ReportaseMendalamNelayan Labuan Bajo Berjuang untuk Adaptasi di tengah Krisis Iklim dan Ekspansi Industri Pariwisata

Nelayan Labuan Bajo Berjuang untuk Adaptasi di tengah Krisis Iklim dan Ekspansi Industri Pariwisata

Hal ini jadi temuan riset Floresa yang difasilitasi Yayasan Pikul

Floresa.coNelayan di kawasan pesisir Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT berjuang untuk bertahan di tengah tantangan akibat krisis iklim dan ekspansi proyek pariwisata.

Hal itu terungkap dalam hasil riset Floresa yang dipresentasikan dalam forum daring pada 6 Juni.

Hasil riset itu yang fokus di Desa Gorontalo dan Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo bertajuk “Strategi Adaptasi ‘Orang Laut’ Menghadapi Krisis Iklim dan Dampak Industri Pariwisata di Labuan Bajo”.

Riset itu merupakan salah satu dari 10 riset dengan tema umum “Adaptasi Efektif Berkeadilan” yang difasilitasi Yayasan Pikul, lembaga yang fokus pada penguatan masyarakat sipil dan pemenuhan hak dasar warga di Indonesia timur. Semua riset dikerjakan pada Maret-November tahun lalu.

Tema riset setiap tim seputar adaptasi warga di kawasan pesisir, perlawanan warga terhadap proyek strategis nasional hingga peran perempuan dalam adaptasi komunitas di tengah krisis iklim dan ekspansi pembangunan.

Selain Floresa, tim lainnya adalah Green Leadership Initiative (GLI) Sulawesi Selatan, GLI Kabupaten Kupang, GLI Maluku Utara, Ruang Kolaborasi Perempuan Sulawesi Tenggara dan Ekologi Rai Hawu Kabupaten Sabu Raijua, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga, Jaringan Ahli Perubahan Iklim Indonesia (APIK Network), Gema Alam Nusa Tenggara Barat dan Ekora NTT.

Dampak Krisis Iklim

Anno Susabun, yang mewakili Floresa mempresentasikan hasil riset menjelaskan, nelayan di pesisir Labuan Bajo menghadapi beban ganda akibat krisis iklim yang dampaknya kian terasa selama beberapa dekade terakhir.

Selain itu, proyek-proyek infrastruktur di sepanjang garis Pantai Gorontalo di selatan hingga Pantai Wae Cicu di utara juga menjadi tantangan lain, yang berdampak pada ekosistem di wilayah pesisir.

Nelayan dengan perahu kecilnya sedang melintas di perairan Labuan Bajo. (Dokumentasi Floresa)

“Beberapa dekade sebelumnya, sebagai ‘orang laut’ atau ‘suku laut’, warga di pesisir Labuan Bajo menggantungkan hidupnya secara penuh dari hasil kekayaan laut di sekitar,” katanya.

Hal itu merujuk pada cerita-cerita warga yang menyebut kehidupan harian mereka sebelum 2000-an “diisi oleh aktivitas penangkapan hingga penjualan hasil laut seperti berbagai jenis ikan, udang dan cumi-cumi.”

Mereka juga terbiasa menangkap nener, sejenis bibit ikan kecil yang dijual kepada penampung untuk dibudidayakan pada keramba dan dijual ketika sudah besar.

Hasil tangkapan itu kemudian dibarter dengan hasil pertanian dari wilayah pedalaman di Manggarai Barat.

Namun, “belakangan ini terjadi perubahan musim yang tidak menentu, membuat angin musim barat ‘loncat mundur,” bagian dari dampak krisis iklim.

“Dulu mereka dengan begitu mudah mengatur aktivitas melaut berdasarkan pengetahuan tradisional yang diwariskan turun-temurun, yaitu musim barat yang berlangsung November hingga April dan musim timur pada Mei hingga Oktober.”

Ketergantungan pada laut kian berubah, katanya, membuat hingga kini jumlah nelayan menurun drastis, kendati data versi nelayan itu tak sejalan dengan klaim pemerintah yang menyatakan sebaliknya. 

Data Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Manggarai Barat menyebut jumlah nelayan di Kecamatan Komodo pada 2023 adalah 1.807 orang, terdiri atas 1.367 nelayan penuh, 325 nelayan sambilan utama, dan 115 nelayan sambilan tambahan. 

Jumlah tersebut menurun dari 1.843 nelayan pada 2022, tetapi meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 1.670 nelayan.

Namun, data itu kontras dengan pengakuan warga.

Umar Ilias Husen, nelayan di Kampung Baru, Desa Gorontalo, saat ini jumlah nelayan di kampung itu hanya tersisa empat orang, ditambah dua puluhan nelayan pendatang dari wilayah Sulawesi Selatan yang menetap di sana sekitar tujuh tahun belakangan.

Selain klaim pemerintah yang berseberangan dengan pernyataan nelayan setempat, kata Anno, Kelurahan Labuan Bajo juga mengakui data terkait jumlah nelayan tersebut kurang valid, terutama karena kebanyakan warga pesisir yang sudah beralih profesi tetap mengaku sebagai nelayan saat pelaksanaan sensus atau pendataan penduduk.

Sementara itu, cuaca yang tidak menentu juga menyebabkan berkurangnya ikan dan biota laut lainnya.

Tarape, warga Kampung Ujung yang juga penyuluh berstatus pegawai kontrak pada Kementerian Kelautan dan Perikanan mengaku nelayan kini harus melaut selama minimal tiga hari untuk mendapatkan tangkapan yang setara dengan hasil penangkapan selama kurang dari sehari “di depan rumah saja” pada masa lalu.

Diperparah Industri Pariwisata

Sementara krisis iklim semakin mengancam secara ekonomi dan ekologis, pembangunan berbagai infrastruktur pariwisata, seperti tanggul laut dan hotel milik pemerintah dan pengusaha swasta menjadi tantangan lain.

Anno berkata, pemerintah mengklaim pariwisata sebagai sektor unggulan karena merupakan solusi bagi triple planetary crisis, yakni krisis iklim, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Namun dalam kenyataan, pariwisata justru menjadi arena akumulasi modal “yang ditempuh melalui penguasaan atau kontrol atas pulau-pulau, pesisir, wilayah laut, tanah, air dan pemandangan.”

Akibatnya, terjadi perubahan lanskap kawasan pesisir Labuan Bajo yang “tidak terjadi begitu saja, tetapi diproduksi oleh kekuatan penguasa dan pengusaha.”

“Bukannya membantu nelayan untuk bertahan dalam profesinya, pembangunan tanggul, apalagi hotel justru menambah sulit pergerakan perahu mereka,” katanya.

Hal lainnya yang terungkap dalam riset tersebut adalah menjamurnya jumlah kapal wisata, yang menurut nelayan mengganggu keanekaragaman hayati di laut, di antaranya membuat ikan tidak nyaman dan menjauh.

Selain itu, kapal-kapal wisata juga menyebabkan perahu nelayan kesulitan bergerak. 

Sementara itu, privatisasi berkedok konservasi di kawasan Taman Nasional Komodo juga diakui mempersempit ruang gerak nelayan tradisional.

Perahu nelayan dengan latar belakang sejumlah kapal wisata di Labuan Bajo. (Dokumentasi Floresa)

Strategi Adaptasi

Menghadapi situasi ini, para nelayan melakukan beberapa upaya adaptasi untuk tetap bertahan dengan profesi mereka.

Adaptasi itu mencakup bergabung dengan perahu-perahu besar milik para pengusaha perikanan hingga mendesain terpal pada atap perahu untuk berlindung dari badai ketika harus melaut ke lautan yang dalam.

Upaya lainnya adalah beralih profesi menjadi pekerja wisata dengan memanfaatkan perahu untuk antar jemput wisatawan ke Taman Nasional Komodo.

Salah satu nelayan berkata; “Sejak Sail Komodo 2013, bagan pelan-pelan berkurang. Nelayan sudah alih profesi. Ada yang kerja di kantor, buka usaha kos. Bagannya jadi kapal wisata, antar tamu.”

Sail Komodo merupakan acara promosi pariwisata Labuan Bajo pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara bagan merupakan alat penangkapan ikan yang menggunakan jaring dan lampu, umumnya berbentuk pondok kecil apung yang dipasang di pinggiran atau tengah laut.

Namun, profesi sebagai pelaku wisata, menurut nelayan, juga tidak lebih menjanjikan.

Meski memilih beralih, Umar Ilias Husen dari Desa Gorontalo mengakui profesi sebagai pekerja wisata bukannya meningkatkan taraf hidup keluarganya, tetapi pendapatannya menurun dan semakin tidak menentu.

Berhenti menjadi nelayan pada 2023, Umar berkata pemasukan sebagai pekerja wisata bergantung pada musim ramai dan tidaknya wisatawan. 

Memasuki bulan Oktober, katanya, pemasukan sebesar Rp500 ribu dapat habis setelah tiga hari karena jumlah wisatawan berkurang drastis, hal yang membuatnya harus berutang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Strategi lainnya adalah beralih dari perahu layar menjadi perahu mesin.

Namun peralihan itu berisiko pembengkakan biaya bahan bakar, terutama karena jarak dan waktu yang diperlukan untuk melaut semakin tinggi, sebab ikan dan biota lainnya berkurang sangat drastis di sekitar kawasan dekat pesisir akibat infrastruktur dan kapal wisata.

Dari sisi pemerintah, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Fatinci Reynilda mengklaim telah melakukan pelatihan yang menyasar komunitas nelayan, di antaranya soal cara membaca prakiraan cuaca melalui aplikasi ponsel. 

Namun, kata Anno, “tak seorang pun dari keempat nelayan yang kami temui bercerita soal pelatihan itu.”

“Setidaknya dua dari empat nelayan justru berkisah soal upaya mandiri mereka beradaptasi di tengah ketidakpastian cuaca,” katanya.

Kawasan pesisir Labuan Bajo yang berubah jadi tembok, bagian dari proyek infrastuktur pariwisata. (Dokumentasi Floresa)

Bentuk Maladaptasi 

Sesi presentasi riset Floresa yang berlangsung usai presentasi Ekora NTT terkait proyek pangan di Kabupaten Ende direspons anggota DPRD Provinsi NTT Jan Pieter Windy dan analis kelautan dan perikanan Parid Ridwanudin.

Jan Pieter berkata, DPRD mendukung berbagai riset yang dilakukan di NTT sebagai upaya membantu pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan.

Terkait kondisi di Labuan Bajo, ia berkata, pengalamannya berjumpa warga mengungkap pasokan ikan di kota pariwisata super premium itu “sebagian besar datang dari luar daerah.”

Hal yang sama terjadi di bidang pertanian.

“Ketergantungan akan barang-barang dari luar masih sangat tinggi.”

Sementara Parid Ridwanudin berkata, temuan Floresa membuktikan adanya maladaptasi terhadap krisis iklim, di mana “desain kebijakan justru melahirkan krisis dan risiko baru.”

Sementara adaptasi adalah upaya menyesuaikan diri dengan dampak krisis iklim, jelasnya, maladaptasi tampak dalam tindakan yang “seolah-olah hendak menghindari atau mengurangi kerentanan.”

“Dalam kenyataan, beban yang diberikan kepada kelompok yang paling rentan semakin besar,” katanya, “termasuk penyempitan ruang bagi komunitas terdampak krisis iklim” di Labuan Bajo.

Ia juga berkata, maladaptasi di Labuan Bajo tampak dalam penurunan kualitas sosial dan ekonomi nelayan yang beralih menjadi pekerja wisata dan ruang publik laut menjadi arena kompetisi nelayan dengan pelaku bisnis besar.

Selain itu, ia menyoroti kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang “tidak mau membaca situasi di tingkat tapak” atau kawasan pesisir.

Salah satu sebabnya, kata Parid, adalah warga pesisir tidak memiliki ruang yang cukup untuk “membicarakan dirinya sendiri” dalam penyusunan kebijakan.

Nelayan di pesisir Labuan Bajo berinteraksi dengan pengepul hasil tangkapan mereka. (Dokumentasi Floresa)

Penanggap lainnya dalam forum tersebut adalah staf Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT Gabriel Gara Beni dan Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Said Abdullah.

Andry Ratumakin, Direktur Riset Yayasan Pikul berkata riset terkait pariwisata oleh Floresa dan pangan oleh Ekora NTT membuktikan adanya kontradiksi antara harapan komunitas setempat dengan model ekonomi kapitalis yang disodorkan pemerintah.

“Pertanyaan ekonomi politiknya adalah, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam sistem ini, dan bagaimana negara berperan di sana,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA