Floresa.co – Proyek-proyek pemerintah di bidang energi panas bumi atau geotermal di berbagai pulau di Indonesia menjadi petaka bagi warga dan lingkungan karena rentan terhadap bencana, bahkan risiko kematian warga, kata koalisi gabungan warga dan kelompok advokasi.
Dalam aksi di kantor Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jakarta pada 17 Juli, Koalisi Nasional Tolak Geotermal itu meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan dan menghentikan sejumlah proyek yang memicu polemik.
Koalisi menyebut berbagai proyek geotermal tidak hanya mengabaikan warga dalam seluruh proses penyusunan kebijakannya, tetapi juga “menjadi ‘ladang kematian’ bagi warga setempat maupun pekerja.”
“Penambangan dan ekstraksi panas bumi untuk menghasilkan daya listrik telah puluhan kali terbukti menyebabkan gempa picuan, bukan pada tingkat yang bisa diabaikan bahayanya, tetapi bahkan sampai skala kegempaan di atas tiga,” kata koalisi dalam pernyatan yang diterima Floresa.
Risiko-risiko bencana tersebut, merujuk data Jaringan Advokasi Tambang [Jatam], misalnya terjadi dalam proyek geotermal di Mandailing Natal, Sumatera Utara yang menewaskan tujuh orang dan ratusan lainnya usai terpapar gas beracun H2S.
“Di Dieng, Wono Sobo [Jawa Tengah], operasi PT GeoDipa Energy telah menewaskan dua orang dan puluhan lainnya keracunan gas H2S akibat kebocoran berulang,” kata koalisi.
Sementara di Matoloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, koalisi menyebut proyek geotermal oleh PT PLN “memicu tenggelamnya lahan persawahan, mencemari air, munculnya penyakit kulit, dan amblesan tanah di sekitar pemukiman penduduk.”
Terkait respons pemerintah dan perusahaan menanggapi bencana-bencana itu, koalisi mengatakan Jatam telah beberapa kali memberikan peringatan lewat hasil riset.
Namun, Kementerian ESDM sebagai “lembaga yang paling bertanggung jawab tidak sekalipun menjawab, apalagi melakukan penyelidikan sungguh-sungguh tentang risiko bahaya gempa.”
Pola Kekerasan
Koalisi juga menggarisbawahi pendekatan keamanan oleh pemerintah dan perusahaan lewat pengerahan aparat.
“Resistensi warga lokal terhadap proyek tambang panas bumi justru dijawab dengan intimidasi dan pengerahan kekerasan negara-korporasi.”
Kekerasan fisik, intimidasi, kekerasan seksual hingga kriminalisasi, kata koalisi, terjadi di beberapa lokasi proyek, seperti di Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat; di Dieng, Jawa Tengah; Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat dan Padarincang, Provinsi Banten.
Padahal, perlawanan warga “untuk memastikan terjaganya keutuhan air kehidupan dan menjamin keberlanjutan hutan, tanah-tani dan kehidupan mereka sendiri.”
Sedangkan di Pulau Flores, pola kekerasan terjadi dalam pengembangan geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai; Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat, dan Mataloko, Kabupaten Ngada, kata koalisi.
Koalisi juga menyebut secara khusus kasus pengungsian warga dari kampung akibat tindak kekerasan PT Ormat Geothermal di Desa Wapsalit, Pulau Buru, Provinsi Maluku.

Karpet Merah Investasi
Di samping pendekatan keamanan melalui pengerahan aparat, koalisi juga menyebut jaminan hukum dan insentif bagi investor sebagai salah satu strategi meloloskan proyek.
Hal tersebut misalnya tampak dalam upaya mengeluarkan panas bumi dari kategori industri tambang melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.
“Siasat licik ini bertujuan agar dua pertiga sasaran tambang panas bumi di kawasan hutan bisa dijadikan lahan investasi industri,” kata koalisi.
Undang-undang tersebut, kata koalisi, juga memungkinkan terjadinya kriminalisasi warga yang menolak proyek.
Mereka merujuk pada pasal 46 Undang-Undang itu yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan panas bumi yang telah memegang Izin Pemanfaatan Langsung atau Izin Panas Bumi.
Sementara sanksinya bagi warga adalah “pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak Rp70 miliar.”
Selain itu, kata koalisi, pemerintah juga memberikan keringanan fiskal, misalnya dalam bentuk tax allowance, tax holiday dan keringanan pajak lainnya bagi perusahaan yang bergerak di bidang eksplorasi dan eksploitasi panas bumi.
“Sementara itu, warga dan ruang hidupnya yang terancam tambang panas bumi justru diperhadapkan dengan ancaman kriminalisasi.”
Koalisi beranggotakan warga dari berbagai lokasi proyek geotermal, di antaranya dari Poco Leok, Gunung Gede Pangrango, Padarincang, dan Maluku. Dua lembaga advokasi dan organisasi mahasiswa juga ikut bergabung – Jatam dan Front Mahasiswa Nasional.
Sejumlah Tuntutan
Dalam aksi ini, koalisi menuntut Kementerian ESDM menghentikan eksplorasi dan operasi sejumlah proyek geotermal dan “mencabut seluruh izin tambang panas bumi di seluruh Indonesia.”
Tuntutan lainnya adalah melakukan evaluasi atas proyek dan menghentikan penyebaran narasi bahwa geotermal “baik, rendah karbon, aman bagi lingkungan dan menyejahterakan”.
Mereka juga mendesak “membatalkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.”
Koalisi juga menuntut Kepolisian dan TNI menertibkan dan memberi sanksi aparat yang melakukan kekerasan terhadap warga penolak geotermal.
Sementara itu, lembaga-lembaga pendana proyek, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau didesak untuk “mengakhiri dukungannya, dan menghentikan pendanaan pada proyek-proyek panas bumi di Indonesia.”
Saat ini, Flores menjadi salah satu wilayah sasaran proyek geotermal, yang jumlahnya meningkat pasca penetapannya sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.
Sejumlah proyek yang sedang didorong adalah di Wae Sano, Poco Leok dan Mataloko. Baru-baru ini pemerintah juga melelang proyek lainnya di Nage, Kabupaten Ngada dan Atadei, Lembata.
Editor: Ryan Dagur