Oleh: Ovan Baylon
Pembangunan bertujuan mulia, yakni membuat kehidupan masyarakat menjadi makin sejahtera. Klaim demikian menyertai berbagai macam proyek yang dirintis pemerintah. Ada janji bahwa dengan proyek-proyek itu, kemiskinan dientaskan dan lapangan kerja dibuka sehingga tak ada lagi warga yang harus merantau ke daerah lain.
Namun, kita juga sering menyaksikan sebuah kenyataan yang paradoksal. Apa yang diklaim sebagai pembangunan memunculkan persoalan-persoalan seperti peminggiran hak-hak warga, penghancuran ruang hidup mereka dan prosesnya yang dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa.
Hal seperti ini terjadi karena pembangunan hanya berbasis pada pertimbangan ekonomi. Standarnya pun bukan untuk kepentingan ekonomi banyak orang, tapi segelintir orang yang punya modal dan dekat dengan pemegang kekuasaan. Dalam cara kerja seperti ini, pembangunan berjalan terpisah dari panduan prinsip-prinsip moral dan etika.
Dalam bukunya Pyramids of Sacrifice [1974], Peter L. Berger, sosiolog Amerika menegaskan pentingnya pembangunan berbasis pada etika. Baginya, pembangunan mesti sampai pada sebuah upaya meniadakan penderitaan manusia. Itulah basis etis pembangunan menurut Berger.
Pembangunan mesti meniadakan penderitaan fisik seperti kelaparan, penyakit, kemelaratan, penyiksaan, penggusuran, diskriminasi atau penindasan [Benediktus Benar, 2020]. Lantas, sebesar apapun profit pembangunan dalam angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi, tetap dianggap gagal apabila hanya menguntungkan segelintir orang dan ditempuh dengan merusak peradaban manusia dan lingkungan hidup.
Di Indonesia, prinsip-prinsip ideal pembangunan sebetulnya sudah terumuskan dalam sila-sila Pancasila, ideologi dan dasar negara yang sudah seharusnya menjadi panduan sekaligus tujuan dari pembangunan. Namun, dalam praktiknya, prinsip-prinsip dalam kelima sila itu dikangkangi, termasuk oleh negara, yang semestinya menjadi garda terdepan untuk mewujudkannya.
Artikel ini akan secara berturut-turut mendiskusikan tema pembangunan, dengan secara khusus mengaitkannya dengan paradoks pembangunan di NTT, lalu mengelaborasinya dalam kaitan dengan nilai-nilai Pancasila. Pertanyaan kuncinya adalah bagaimana pembangunan itu dijalankan dan apakah sudah selaras dengan Pancasila?
Model Pembangunan di NTT
Gejala paradoks pembangunan tampak amat jelas dalam cara kerja proyek-proyek pembangunan yang dikerjakan pemerintah di wilayah NTT. Sejumlah proyek, sebagian dikategorikan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional, belum sepenuhnya berimplikasi pada keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Kita bisa belajar dari setidaknya dua contoh berikut.
Pertama adalah pembangunan pariwisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat yang kini dikenal sebagai destinasi pariwisata super premium dan salah satu dari 10 Bali baru. Dengan klaim bagian dari agenda pengembangan ekonomi hijau dan berkelanjutan, Labuan Bajo dan sekitarnya ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur, seperti jalan, bandara, marina, berbagai sentra pariwisata budaya, dan seterusnya. Pada 2020, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,30 triliun, naik dari Rp83,20 miliar pada 2019 untuk infrastruktur di Labuan Bajo.
Secara makro, semua itu tampaknya berjalan baik karena kunjungan wisatawan meningkat menjadi 800.074 pada 2023 dari 170.352 pada 2022. Namun, dengan pola pengembangan pariwisata yang berbasis industri – mengubah drastis model pariwisata berbasis masyarakat yang dipraktikkan oleh masyarakat lokal sebelumnya -, sejumlah proyek ini membawa serta risiko bagi lingkungan dan masyarakat setempat.
Kawasan pesisir dialihfungsikan menjadi hotel. Setidaknya ada 11 hotel di Labuan Bajo yang melanggar peraturan tentang sempadan pantai bahwa setiap bangunan harus berada minimal 100 meter dari titik pasang surut tertinggi. Di sisi lain, kawasan pantai yang masih bisa diakses bebas publik makin terbatas.
Pemerintah saat ini juga tengah mengembangkan kawasan di Golo Mori, yang disebut-sebut akan jadi Kawasan Ekonomi Khusus. Proyek yang menyasar wilayah 25 kilometer sebelah selatan Labuan Bajo itu secara drastis akan mengubah lanskap menjadi bangunan dan direncanakan untuk dikembangkan sebagai kawasan pemukiman.
Lahan di sekitar jalan menuju kawasan ini telah dikuasai oleh investor, sementara warga lokal kini kehilangan tanah. Proses peralihan kepemilikan tanah-tanah ini berlangsung dalam mekanisme pasar, tanpa ada upaya proteksi negara untuk memastikan bahwa warga setempat kemudian tidak menjadi landless, kelompok yang tidak punya tanah.
Tak hanya itu, kasus pembangunan jalan ke Golo Mori menjadi salah satu contoh paling jelas tentang bagaimana hak warga lokal diabaikan. Hingga kini, masih ada warga yang lahan dan rumahnya digusur untuk proyek jalan itu belum mendapat ganti rugi. Merujuk pada laporan Floresa, setidaknya ada 51 keluarga yang mayoritas petani belum mendapat ganti mereka. Mereka merupakan bagian dari pemilik aset dua rumah permanen dua lantai, lima rumah permanen, 16 rumah semi permanen, 14.050 meter persegi pekarangan, 1.790 meter persegi sawah, dan 1.080 meter persegi ladang.
Contoh kedua adalah proyek geotermal yang kian masif pasca penetapan Flores sebagai Pulau Geotermal pada 2017. Salah satu yang paling hangat adalah polemik di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, perluasan dari PLTP Ulumbu.
Dalam polemik ini, dengan klaim demi transisi energi, masyarakat telah diposisikan untuk hanya menerima apa yang sudah diputuskan pemerintah dan korporasi. Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit misalnya mengeluarkan Surat Keputusan terkait penetapan lokasi proyek pada 22 Desember 2022, tanpa sepengetahuan warga, yang kemudian memicu protes mereka.
Di tengah resistensi yang menguat hingga kini, pemerintah dan korporasi mengerahkan aparat keamanan. Salah satu titik penting dari polemik ini adalah bentrokan warga dengan aparat pada 2 Oktober 2024, di mana sejumlah warga ditangkap dan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut yang meliput aksi protes itu juga mengalami penganiayaan.
Pemerintah bersama korporasi selalu mencari jalan agar proyek tersebut bisa terealisasi. Namun, penting dicatat bahwa penolakan warga muncul karena menganggapnya dapat merusak lingkungan dan tanah tempat mereka menggantungkan hidup. Apalagi, titik-titik pengeboran amat dekat dengan pemukiman dan lahan mereka. Di sisi lain, tidak ada garansi yang pasti dari pemerintah dan korporasi tentang bagaimana menjamin kehidupan mereka tetap aman jika proyek itu dilanjutkan.
Pola Pembangunan versus Pancasila
Dua contoh di atas, secara jelas menunjukkan model pembangunan yang tidak selaras dengan Pancasila. Ini adalah imbas dari kebijakan pembangunan berwatak kapitalisme-neoliberal yang berseberangan dengan pembangunan ekonomi Pancasila yang berbasis pada moral, demi kemaslahatan bersama dan bersifat konservasi ekologis.
Sebagai paradigma pembangunan, Pancasila menuntut agar kegiatan yang berkenaan dengan pembangunan harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila [Eko Riwayadi, 2021; 877-888]. Pancasila sebagai paradigma pembangunan tentu tidak sebatas pada rana diskursus konseptual semata, tetapi menjadi panduan normatif yang harus diwujudnyatakan dalam proses pembangunan.
Pembangunan ekonomi Pancasila merupakan upaya manifestasi pasal 33 UUD 1945. Salah satu prinsip pentingnya adalah perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemanusiaan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. [Agus Salim, 2019]
Alexander Jebadu, pengajar di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, dalam bukunya Bahtera Terancam Karam [2018], menjelaskan lima prinsip ekonomi Pancasila. Pertama, bermoral, yakni dilakukan dengan cara-cara baik tanpa menggunakan cara-cara buruk. Kedua, manusiawi, yakni dilakukan dengan menghargai martabat pribadi manusia. Ketiga, nasionalis, yakni demi mewujudkan kebaikan bersama sebagai bangsa. Keempat, demokratis, yakni dicapai atas dasar partisipasi seluruh warga negara. Kelima, berkeadilan, yakni ditempuh untuk kepentingan semua warga negara.
Secara umum, pembangunan berparadigma Pancasila menghendaki agar pembangunan bertujuan untuk kemaslahatan bersama, tanpa menggerus peradaban manusia dan lingkungan hidup.
Selain itu, pembangunan mensyaratkan partisipasi bermakna warga negara. Dalam hal ini, negara atau pemerintah tidak boleh memonopoli dan mendominasi setiap deliberasi publik, terutama melalui pembungkaman terhadap suara kritis warga. Misalnya, menggunakan cara represif melalui pengerahan aparat keamanan.
Dalam pembangunan ekonomi Pancasila, yang diutamakan adalah musyawarah, tanpa adanya pemaksaan agar warga tunduk terhadap otoritas. Hal ini sepadan dengan prinsip dalam demokrasi yang mengedepankan partisipatif-deliberatif, yakni memberi ruang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan politik. Dalam demokrasi partisipatif-deliberatif, legitimasi atas sebuah keputusan politik tidak berdasarkan suara otoritas, tetapi pada diskursus antara pemerintah dan warga negara.
Konsolidasi Oposisi Sipil: Upaya Merawat Pancasila
Sederetan polemik pembangunan di NTT mencerminkan kemunduran upaya menjadikan Pancasila sebagai panduan normatif dan paradigma bagi pembangunan. Untuk bisa mengubah hal ini tampaknya sulit di tengah gejala menyatunya pemerintah dan korporasi, dengan bekingan aparat, dalam sebuah relasi simbiosis mutualisme.
Yang bisa dilakukan adalah terus memperkuat upaya kontrol dan kritik. Karena itu elemen sipil, baik warga, masyarakat sipil, aktivis, kampus, akademisi, mahasiswa, lembaga swadaya, dan organisasi kemanusiaan lainnya perlu tetap melantangkan suara.
Media sebagai pilar demokrasi juga punya peran penting sebagai watchdog yang selalu memantau jalannya kebijakan pembangunan. Media harus merepresentasikan kepentingan publik dengan tidak mudah terkooptasi oleh hegemoni penguasa untuk menarasikan berita yang cenderung mendukung program pembangunan kapitalistik-neoliberal.
Kita juga perlu menaruh harapan pada pemimpin-pemimpin yang lahir dari kontestasi pilkada di NTT tahun ini. Semoga mereka juga punya komitmen untuk membumikan dan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam berbagai macam agenda pembangunan.
Ovan Baylon adalah mahasiswa di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero
Editor: Ryan Dagur