Meliput Isu Pemilu, Apa Etika yang Perlu Diperhatikan Jurnalis?

Aliansi Jurnalis Independen Indonesia telah menetapkan sejumlah panduan bagi jurnalis agar bisa bekerja profesional dalam meliput pemilu 2024

Baca Juga

Floresa.co – Pemilihan umum atau pemilu merupakan sarana penting warga negara untuk menentukan pemimpin, wakil rakyat, dan arah negara dalam lima tahun ke depan. 

Karena itu, setiap proses tahapan pemilu perlu mendapat pengawasan maksimal dari publik, termasuk media massa. 

Hal ini untuk memastikan tidak ada kecurangan dalam setiap tahapan yang dapat merugikan publik, sekaligus mendorong agar isu-isu publik mendapat perhatian para kontestan.

Sayangnya, profesionalitas dan independensi perusahaan media dan jurnalis yang diharapkan menjadi watchdog masih memiliki catatan kritis dalam sejumlah pemilu. 

Berangkat dari hal ini, Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Indonesia telah membuat sebuah buku terkait panduan bagi jurnalis dalam meliput isu pemilu. Buku Panduan Peliputan Pemilu 2024 Bagi Jurnalis itu telah diluncurkan pada pertengahan tahun lalu. 

“Panduan ini diharapkan dapat memperkuat Kode Etik Jurnalistik yang kurang memberikan penjelasan khusus terkait liputan pemilu,” demikian menurut AJI.

Panduan ini penting karena sebagai pilar keempat demokrasi, “pers tidak berada dalam pemerintahan, tidak pula menjadi bagian dari pemerintahan.”

“Sebaliknya, pers harus ada di luar pemerintahan dan tidak menjadi kaki tangan pemerintah. Peran pers adalah sebagai pemantau kekuasaan atau watchdog bagi pemerintah yang dijalankan eksekutif. Pers juga memantau kekuasaan lembaga legislatif dan yudikatif,” tulis AJI.

AJI mengatakan kemerdekaan dan independensi pers adalah prasyarat mutlak bagi media dalam iklim demokrasi modern. 

Pemilihan yang demokratis, kata AJI, tidak mungkin ada, tanpa media yang berkualitas, sehingga media dan jurnalis harus berdiri pada posisi yang benar.

AJI mengatakan jurnalisme bukanlah pelantang suara kontestan politik dan jurnalis bukan juru tulis. 

Jurnalisme yang independen, kata AJI, penting untuk memastikan dan mengawasi integritas pemilu.

“Itu sebab, jurnalis dituntut untuk bersikap kritis, menghormati dan menerapkan etika,” tulis AJI.

Panduan itu antara lain memuat sejumlah butir etika bagi jurnalis. Dikutip dari unggahan di akun Instagram AJI pada 24 Januari, berikut 12 butir etika yang disarikan dari panduan tersebut. 

1. Independen 

Jurnalis harus bersikap independen dalam meliput pemilu dan tidak boleh menjadi perpanjangan tangan kontestan untuk menyuarakan kepentingan mereka. 

Jurnalis hanya berpihak pada kepentingan rakyat dan penyelenggara pemilu yang demokratis.

2. Disiplin verifikasi

Esensi jurnalisme adalah verifikasi sehingga jurnalis tidak boleh mempublikasikan informasi yang belum jelas kebenarannya.

Lakukan check, double check, triple check. Jangan sampai informasi salah karena tak terverifikasi memperkeruh suasana Pemilu yang panas dan sarat ketegangan.

3. Kesempatan setara

Memberikan kesempatan yang sama pada setiap peserta Pemilu merupakan cerminan dari prinsip pemilu yang adil. Jurnalis harus memberikan kesempatan yang sama bagi setiap peserta pemilu dalam hal ruang pemberitaan.

4. Memastikan informasi sesuai konteks 

Informasi tidak hanya harus akurat, melainkan juga sesuai konteks. Pemberitaan media online yang cenderung mengalir, sepotong demi sepotong, seringkali membuat informasi yang dipublikasikan kehilangan konteks sehingga rentan disalahpahami. 

Jurnalis harus memahami dan menyertakan konteks agar pembaca mendapatkan informasi yang utuh.

5. Bedakan fakta dan opini

Jurnalis bukanlah pengeras suara para kontestan politik dan bukan juru tulis. Oleh karena itu, jurnalis harus melakukan verifikasi setiap pernyataan peserta pemilu. Cermati apakah pernyataan peserta pemilu itu fakta atau opini.

6. Jangan mengamplifikasi ujaran kebencian dan hasutan

Pilpres 2014 dan 2019 adalah pelajaran berharga betapa ujaran kebencian dan hasutan telah memecah belah masyarakat. Keduanya merusak demokrasi karena ruang-ruang komunikasi publik berpotensi terhambat syak wasangka. 

7. Menjaga imparsialitas di media sosial

Sebagai warga negara, jurnalis tentu mempunyai hak politik untuk berpihak pada kontestan pemilu. Tetapi, profesi yang terikat kode etik ini tidak bisa dipisahkan dengan mudah dari representasi diri di media sosial.

Penunjukkan keberpihakan yang vulgar akan mempengaruhi persepsi publik atas independensi profesi dan medianya.

8. Hindari clickbait

Media online harus clickable, tapi bukan clickbait. Clickable adalah membuat judul yang menarik agar mengundang klik. Sedangkan clickbait membohongi pembaca dengan judul yang dibesar-besarkan dan sensasional, berpotensi menyesatkan mereka.

9. Beri ruang voice of voiceless dan isu lokal

Pers selayaknya memberi ruang pemberitaan pada harapan masyarakat, terutama kepentingan mereka yang tak pernah tersuarakan. Pers juga tidak boleh melupakan isu-isu lokal yang kerap tenggelam oleh riuh dinamika politik di tingkat pusat.

10. Tidak mendukung politik identitas

Pers Indonesia harus berpihak pada keberagaman. Berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, politik identitas kerap digunakan sebagai strategi mendapatkan dukungan politik. Politik identitas ini merujuk pada identitas kelompok tertentu seperti etnis, suku, agama, dan lain sebagainya.

11. Berperspektif jurnalisme damai dalam memberitakan konflik

Di tengah situasi yang rentan konflik, penting bagi media menggunakan perspektif jurnalisme damai dalam peliputan. Pers tidak mengangkat pemberitaan provokatif yang menguatkan konflik, tapi mencari celah pemberitaan yang mendorong perdamaian antara kelompok yang berkonflik.

12. Melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional

Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik mengatur wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini