Antara Cita-Cita Jokowi dan Masyarakat Lokal: Reorientasi Tujuan Pengembangan Geotermal di NTT

Penulis membongkar problem paradigmatik dalam upaya pemerintah menggolkan proyek geotermal, yakni ideologi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi semata dan untuk memenuhi cita-cita Presiden Jokowi, bukan karena aspirasi warga setempat

Oleh: Fransiskus S. Gunadi

Dua ahli yang baru-baru ini berbicara dalam sosialisasi proyek geotermal di Atadei, Kabupaten Lembata, NTT menyebut realisasi proyek tersebut “menopang apa yang dicita-citakan Presiden Joko Widodo [Jokowi]” sekaligus untuk mewujudkan kesejahteraan warga.

Kedua ahli yang dihadirkan PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] itu – M. Ali Ashat dari Institut Teknologi Bandung dan Gregorius Lajar yang bekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang, Jawa Barat – berbicara dalam sosialisasi pada 22 Agustus.

Jika potensi geotermal dikembangkan, kata keduanya sebagaimana diberitakan Floresa.co, Lembata akan menjadi pulau pertama di dunia yang menggunakan 100 persen listrik dari sumber energi terbarukan. 

Selain itu, mereka juga mengklaim proyek geotermal di Atadei akan menciptakan lapangan kerja bagi warga lokal. 

Dengan hadirnya proyek geotermal, warga Lembata tidak perlu ke luar daerah lagi untuk mencari pekerjaan.

Ketertinggalan Paradigmatis

Pernyataan dua ahli tersebut mengekspresikan secara cukup jelas paradigma dan logika yang bekerja di balik upaya meloloskan proyek ini: berorientasi pada pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi. 

Padahal, dalam praksis pembangunan, paradigma dan pendekatan yang semata-mata menekankan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi sudah lama ditinggalkan oleh negara-negara modern.

Negara-negara modern sudah beralih ke pendekatan pembangunan terintegrasi yang disebut pembangunan berkelanjutan [sustainable development]. Paradigma ini menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial-budaya dan kelestarian lingkungan.  

Secara teoretik, paradigma pembangunan dengan penekanan semata pada pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi selalu berpijak pada analisis dikotomi antara tradisionalisme dan modernisme, antara masyarakat maju-modern dan masyarakat tradisional-terbelakang. 

Dalam paradigma ini, masyarakat tradisional dianggap perlu dibawa keluar, meninggalkan tradisionalitasnya menuju masyarakat modern-maju [Fakih, 2003]. 

Dalam konteks pengembangan proyek geotermal di Lembata atau di NTT pada umumnya, masyarakat lokal diarahkan untuk meninggalkan tradisionalitasnya dan menerima temuan modern berupa pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geotermal yang diyakini akan menjadi infrastruktur utama pengembangan ekonomi masyarakat ke depan. 

Pertanyaan besarnya adalah apakah setelah tersedianya fasilitas listrik bertenaga panas bumi tersebut secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal? 

PT PLN yang diberi kewenangan untuk mengelola potensi geotermal di Lembata atau NTT pada umumnya belum pernah menyajikan suatu pengalaman dan bukti konkret mengenai keberhasilan pengembangan geotermal terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Bagian lain dari pernyataan kedua ahli tersebut yang cenderung kontraproduktif adalah pelaksanaan proyek geotermal Atadei akan menopang apa yang dicita-citakan Presiden Jokowi.

Dalam pengamatan saya, selain karena komunikasi yang didesain kurang efektif, hal ini menjadi pokok dan penyebab utama dari berbagai polemik dan konflik seputar proyek pembangunan geotermal yang selama ini terjadi di Flores-NTT, seperti yang terjadi di Poco Leok, Kabupaten Manggarai dan wilayah lainnya yang terus memanas.

Dalam polemik ini, pengembangan proyek geotermal dinarasikan tidak berdasar dan diorientasikan kepada kepentingan dan cita-cita masyarakat lokal, melainkan demi mencapai apa yang dicita-citakan pemerintah.

Tidak adanya analisis dan kajian pendahuluan dari penyelenggaraan proyek-proyek geotermal mengafirmasi hal ini. Karena tujuan yang ingin dicapai adalah cita-cita pemerintah, maka analisis, termasuk partisipasi bermakna dari warga lokal dianggap tidak diperlukan.  

Di sinilah letak titik rawannya. Penolakan demi penolakan yang dilakukan oleh masyarakat terjadi karena tujuan pengembangan proyek bukan berangkat dari aspirasi mereka.

Reorientasi Tujuan

Penolakan masyarakat terhadap kehadiran proyek geotermal bukan karena tidak menginginkan perubahan yang positif, melainkan karena mereka melihat bahwa proyek tersebut tidak secara jelas bertujuan menjawab kebutuhan mereka saat ini dan pada masa yang akan datang. 

Dalam kondisi seperti ini, pilihan terbaik bagi PT PLN atau pemerintah adalah bukan memaksakan kehendak dengan memakai segala macam cara, melainkan memikirkan kembali urgensitas proyek, lalu  memutuskan untuk melanjutkan atau menghentikannya. 

Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali apakah pengembangan geotermal itu benar-benar sesuatu yang urgen dan dibutuhkan masyarakat lokal atau itu hanya sekedar proyek yang dirancang dari luar. 

Jika hal itu merupakan sesuatu yang urgen, maka perlu ditunjukkan hasil kajian dan roadmap atau peta jalannya secara transparan sehingga dapat memberikan pemahaman yang utuh kepada masyarakat. 

Berkaitan dengan soal paradigmatik sebagaimana telah diuraikan di atas, pemerintah perlu beralih dari paradigma yang menekankan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi ke paradigma pembangunan berkelanjutan yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial-budaya dan kelestarian lingkungan. 

Di samping itu, pemerintah juga perlu beralih dari visi memperjuangkan cita-cita Jokowi atau pemerintah kepada pembangunan yang berpusat pada rakyat [people centered development], yakni berfokus pada upaya memberdayakan masyarakat agar dapat mencapai cita-cita mereka sendiri. 

Pembangunan yang berpusat pada rakyat berarti menempatkan rakyat sebagai aktor utama yang memiliki kekuatan dalam merencanakan, merumuskan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan kemampuan, potensi dan harapan mereka sendiri.

Proses pelaksanaannya tidak hanya melibatkan mobilisasi sosial, tetapi juga pelimpahan wewenang [devolution of power] kepada rakyat untuk memungkinkan mereka mengendalikan dan mengerjakan inisiatifnya sendiri [Korten dan Rud Klaus, 1984].

Dalam konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat, inisiatif kreatif dari rakyat menjadi sumber daya utama, sementara  kesejahteraan material dan spiritual mereka menjadi tujuan yang perlu dicapai. Pembangunan mesti dikerjakan untuk menggapai apa yang dicita-citakan oleh masyarakat sebagai subyek, bukan semata-mata visi pemerintah.

Model pembangunan seperti ini akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada pemerintah dan lebih menjamin tumbuhnya kemampuan dan kemandirian. 

Dalam konteks pembangunan di Lembata atau di NTT secara umum, tujuan yang perlu dicapai adalah apa yang menjadi cita-cita masyarakat lokal, bukan semata cita-cita Jokowi.

Fransiskus S. Gunadi merupakan Mahasiswa Magister Komunikasi Pembangunan UGM Yogyakarta

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya