Floresa.co – Empat orang tak dikenal memasuki halaman rumah berkelir putih di Jalan Asoka, Labuan Bajo sekitar pukul 15.30 pada 2 November.
Meski diselimuti keraguan, tuan rumah mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu.
Satu dari empat tamu yang mengenakan kaos hitam dipadu celana pendek gelap itu lalu memperkenalkan diri dan tiga temannya.
Berdasarkan rekaman video yang diperoleh Floresa, keempat tamu itu masing-masing seorang anggota Kepolisian Perairan dan Udara [Polairud] Mabes Polri, dua lainnya personel Polairud Manggarai Barat dan seorang dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Labuan Bajo.
“Kami ini mitra kerja di pelabuhan,” kata salah satu anggota Polairud Manggarai Barat kepada tuan rumah.
Dari penggalan video berdurasi total dua menit 44 detik itu, pria yang menjadi juru bicara itu menyebut anggota Polairud Mabes Polri sebagai “penanggung jawab.”
“Ada kejadian yang melibatkan beliau punya anggota. Beliau sebagai ‘orang tua’ di kapal, datang ke rumah ini [untuk] meminta maaf, [atas] kelakuan anak buahnya,” katanya menerangkan maksud kedatangan mereka.
Namun, ia tak secara gamblang mengungkap kejadian yang melibatkan anak buah si “penanggung jawab” itu.
Seiring ucapannya, sebotol bir dan sebungkus rokok tampak di hadapan tuan rumah.
Terpaut 18 hari selepas pertemuan itu, seorang penghuni rumah yang diwawancarai Floresa menyatakan sebotol bir dan sebungkus rokok tersebut dibawa oleh seorang dari keempat tamu itu, sebelum disodorkan ke meja ruang tamu.
Dalam budaya Manggarai, tuak – minuman keras berbahan dasar sadapan nira – yang bisa diganti bir, serupa halnya rokok, diyakini sebagai simbol untuk memulai suatu pembicaraan formal dan penting, seperti meminta bantuan dan meminta maaf yang mengedepankan asas kekeluargaan.
Anggota Polairud Polres Manggarai Barat sebagai juru bicara dalam pertemuan itu mengatakan kedatangan mereka ke rumah itu “untuk meminta maaf karena kejadian itu menimpa anggota keluarga” yang dikunjungi.
Ia lalu “memohon petunjuk dari keluarga.”
“Kalau bisa, kita rembuk, [agar] masalah ini [diselesaikan] secara kekeluargaan. Namun, kami kembalikan kepada keluarga,” katanya.
Setelah berembuk, kepada keempat tamu, keluarga tuan rumah menyatakan menolak permohonan penyelesaian secara kekeluargaan.
Apa yang Sebelumnya Terjadi?
Meski tak secara transparan menjabarkan “kejadian” yang berulang kali disebutkan, kuat dugaan kedatangan keempat orang itu mewakili pelaku penganiayaan terhadap Bernardinus Budiman Tri Idu.
Sehari sebelum lawatan tersebut, Bernard, lelaki 25 tahun yang tinggal di rumah itu tampak dianiaya sejumlah orang di Deja’vu Bar 2.0, Labuan Bajo, sesuai rekaman pengawasan berbasis video atau CCTV yang telah diperiksa Floresa.
Pada penggalan rekaman itu tertera cap waktu atau time stamp 1 November 2024 antara semenit sebelum dan sesudah pukul 03.08 Wita.
Tampak empat orang sedang mondar-mandir di depan Deja’vu, sementara enam lainnya duduk di sekitar kafe itu. Tak lama kemudian seseorang masuk ke kafe, disusul empat lainnya yang berancang-ancang mendekati pintu, sebelum mundur kembali.
Beberapa detik kemudian terlihat sejumlah orang keluar dari kafe sembari memukuli seseorang, yang diakui Bernard adalah dirinya.
Ditemui Floresa pada 20 November, Bernard bercerita, menjelang subuh pada 1 November itu ia dan beberapa temannya tengah mengikuti acara Halloween di kafe yang terletak di Kampung Ujung, Kelurahan Labuan Bajo itu.
Halloween telah ratusan tahun dirayakan sebagian penduduk Benua Eropa dan Amerika. Halloween awalnya diperingati sebagai penanda berakhirnya musim panen sekaligus peralihan ke musim dingin, yang seiring tahun berkembang menjadi semacam pesta kostum.
Menurut pengakuan Bernard, tiba-tiba petugas keamanan kafe menghampirinya “saat sedang berjoget.”
Masih menurut pengakuannya, petugas keamanan lalu memintanya keluar kafe, “beralasan ada yang mencari saya.”
Ia menyatakan semula menolak permintaan petugas keamanan itu. Namun, “karena terus didesak, saya akhirnya menurut.”
Sesampai di pintu utama kafe, “tiba-tiba tiga orang yang tak dikenal” menarik baju sebelum mulai memukulinya.
Tiga orang itu, kata Bernard, lalu menariknya menjauhi pintu kafe sebelum beberapa lainnya ikut memukulinya.
Ia sempat terjatuh dan “orang-orang tak dikenal itu menginjak tubuh saya.”
Pukulan bertubi-tubi turut melemahkan tubuhnya. Bernard tak mampu membela diri.
Yang bisa ia lakukan saat itu hanya “menutup kepala dengan kedua tangan agar terhindar dari pukulan.”
Beberapa pengunjung kafe yang melihat peristiwa itu berusaha melerai, termasuk seorang satpam. Mereka lalu mengevakuasi Bernard ke Gardena Bungalow, sekitar 300 meter dari Deja’vu.
“Saya tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya jika mereka tidak melerai,” kata Bernard.
Ia mengatakan sekujur tubuhnya terasa sakit setelah peristiwa itu.
Dalam video yang ditunjukkan ke Floresa pada 20 November, tampak tangan kirinya terluka dan berlumuran darah. Luka dan lebam juga terlihat pada bagian kening, pipi dan punggung.
Oleh beberapa teman, Bernard kemudian diantar pulang ke rumah seorang kerabat.
Ia tak berani pulang ke rumah orang tuanya “karena khawatir mereka akan panik.”
Dalam kesakitan, Bernard yang ditemani kerabat dan sejumlah temannya melaporkan penganiayaan tersebut ke Polres Manggarai Barat sekitar pukul 05.00 Wita. Ia kemudian melakukan visum di Puskesmas Labuan Bajo, ditemani dua polisi.
Setelah visum, ia dimintai keterangan di bagian Reskrim Polres Manggarai Barat. Baju yang dikenakan, yang sudah robek dan berlumuran darah dijadikan barang bukti.
Terus Dekati Keluarga
Setelah gagal dalam upaya penyelesaian secara kekeluargaan pada 2 November, dua hari kemudian dua orang berseragam biru khas Polairud kembali mendatangi rumah orang tua Bernard.
Namun, saat itu di rumah hanya ada Bertha Lalus, ibu Bernard. Bertha tetap menolak permohonan para tamunya.
“Saya tidak pernah melihat anak saya diperlakukan sesadis ini, Pak,” kata Bertha kepada kedua orang itu seperti dikisahkan kembali kepada Floresa.
“Ini tindakan yang sangat tidak manusiawi. Anak saya dikeroyok hingga luka. Saya belum siap menerima permintaan maaf ini,” kata Bertha kepada mereka kemudian.
Meski sudah dua kali ditolak, pendekatan terus dilakukan ke keluarga Bernard.
Pada 6 November, anggota Polairud datang bersama tokoh adat Labuan Bajo, Anton Antam. Tak hanya itu, perwakilan Polairud hadir mengenakan busana adat Manggarai, lengkap dengan sarung dan peci songket.
Keluarga Bernard, yang saat itu didampingi oleh kuasa hukum mereka, Hipatios Wirawan Labut, tetap menolak penyelesaian secara damai.
Sebaliknya, keluarga menyatakan sepakat menyelesaikan masalah itu melalui jalur hukum.
Anton Antam, yang ditemui Floresa pada 21 November, membenarkan dirinya turut memfasilitasi mediasi sesudah “dimintai bantuan oleh Polairud.”
Ia mengakui “proses mediasi ‘tidak berjalan’ lantaran keluarga meminta diproses melalui jalur hukum.”
Meski mengaku mendengar soal penganiayaan terhadap Bernard, Anton mengklaim “tidak mengetahui secara persis para pelaku penganiayaan dan motif mereka melakukan itu.”
Proses Hukum “Jalan di Tempat”
Lebih dari tiga pekan pascakejadian sekaligus pelaporan ke Polres Manggarai Barat, pengusutan dugaan penganiyaan itu belum menampakkan perkembangan.
“Masih penyelidikan, mohon waktunya,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Manggarai Barat, AKP Lufthi Darmawan Aditya saat dihubungi Floresa melalui pesan WhatsApp pada 20 November.
Lufthi tak merespons ketika ditanya soal jumlah saksi yang sudah diperiksa dalam pengusutan kasus ini, meski pesan sudah bercentang dua dan biru, tanda sudah dibaca.
Pada 6 November, Polres Manggarai Barat mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan [SP2HP] ke Bernard.
Dalam surat itu, penyidik menginformasikan bahwa laporan Bernard “sedang dalam proses penyelidikan Satuan Reskrim Polres Manggarai Barat.”
Penyelidik, demikian tertulis dalam SP2HP itu, telah melakukan tindakan penyelidikan berupa pengecekan Tempat Kejadian Perkara atau TKP, pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan permintaan hasil visum et repertum.
Visum et repertum merupakan laporan tertulis dari dokter yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan medis terhadap korban tindak kekerasan atau dalam kasus kematian tertentu. Dibuat berdasarkan permintaan penyidik, visum et repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah secara hukum.
Kepolisian, masih menurut SP2HP itu, berjanji akan “melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi terkait.”
Kuasa hukum Bernard, Hipatios Wirawan Labut, menilai ada yang janggal dalam SP2HP tersebut.
Menurutnya, di dalam SP2HP disebutkan penyelidik telah melakukan penyelidikan berupa pemeriksaan terhadap saksi-saksi.
Namun, katanya, “tidak disebutkan nama-nama saksi yang sudah diperiksa.”
“Kami menduga bisa saja belum diperiksa, karena biasanya di dalam SP2HP disebutkan nama-nama saksi yang sudah diperiksa,” ujarnya.
Wira juga menilai “kepolisian begitu lamban” menangani kasus dugaan penganiayaan terhadap kliennya.
Meski Polairud beberapa kali melakukan upaya mediasi, ia terus mendorong keluarga memproses secara hukum lantaran “penganiayaan merupakan tindakan melanggar hukum.”
Tak hanya memastikan dan menindak pelakunya, ia juga mendesak kepolisian lekas menyelidiki motif penganiayaan terhadap Bernard.
“Polisi harus profesional dan objektif meskipun pelakunya merupakan aparat keamanan,” katanya.
Editor: Petrus Dabu