memang harus ada sertifikat, mengapa Pemda Manggarai Timur waktu itu tidak membatalkan pembelian tanah itu?” kata Firman.

Dorong Ajukan Praperadilan

Dalam demonstrasi yang diikuti oleh ratusan masyarakat dan mahasiswa tersebut, pihak Kejaksaan memberikan kesempatan perwakilan demonstran untuk melakukan audiensi.

Saat audiensi yang berlangsung di salah satu ruangan kantor Kejari Manggarai tersebut, Rizky, Kasi Intel Kejari Manggarai mengklaim penetapan tersangka Gregorius dan Aristo Moa dilakukan setelah mereka mengantongi dua alat bukti.

“Kita menetapkan seorang tersangka pasti diawali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti,  melalui proses panjang sampai dengan penyidikan,” katanya.

“Kita juga meminta saran, pendapat dari pimpinan kita yang tertinggi dalam hal ini Kejaksaan Tinggi,” klaimnya.

Dalam dialog itu, perwakilan demonstran sempat mengajukan beberapa pertanyaan terkait perkara tersebut.

Mereka antara lain menanyakan siapa pemilik tanah Terminal Kembur kalau bukan Bapak Gregorius, apa itu kerugian total menurut kejaksaan dan informasi rinci terkait alat bukti yang disebut Rizky. Namun, ia tidak menjawabhnya.

“Tidak bisa saya menyampaikan argumentasi itu. Ruang kita sudah pasti berbeda. Bapak ibu sekalian mungkin dengan sudut pandang yang berbeda dan kami juga dengan argumentasi yang berbeda. Yang pasti di sini tidak ada juri atau hakim yang menilai,” katanya.

Ia mengatakan, “Sah atau tidaknya penetapan tersangka, nanti proses pembuktian di persidangan.”

“Semua fakta hasil penyidikan kita kita buka. Persidangan terbuka untuk umum, tidak bisa ditutup-tutupi. Apa faktanya yang kita dapatkan di penyidikan, nanti kita munculkan di persidangan,” katanya.

Ia mengklaim mereka “bekerja berdasarkan hukum, nggak mungkin kita serampangan.”

“Jadi, ada ruang yang diakui undang-undang yaitu praperadilan [untuk] menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka,” katanya.

Ia juga mengatakan, tudingan masyarakat terkait penanganan perkara yang  tidak adil sudah menjadi  “barang biasa”  bagi Kejari Manggarai.

“Ya, kita dapat kritikan terhadap kinerja. Kita kerja aja dianggap salah, apalagi tidak bekerja. Itu hal biasa,” katanya.

“Jadi, itu yang kita tampung sebagai evaluasi. Kita akan sampaikan ke pimpinan sebagai bahan koreksi dan evaluasi,” ujarnya.

Sementara itu, Floresa.co belum mendapat kabar terkait rencana keluarga Gregorius untuk mengajukan praperadilan.

Terminalnya Mubazir, Kejaksaan Utamakan Kasus Pengadaan Lahan

Aksi unjuk rasa itu menjadi aksi protes publik ketiga yang digelar warga. Sebelumnya mereka mengadakan aksi bakar lilin dan doa bersama pada 1 November dan aksi unjuk rasa di kota Borong dan kantor DPRD Manggarai Timur pada 2 November.

Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur dengan angkutan khusus menuju Borong.

Untuk mengerjakan terminal tersebut, Pemkab Manggarai Timur melalui Dinas Hubkominfo menelan anggaran sebesar Rp 4 miliar, di mana Rp 3,6 miliar adalah untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015.

Jaksa sudah mengendus kasus terminal ini sejak Januari 2021, dengan memeriksa 25 orang saksi, mulai dari mantan Bupati Yoseph Tote; hingga beberapa mantan pejabat di Dinas Hubkominfo, seperti Kepala Dinas Jahang Fansialdus dan Kepala Bidang Perhubungan Darat, Gaspar Nanggar.

Kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.

Sejauh ini, Kejaksaan baru mengusut masalah pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan terminal belum tersentuh.

Pada hari penetapan tersangka Gregorius dan Aristo Moa, Kejaksaan sempat memeriksa kembali sejumlah saksi, termasuk Jahang Fansialdus, yang kini menjadi Sekretaris Daerah Manggarai.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA