Floresa.co – Kasus kebocoran gas beracun kembali terjadi pada sebuah proyek panas bumi atau geotermal di Pulau Sumatera, milik perusahan yang punya hubungan dengan salah satu pembangkit listrik serupa di Flores.
Kebocoran gas beracun hidrogen sulfida atau H2S pada proyek milik PT Sorik Marapi Geothermal Power [SMGP] di Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara itu terjadi pada 22 Februari.
Hal ini membuat 123 warga di Desa Sibanggor Julu dan Desa Sibanggor Tonga, Kecamatan Puncak Sorik Marapi mengalami keracunan dan langsung dievakuasi ke beberapa fasilitas kesehatan terdekat, demikian pengakuan warga.
“Ada yang [dievakuasi] di posko kesehatan desa, Puskesmas dan Puskesmas pembantu. Sedangkan yang mengalami gejala agak parah langsung diantar ke RSUD Panyabungan dan RSU Permata Madina,” kata Saptar Nasution, warga Sorik Marapi yang berbicara dengan Floresa pada Jumat 23.
Ia mengatakan ratusan warga tersebut mengalami pusing hingga muntah sejak 22 Februari petang antara pukul 18.30 hingga 21.00 WIB.
Sebelumnya, lanjut Saptar, pihak PT SMGP mengumumkan kepada warga terkait pembukaan lubang bor sejak pukul 10.00 hingga 15.00 dan meminta warga waspada dengan penyebaran gas beracun.
“Entah ada kesalahan teknis, kita tidak tahu. Baunya baru kita rasakan pada pukul 18.00,” kata Saptar.
“Seharusnya perusahaan menginformasikan kepada warga bahwa ada kendala sehingga gas beracun masih ada setelah pukul 15.00,” lanjutnya.
Ia juga mengatakan telah berusaha menghubungi pihak perusahaan hingga 23 Februari petang, namun panggilan teleponnya tidak direspon.
Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam dalam siaran pers yang diterima Floresa mengatakan peristiwa kebocoran gas PT SGMP mengancam nyawa ribuan warga, terutama yang bermukim di Desa Sibanggor Julu dan Sibanggor Tonga.
“Kedua desa tersebut persis dikepung oleh pabrik geotermal PT SMGP,” tulis Jatam.
Kebocoran Gas Terus Berulang
Jatam menyatakan, perusahaan itu tercatat telah mengalami sembilan kasus kecelakaan, termasuk kebocoran gas.
Kebocoran gas pertama kali terjadi pada 25 Januari 2021, menyebabkan lima orang tewas, dan setidaknya puluhan korban lainnya menjalani perawatan di rumah sakit.
Empat dari lima orang yang tewas adalah dua orang ibu, beserta dua anak mereka berusia tiga dan lima tahun. Seorang lagi adalah petani remaja berusia 15 tahun.
“Lima korban meninggal tersebut merupakan warga yang sedang berladang di sekitar wilayah kerja PLTP Sorik Marapi,” kata Jatam.
Kasus berikutnya terjadi empat bulan kemudian, 14 Mei 2021. Ledakan dan kebakaran di lokasi yang sama, berjarak sekitar 300 meter dari pemukiman penduduk, kata Jatam, membuat warga mengungsi.
Insiden ketiga terjadi pada 6 Maret 2022, di mana setidaknya 58 warga mengalami muntah, pusing, dan pingsan, lalu dilarikan dan dirawat di rumah sakit.
Pada 24 April 2022, semburan lumpur panas setinggi lebih dari 30 meter yang disertai bau gas menyengat juga menyebabkan 21 orang terpapar gas beracun dan dilarikan ke rumah sakit. Semburan lumpur panas itu juga merendam area persawahan warga.
Kebocoran pipa gas berikutnya terjadi pada tanggal 16 dan 27 September 2022, yang menyebabkan total 94 warga mengalami pusing, mual dan pingsan.
Selain kebocoran gas, dalam catatan Jatam, juga terjadi konflik sosial di lokasi itu.
Dalam kejadian 20 Januari 2015, bentrokan antara warga yang pro dan kontra kehadiran proyek geotermal tersebut terjadi di Kecamatan Lembah Sorik Marapi, menyebabkan seorang warga tewas dan rumah serta kendaraan ikut hancur.
Tiga tahun setelahnya, pada 29 September 2018, kolam penampungan air pengeboran milik PT SMGP yang berlokasi di Desa Sibanggor Jae, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, menewaskan dua orang santri, berusia 14 dan 15 tahun.
“Kolam penampungan air perusahaan tersebut tidak memiliki pagar pengaman dan tanpa penjaga. Kedua korban jatuh di kolam sedalam sekitar sembilan meter,” kata Jatam.
Pemerintah yang Tidak Tegas
PT SMGP memiliki kapasitas produksi listrik 140 Megawatt, dengan luas konsesi mencapai 62.900 hektar yang tersebar di 10 kecamatan dan 138 desa.
Saat ini perusahaan baru beroperasi di 10 desa di Kecamatan Puncak Sorik Marapi dan Lembah Sorik Marapi.
Jatam menyatakan kejadian berulang yang menyebabkan sakit bahkan kematian bagi warga akibat proyek geotermal tersebut “tidak pernah mendapat penegakan hukum”.
“Pemerintah baru satu kali memberikan sanksi kepada PT SMGP. Itu pun sebatas pemberhentian sementara operasi pasca peristiwa yang menelan korban jiwa pada 25 Januari 2021,” ungkap Jatam.
Selain berdampak pada kesehatan warga, kata Jatam, operasi PT SMGP juga telah berdampak pada menurunnya produktivitas lahan pertanian arga yang berjarak kurang dari 100 meter dengan perusahaan.
“Hal ini terjadi karena semburan lumpur dan gas beracun, serta warga yang trauma untuk bekerja di ladangnya masing-masing di tengah kepulan asap beracun yang tiada henti.”
Menanggapi peristiwa pada 22 Februari, warga bersama Jatam menyatakan beberapa tuntutan.
Salah satunya menuntut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] “untuk segera mencabut izin operasi PT SMGP.”
Selain itu adalah mendesak Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLH] dan Polri untuk “segera memproses hukum kejahatan PT SMGP, baik atas kejahatan menghilangkan nyawa warga, maupun kejahatan lingkungan dari operasi perusahaan”.
Tuntutan lainnya adalah “mendesak Kementerian ESDM dan KLHK untuk segera melakukan pemulihan terhadap warga yang menderita dan lingkungan yang rusak”.
Bagaimana Kaitannya dengan PLTP di Flores?
Sebanyak 95 persen saham PT SMGP dimiliki oleh KS Orka Renewables Pte. Ltd, perusahan yang berbasis di Singapura.
Perusahaan yang sama memiliki anak perusahaan bernama PT Sokoria Geothermal Indonesia [SGI], yang telah mengoperasikan PLTP Sokoria di Kabupaten Ende, Flores sejak pertengahan tahun lalu.
Dalam sebuah laporan Floresa pada akhir tahun lalu, terungkap bahwa proyek geotermal PT SGI di Sokoria telah menyebabkan pencemaran pada sumber mata air warga di dua desa serta kerusakan pada tanaman pertanian.
Warga juga mengajukan protes, menyebut perusahaan tersebut telah ingkar janji untuk membangun jalan aspal dan instalasi air minum bersih.
Selain itu ada pula dugaan manipulasi informasi dan muslihat perusahaan sejak awal untuk pembebasan lahan bagi proyek tersebut.
Pipa-pipa gas berukuran besar juga melintang di depan rumah-rumah warga di Sokoria.
PLTP Sokoria adalah satu dari 21 titik lokasi proyek serupa di daratan Flores dan Lembata.
Beberapa lainnya berada di Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat, Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Mataloko dan Nage di Kabupaten Ngada, dan Atadei di Kabupaten Lembata.
Di lokasi-lokasi tersebut, proyek ini mendapat penolakan dari masyarakat setempat, yang khawatir terhadap dampaknya bagi ruang hidup mereka.
Editor: Ryan Dagur