Floresa.co – Warga Poco Leok melapor ke Polda NTT kasus kekerasan oleh aparat di Polres Manggarai saat aksi menolak proyek geotermal.
Laporan diajukan oleh Karolus Gampur dan Agustinus Tuju pada 14 Oktober terkait tindak pidana umum di bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu [SPKT].
Sebelumnya mereka telah melaporkan kasus dugaan pelanggaran etik ke bagian Profesi dan Pengamanan atau Propam Polda NTT pada 11 Oktober.
Pelaporan ini berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap Karolus, Agustinus dan tiga warga lainnya saat aksi jaga kampung pada 2 Oktober di Lingko Meter, bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.
Lingko Meter merupakan salah satu pintu masuk ke Poco Leok dari arah PLTP Ulumbu sekaligus akses masuk ke titik pengeboran atau Wellpad D di Lingko Tanggong, yang juga bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.
Tiba di SPKT pada pukul 11.00 Wita, Karolus dan Agustinus yang didampingi Irene Kanalasari, pengacara dari Solidaritas Perempuan Flobamoratas langsung mendaftarkan laporan polisi yang diterima dengan nomor: LP/B/290/X/2024/SPKT/Polda Nusa Tenggara Timur.
Mereka lalu menjalani visum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kupang sekitar pukul 14.00 Wita, lalu memberi keterangan awal di Direktorat Reserse Kriminal Umum hingga pukul 16.00 Wita.
Dalam salinan laporan, polisi menyatakan kasus itu terkait tindak pidana pengeroyokan sebagai diatur dalam pasal 170 KUHP.
Saat melaksanakan aksi jaga kampung, kata polisi, rombongan korban bertemu dengan rombongan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai yang dikawal oleh personel Polres Manggarai.
“Ketika korban cs menyampaikan aspirasinya situasi menjadi memanas dan terjadi pengeroyokan yang dilakukan oleh oknum Polres Manggarai dengan menggunakan tangan kosong sehingga korban cs mengalami luka dan memar,” tulis penyidik.
“Setelah terjadi pengeroyokan, korban cs disekap di dalam mobil truk dalmas milik Polres Manggarai oleh terlapor cs selama enam jam dan dilepaskan pada pukul 18.00 Wita.”
Selama proses pelaporan, Agustinus dan Karolus juga didampingi Aliansi Penolakan Geotermal–yang mencakup 16 organisasi aktivis dan mahasiswa berbasis di Kupang.
Irene menyatakan, penyidik Polda NTT berjanji akan memproses laporan itu serta mengabari para pelapor terkait perkembangannya.
Irene berkata, warga memilih melaporkan kasus itu ke Polda NTT dengan harapan bisa memberikan rasa aman serta terpenuhinya rasa keadilan.
Langkah itu, kata dia, mempertimbangkan posisi mereka sebagai kelompok yang rentan berhadapan dengan aparat keamanan. Sebagai alat negara, aparat keamanan memiliki relasi kuasa yang tidak setara dengan warga.
Ia berkata, para pelapor berharap Polda NTT segera menindaklanjuti laporan itu, dengan menangkap dan mengadili para pelaku.
Sebelumnya Polda NTT telah menerima dan memproses laporan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut yang juga mengalami kekerasan dari aparat Polres Manggarai pada 2 Oktober.
Propam Polda berjanji akan melakukan audit lanjutan ke Polres Manggarai dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi lain, termasuk polisi terlapor.
Aksi jaga kampung merupakan upaya warga di 10 gendang atau kampung adat di Poco Leok merespons langkah Pemerintah Kabupaten Manggarai dan PT PLN yang hendak melanjutkan identifikasi dan pendataan awal lokasi rencana pemgembangan PLTP Ulumbu unit 5-6 lokasi access road ke Wellpad I, Wellpad I dan Wellpad D.
Saat itu pemerintah dan PT PLN dikawal ketat oleh ratusan aparat keamanan yang merupakan gabungan dari polisi, TNI, dan Pol PP.
Setelah sempat berdebat dengan warga, aparat mulai melancarkan tindakan represif kepada warga. Florianus Madur dan Agustinus Tuju ditangkap dan dimasukkan ke dalam mobil polisi.
Sementara itu, Karolus Gampur, Hilarius Bandi, dan Ponsianus Lewang dianiaya oleh aparat, termasuk polisi.
Akibat tindakan represif itu, Ponsianus mengalami cedera dan sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ben Mboi di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Editor: Ryan Dagur