Pedoman Floresa untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Berbasis Gender

Floresa berkomitmen menyediakan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Salah satunya adalah dari kekerasan seksual.

Karena itu, pada September 2024, Floresa meluncurkan pedoman khusus untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang berlaku untuk tim internal dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam kerja sama atau kemitraan dengan Floresa.

Dokumen pedoman tersebut bisa diakses dengan klik di sini. Berikut adalah pengantar untuk pedoman tersebut yang ditulis oleh Ryan Dagur, Pemimpin Umum Floresa:

Kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang akhir-akhir ini terus mendapat perhatian serius dari berbagai elemen, termasuk di Indonesia, setidaknya tampak dalam perumusan regulasi yang khusus mengenai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Selain karena makin banyaknya kasus yang terungkap ke publik, hal ini juga dipicu oleh kesadaran tentang dampak kekerasan ini yang sangat kompleks terhadap korban.

Pelaku dan korban kekerasan seksual tidak terbatas pada gender tertentu. Artinya, kekerasan seksual dapat dilakukan oleh dan terhadap semua gender. Kendati demikian, secara proporsional kekerasan seksual lebih banyak dialami oleh perempuan. Hal ini tidak terlepas dari masih kuatnya diskriminasi berbasis gender, yaitu pandangan, sikap dan perilaku yang menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Akibatnya, perempuan tidak memperoleh kesempatan, akses maupun manfaat yang setara dalam pengakuan, penggunaan dan penikmatan hak asasi sebagai manusia. Data terakhir yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat 4.374 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2023, meningkat tiga kasus dari tahun sebelumnya. Mayoritas di antaranya, 3.303 pengaduan, merupakan kasus kekerasan berbasis gender.

Sementara itu, hasil riset “Potret Suram Jurnalis Korban Kekerasan Seksual” oleh Aliansi Jurnalis Independen dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media pada 2023 menemukan bahwa dunia kerja jurnalis di Indonesia juga rentan dari praktik kekerasan seksual. Riset itu menunjukkan 82,6 persen dari 852 responden menyebutkan pernah mengalami satu atau lebih kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka, yang mayoritas mengalaminya di ranah daring sekaligus luring. Hal ini menimbulkan dampak psikologis dan profesional. Dampak psikologis antara lain rasa cemas, takut dan gelisah terutama jika ada kegiatan atau peristiwa yang mengingatkan mereka pada peristiwa kekerasan yang pernah dialami, juga rasa tidak percaya terhadap orang lain. Sementara dampak profesional adalah lebih berhati-hati ketika melakukan liputan yang mengingatkan pada kekerasan seksual yang dialami, hingga memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor. Temuan ini tentu menuntut perhatian serius dari komunitas pers, agar secara bersama-sama berupaya menjadikan tempat kerja pers sebagai ruang yang aman dari kekerasan seksual.

Sejak berdiri pada 2014, Floresa memiliki perhatian pada isu ini, selain pada prinsip inklusivitas dan perlakuan setara terhadap semua anggota tim dari latar belakang apapun. Namun, hal ini tidak diatur secara rinci dan khusus dalam pedoman kerja, tetapi dirumuskan secara umum saja. Pemicunya karena keterbatasan sumber daya yang secara khusus bisa merumuskan kebijakan yang lebih rinci dan operasional.

Dalam setidaknya dua tahun terakhir, keinginan adanya sebuah pedoman khusus tentang perilaku, termasuk yang terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kian dirasa mendesak. Hal ini berangkat dari beberapa alasan.

Pertama, Floresa mulai sering menulis kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di sejumlah kabupaten di NTT. Dalam penulisan kasus-kasus demikian, kami menemukan pola yang sama tentang pelaku yang umumnya dari orang-orang dekat korban. Kasus-kasus yang terungkap memang hanya segelintir, namun kami meyakini ada banyak yang tidak terbongkar, selain karena belum munculnya kesadaran kuat pada pentingnya penanganan kasus kekerasan seksual, juga karena kondisi sosial budaya yang menyulitkan korban bersuara dan kuatnya keinginan untuk menyelesaikan kasus seperti ini melalui mekanisme adat. Dalam sejumlah pembicaran di dalam tim Floresa, fenomena ini seringkali didiskusikan, yang lalu memicu lahirnya kesadaran untuk mencegah agar hal seperti tidak terjadi lagi, mulai dari lingkungan Floresa sendiri.

Kedua, hal ini makin dianggap penting ketika dalam beberapa kegiatan Floresa terjadi praktik kekerasan seksual. Saya sendiri mengalami dan menyaksikan setidaknya dua kali, yaitu saat penyelenggaraan diskusi dalam rangka Hari Kebebasan Pers Sedunia di Labuan Bajo pada Mei 2023 dan dalam sebuah pelatihan jurnalistik di Ruteng pada tahun Maret 2024 yang diikuti para jurnalis Floresa dan jurnalis media lain.

Dalam dua insiden itu, terjadi kekerasan seksual secara verbal oleh peserta, yang kemudian membuat penyelenggaraan acara terganggu dan memicu pengalaman traumatik bagi peserta tertentu. Dalam peristiwa kedua, kami sebagai penyelenggara akhirnya melakukan perumusan kesepakatan bersama di tengah acara untuk secara rinci menetapkan perilaku yang dilarang. Salah satunya adalah melarang komentar-komentar seksis, yang adalah salah satu bentuk kekerasan seksual verbal. Dari dua insiden itu, kami melihat ada semacam fenomena kurangnya pemahaman dan kepedulian pada isu kekerasan seksual. Dalam konteks di NTT, terutama juga di lingkungan media, hal seperti ini memang masih belum banyak dibicarakan. Sejak dua peristiwa itu, kami juga menyepakati untuk menyiapkan persyaratan sebelum kemudian mengadakan kegiatan yang melibatkan pihak eksternal.

Ketiga, dari pembicaraan internal di tim Floresa, kami juga menemukan ada anggota tim dan juga kawan-kawan lain yang dekat dengan kami yang pernah mengalami kekerasan seksual, dengan bentuk yang bervariasi. Hal ini membuat kami makin menyadari bahwa masalah ini bukan sesuatu yang asing, jauh, tetapi sangat dekat dengan kami.

Karena ketiga alasan itulah, Floresa menyambut antusias inisiatif penting Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI] yang pada Agustus 2024 melibatkan 10 media anggota, termasuk Floresa, menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual berbasis gender ini.

Pedoman ini memang bukanlah resep tunggal untuk merespons kekerasan seksual, tetapi sebuah langkah mendasar sebagai bentuk komitmen Floresa terhadap keamanan semua anggota tim. Pedoman ini merupakan ikhtiar bersama untuk bergandengan tangan memastikan bahwa ruang kerja Floresa bebas dari praktik kekerasan seksual, lewat berbagai upaya pencegahan. Kalaupun kemudian ada kasus, pedoman ini juga menyediakan mekanisme yang akan menjadi pegangan dalam penanganan.

Salah satu hal yang juga penting dari pedoman ini adalah penjelasan yang rinci tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual. Hal ini amat membantu karena belajar dari pengalaman selama ini, banyak sekali bentuk perilaku terkait seksual yang dianggap sebagai hal yang biasa, sehingga terus diulang-ulang tanpa disadari dampaknya. Padahal, sebagaimana yang diterangkan dalam pedoman ini, sebetulnya itu adalah bagian dari bentuk kekerasan seksual yang bisa memicu efek serius bagi korban.

Sebagaimana dikatakan oleh Ketua AMSI, Wahyu Dhyatmika dalam “Modul dan SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender Online,” keberadaan pedoman semacam ini juga penting dalam konteks mewujudkan media yang bisnisnya sehat dan kontennya berkualitas, sebagaimana mantra AMSI. Salah satu variabel penting bagian dari membangun ekosistem bisnis yang sehat demi keberlanjutan media adalah memastikan sistem internal media mengadopsi nilai yang tepat, yang selaras dengan tujuan melayani publik dengan konten jurnalistik berkualitas. Dalam hal ini, beberapa nilai itu berkaitan dengan lingkungan, sosial dan tata kelola yang juga kerap dihubungkan dengan pentingnya penerapan kesetaraan gender, keberagaman dan inklusivitas. Dengan merumuskan, pedomaan ini, Floresa berkomitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip itu.

Saya mengucapkan terima kasih kepada tim Floresa yakni Anastasia Ika, Herry Kabut, Anjany Podangsa dan Margaretha Holo yang sudah bekerja keras menuntaskan pedoman ini, juga Nita Roshita dari AMSI yang menjadi mentor selama proses pengerjaannya. Saya mengikuti dinamika tim dalam proses penyusunan pedoman ini yang harus berulang-ulang berdiskusi, menentukan rumusan yang tepat pada tiap bagian. Terima kasih juga untuk Anastasia Ika, Venansius Haryanto dan Herry Kabut yang bersedia menjadi Tim Penanganan Kekerasan Seksual internal Floresa.

Floresa amat terbuka jika ada media atau organisasi lainnya yang ingin mengadaptasikan pedomaan ini di lingkungan kerja mereka. Namun, kami berharap agar penyusunan pedoman seperti ini perlu melibatkan banyak orang di internal media atau organisasi agar isinya benar-benar menjawab situasi, termasuk pengalaman riil setiap anggota tim.

Pedoman ini juga merupakan sebuah dokumen yang hidup dan isinya memiliki keterbatasan. Karena itu, kami siap menerima saran dan masukan untuk perbaikan, termasuk melakukan pengembangan pada masa mendatang.

Saya ingin menutup pengantar ini dengan menekankan bahwa pedoman ini tidak hanya penting karena maraknya kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk yang menimpa jurnalis. Lebih dari itu, penting untuk menyadari bahwa menjaga martabat orang lain dan bertanggung jawab terhadapnya, termasuk agar bebas dari kekerasan seksual, adalah bagian dari imperatif moral kita semua sebagai makhluk yang beradab.

September 2024

Ryan Dagur, Pemimpin Umum Floresa