Oleh: Ans Gara
Proyek-proyek pembangunan di Flores cukup banyak yang mendapat resistensi warga setempat karena dianggap membahayakan kehidupan mereka. Proyek pembangunan energi panas bumi atau geothermal di wilayah Poco Leok, Kabupaten Manggarai adalah salah satu contohnya.
Kendati pemerintah mengklaim bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan listrik warga di Flores, energi panas bumi juga dapat memaksimalkan potensi ekonomi sejumlah sektor, namun warga tetap menyatakan penolakan.
Salah satu aktor penting dalam gerakan perlawanan di Poco Leok adalah kaum perempuan. Sama seperti dalam gerakan perlawanan di beberapa tempat lain seperti di Wae Sano dan di Kampung Komodo di kawasan Taman Nasional Komodo, perempuan Poco Leok terlibat dalam berbagai upaya protes terhadap pemerintah, mendesak agar proyek ini dibatalkan.
Geothermal Flores dan Poco Leok
Poco Leok merupakan gugusan perkampungan mencakup tiga desa yakni Desa Lungar, Desa Golo Muntas, dan Desa Mocok, yang masuk wilayah Kabupaten Manggarai.
Wilayah ini ditargetkan dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas energi listrik dari 7,5 MW yang dihasilkan oleh PLTP Ulumbu saat ini menjadi 14 MW. Ulumbu sudah beroperasi sejak 2012, sekitar 3 kilometer arah barat Poco Leok.
Pengembangan proyek geothermal Poco Leok merupakan bagian dari realisasi program pemerintah yang pada 2017 menjadikan Flores sebagai pulau geothermal, dengan setidaknya 20 titik potensi energi panas bumi yang hendak dikembangkan.
Dalam praktiknya, apa yang dikonsepkan pemerintah di atas kertas terkait manfaat proyek-proyek itu tidak begitu saja diterima masyarakat yang hidup di lingkar titik bor proyek.
Kekhawatiran terhadap ancaman kerusakan lingkungan, warisan adat dan budaya, serta ruang lingkup hidup mereka menjadi beberapa alasan yang seringkali diungkapkan.
Mendengar kabar tentang bencana proyek geothermal di wilayah lain di Indonesia, juga di Mataloko, Kabupaten Ngada memperkuat alasan kekhawatiran mereka.
Warga Poco Leok misalnya sudah ke Mataloko, salah satu lokasi proyek geothermal, dan melihat sendiri bekas-bekas pemboran yang hingga kini terus mengeluarkan asap dan merusak lahan pertanian warga, namun ditinggalkan pemerintah.
Hal demikian membuat mereka berulang kali melakukan protes. Ibu-ibu Poco Leok bahkan di garis depan saat membuat aksi penolakan terhadap Bupati Manggarai, Herybertus Nabit yang berkunjung ke kampung mereka karena ia memberikan izin atas lokasi proyek itu.
Pelajaran dari Gerakan Perempuan Poco Leok
Penolakan para perempuan Poco Leok didasarkan pada kesadaran bahwa tanah adalah sumber kehidupan, kosmologi adat setempat yang melihat bumi sebagai ibu, penghormatan terhadap warisan leluhur dan kecemasan terhadap potensi bencana alam.
Bagi saya, kisah perlawanan para perempuan di Poco Leok dapat direfleksikan dalam beberapa poin berikut.
Pertama, perlawanan para perempuan ini dapat didiskusikan dalam terang refleksi ekofeminisme yaitu gelombang kedua feminisme yang memberi perhatian terhadap isu-isu ekologi dan keutuhan alam ciptaan dengan berusaha menemukan hubungan timbal balik antara dominasi terhadap perempuan dan dominasi terhadap alam (Clifford, 2002).
Bagi kaum ekofeminis, manusia dipanggil untuk menjaga dan melestarikan alam ciptaan karena alam juga merepresentasikan kehadiran Allah. Karena itu, teologi ekofeminis mengakui kekudusan alam dan melihat berbagai upaya perusakan alam ciptaan sebagai suatu proyek desakralisasi (Clifford, 2002; Widyawati, 2011).
Kendati tentu saja tidak akan menyebut diri sebagai kelompok ekofeminis, gerakan penolakan para perempuan di Poco Leok dapat diidentifikasi sebagai suatu gerakan ekofeminis karena mempunyai kesadaran yang sama, yakni upaya menggerakkan pertobatan ekologis dan undangan menjaga keutuhan ciptaan Allah.
Bagi mereka, kerusakan atas salah satu komponen akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan komponen lainnya.
Kedua, gerakan perlawanan para perempuan Poco Leok ini berakar kuat dalam kosmologi orang Manggarai yang memandang tanah dan alam sekitar dalam suatu relasi yang harmonis dengan Mori Keraeng sebagai wujud tertinggi.
Dunia orang Manggarai mengenal 1) dunia yang kelihatan berupa kuni agu kalo (ruang hidup nyata), kaka de tana, saung de haju, ngongo de golo (hewan dan tumbuhan) serta manusia; 2) dunia roh jahat dan baik; dan 3) Mori Keraeng.
Mori Keraeng adalah wujud tertinggi yang mencakup dua realitas lainnya (Sutam dalam Chen & Suwendi, 2012). Mori Keraeng juga dilukiskan sebagai “Mori jari dedek, tanan wa awangn eta, pukul parn agu kolep, ulun le wain lau” (Terisno et al., 2019).
Karena itu, bagi perempuan Poco Leok pembiaran perusakan ekologi melalui proyek geothermal memuat makna keterpecahan relasi harmonis dengan komponen-komponen hidup lainnya. Hal itu mengganggu relasi mereka dengan alam, para leluhur, dan Mori Keraeng.
Ketiga, para perempuan Poco Leok mengemban misi yang mengandung dimensi keberlanjutan hidup. Mereka melihat bahwa ketersediaan sumber kehidupan dari alam tidak hanya diperuntukan bagi mereka, tetapi terutama bagi generasi-generasi berikut yang juga akan hidup dari dan dalam ekologi yang sama.
Sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban ekologis, mereka mengingatkan kita untuk tetap menjaga lingkungan kini demi generasi-generasi berikut.
Seorang perempuan Poco Leok, Elisabeth Lahus menjelaskan bahwa mereka tidak pernah takut untuk berjuang demi masa depan anak dan cucu-cece mereka.
Memperkuat Suara Mereka
Kisah penolakan para perempuan perlu diapresiasi. Namun yang perlu didukung adalah, sebagai sesama warga Flores, agenda konkret apa yang mesti kita lakukan untuk memperkuat gerakan ini.
Dari sekian banyak kemungkinan, saya mengusulkan dua hal konkret yang dapat dilakukan.
Pertama, pada tataran teoretis undangan para perempuan di Poco Leok dapat didukung dengan terus menggemakan suara penolakan mereka melalui kajian kritis. Konkretnya dengan menulis di media baik cetak maupun online perihal isu-isu ekologi, dengan memberi dukungan pada sikap mereka.
Kedua, secara praktis dapat dilakukan melalui upaya menjaga lingkungan hidup. Beberapa kelompok telah merintis hal ini, namun perlu ditingkatkan. Institusi agama misalnya perlu mengembangkan aneka program pastoral atau kegiatan komunitas yang ramah ekologi. Hal lain adalah kerja sama lintas agama untuk program-program mengupayakan keutuhan ciptaan.
Ans Gara merupakan mahasiswa Pascasarjana Teologi Kontekstual IFTK Ledalero