Panas terik Labuan Bajo tidak menyurutkan semangat Prudensia Sitia untuk memulung sampah demi bertahan hidup.
Pada suatu siang pekan lalu, berhenti sejenak dari mendorong gerobaknya yang mengangkut tumpukan sampah, ia menyeka keringat yang bercucuran dari wajahnya.
“Saya baru pulang dari Kampung Ujung, ambil sampah di sana,” katanya kepada Floresa.co, menyebut kampung yang berada persis di pinggir pantai Labuan Bajo.
Di atas gerobaknya, terlihat beberapa karung sampah yang disusun dengan rapi.
Floresa.co menjumpai Nensi, sapaan perempuan itu, pada Selasa, 18 Oktober 2022, di jalan arah ke Gorontalo, saat ia dalam perjalanan ke kosnya untuk menampung sampah yang telah ia kumpulkan.
Mengadu Nasib di Labuan Bajo
Nensi berasal dari Semang, Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat. Menikah dengan suami asal Bima, NTB, mereka tinggal di Bali selama 30 tahun, bersama dua orang anak.
Tahun lalu, ia kembali ke kampung halamannya setelah suaminya meninggal dunia.
Di kampung, ia mengolah sebidang lahan yang dibelinya sendiri. Namun, karena merasa tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari hasil olah lahan itu, ia meyakinkan diri untuk kembali merantau.
Nama besar Labuan Bajo, kota pariwisata super-premium yang juga kerap disebut sebagai “Bali baru” menarik minatnya untuk mencari rejeki.
Ia tiba di Labuan Bajo pada Februari tahun ini, bekerja sebagai buruh bangunan di Marombok.
“Saya ikut mengecat dan pasang keramik. Saya punya bakat itu,” katanya.
Namun, beban fisik yang dirasanya sulit ditanggung di usianya yang kini 55 tahun membuat ia banting stir menjadi pemulung.
Nensi awalnya berjalan kaki memungut sampah dari satu tempat ke tempat lainnya di Labuan Bajo, kota yang menghasilkan sampah antara 14-16 ton per hari.
“[Itu berjalan] kurang lebih sebulan. Kaki sakit semua. Kepala juga sakit karena junjung botol yang berat,” kisahnya.
Pengalaman itu membuatnya memutar otak, mencari cara yang bisa memudahkannya bekerja.
Ia lantas membuat gerobak sendiri yang kini dipakainya. Gerobak itu dilengkapi tiga roda; dua di bagian depan, satu di bagian belakang, tepat di antara dua gagang yang dipegangnya.
Dengan gerobaknya iu, saban hari Nensi menyusuri jalan-jalan di Labuan Bajo sejak pagi, sebelum kemudian kembali ke kosnya pada malam hari.
“Pagi saya keluar pukul 05.00 Wita atau pukul 05.30, pulang pukul 08.00,” katanya.
Ia pergi lagi pukul 10.00 dan kembali pukul 12.00 untuk makan siang dan istirahat.
Nensi akan kembali bekerja pukul 15.00, dan kembali pada malam pukul 19.00 atau 20.00.
Sejauh ini Nensi bisa dengan mudah menemui sampah di Labuan Bajo. Ia biasanya menyusuri jalan dari SMK Negeri 1 Komodo, dekat rumah jabatan Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Barat, hingga Marombok, dekat RSUD, juga di Pantai Pede, yang ia sebut daerah-daerah yang “sampahnya banyak.”
Ia mengatakan, sampah-sampah yang ia kumpulkan seharian ditata di kosnya.
Kos berukuran 2×2,5 meter itu, yang dibayar Rp. 400.000 per bulan sekaligus menjadi tempatnya untuk memasak dan istirahat.
Saat mendatangi kos itu Floresa.co menemukan perlengkapan satu kompor dan kuali yang digantung pada dinding, dekat pintu masuk. Perlengkapan makannya ditempatkan di dekat kompor.
Pakaiannya digantung di dinding, sebagian diletakkan di atas sebuah kasur tipis, yang juga menjadi tempatnya untuk tidur.
Ia mengatakan, kos itu sebenarnya adalah rumah yang kemudian disekat pemiliknya menjadi empat kamar.
Dinding kamarnya yang terbuat dari triplek itu sudah tampak lapuk, sementara atapnya yang terbuat dari sing sudah ada yang berlubang.
Berjuang untuk Bertahan
Nensi mewakili orang lokal yang berusaha dengan daya sendiri bertahan hidup di Labuan Bajo, kota kecil yang selama beberapa tahun terakhir menjadi sasaran berbagai macam proyek pemerintah.
Sementara di satu sisi, proyek-proyek itu membuka kran yang luas bagi masuknya berbagai bentuk investasi, di sisi lain, kritikan seringkali muncul terkait peminggiran dan pengabaian terhadap orang-orang lokal yang tidak berdaya dan tidak mendapat manfaat dari berbagai macam proyek.
Nensi mengatakan, keluarganya di kampung sebenarnya melarangnya untuk menjadi pemulung di kota pariwisata itu, pekerjaan yang masih dirasa asing dan rendah bagi kebanyakan orang.
Namun, ia mengatakan, ia bertahan, selain karena terpaksa oleh keadaan, juga karena sejauh ini, ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ia mengatakan, penghasilannya saat ini memang masih lebih rendah dari yang didapat saat di Bali, di mana dia mengaku pernah mendapat gaji Rp. 3.500.000 dengan menjadi buruh di sebuah perusahaan.
Meski tidak menyebut total pendapatannya per bulan dari memulung, Nensi mengatakan, dari penghasilannya saat ini, ia bisa membayar kos, biaya hidupnya sendiri dan masih bisa untuk sesekali mengirimkan uang kepada anak keduanya yang baru tamat SMA tahun ini dan merantau ke Kalimantan.
Nensi juga membangun asa agar dari hasil keringatnya, suatu saat ia bisa membangun rumah di kampungnya sambil merintis usaha kecil.
“Kalau ada modal, saya mau usaha jual-jualan,” katanya.
Ia mengatakan, ia menekuni dahulu apa yang dia bisa kerjakan dan merasa cukup terbantu karena orang-orang di Labuan Bajo mulai banyak yang mengenal dan membantunya.
“Kadang ada orang yang sudah kumpul sampah untuk diberikan kepada saya, karena kasihan dengan saya,” katanya.
“Saya tidak malu dengan pekerjaan ini. Intinya, jangan mencuri,” tambah Nensi.