Floresa.co – Tiga bulan usai pelaporan kasusnya, keluarga korban kasus penganiayaan terhadap seorang anak dan ibunya di Manggarai Barat menuntut kejelasan penanganan perkara oleh polisi.
Penganiayaan dilakukan RG terhadap TN, 21 tahun, dan WS, 49 tahun. Korban maupun terduga pelaku merupakan warga Desa Wae Kanta, Lembor, Manggarai Barat.
RG berasal dari Kampung Nara yang bersebelahan dengan Leba, dusun hunian TN dan WS.
Akibat penganiayaan itu, “wajah TN dan WS mengalami memar dan lebam,” kata FJ, seorang kerabat korban.
Floresa melihat bukti foto visum korban pada 9 Desember. Tampak kondisi wajah keduanya seperti perkataan FJ.
FJ mengatakan TN adalah seorang sopir angkot jurusan kampungnya dan Lembor.
RG, yang bermata pencaharian sebagai petani, acapkali menitip sayur panenan untuk diangkut TN ke Pasar Lembor.
Setiap Selasa dan Jumat, Pasar Lembor mengakomodasi aktivitas jual-beli yang melibatkan pedagang dari luar kecamatan tersebut. Terdapat area khusus bagi mereka berjualan.
FJ mengatakan “TN tak pernah menagih bayaran sewa angkot ke RG. Ia [TN] ikhlas antar sayuran RG.”
Itulah mengapa keluarga TN dan warga sekampung menilai “RG tak tahu berterima kasih” ketika mengetahui RG memukul TN.
“Kami merasa tersinggung karena kerabat kami dipukul. Apalagi yang dipukul juga adalah seorang perempuan. Kenapa begini sekali ia pukul?,” katanya.
Kronologi Kejadian
FJ mengatakan penganiayaan terjadi pada Senin, 4 September di Jalan Kampung Nara antara pukul 07.00-08.00 Wita.
TN sedang bersiap-siap mengantar penumpang menuju Pasar Lembor ketika RG mendekati angkotnya. Kepada TN, RG meminta panenannya turut diangkut ke pasar. TN menolak lantaran “bagasinya penuh.”
Tak terima mendapat penolakan, “RG terus memaksa TN mengangkut sayurnya.” TN yang merasa tak punya pilihan “akhirnya menaikkan panenan RG ke bagasi.”
Khawatir sayuran RG berantakan saking penuh bagasi, TN lalu memintanya mencarikan tali guna mengikat panenan. Bukannya mengambilkan tali, RG malah “tiba-tiba memukul TN.”
Seluruh penumpang angkot, termasuk WS – ibu dari TN – melihat kejadian itu. WS tetap duduk dalam angkot karena “mengira anaknya berbuat salah sehingga dipukul.”
Tanpa mengucap sepatah pun kata, TN segera memacu angkotnya ke rumah seorang kerabat, yang minta dijemput ke Pasar Lembor. Jaraknya sekitar 200 meter dari rumah RG.
Melihat angkot TN berhenti di dekat rumahnya, RG menyusul dengan berjalan kaki. Saat itu TN tengah berada dalam rumah kerabat, SN, untuk menaikkan sayur ke bagasi. Di sana “RG kembali memukul TN,” yang disaksikan oleh SN.
Melihat sang anak dipukul untuk kedua kalinya, WS lalu turun dari angkot. Bermaksud melerai, ia bertanya kepada RG: “Kenapa kau pukul anak saya?”
Alih-alih menjawab, RG justru memukul WS.
Merespons pemukulan itu, FJ yang mendapat informasi tentang kejadian ini,segera membawa TN dan WS ke Puskesmas Lembor untuk melakukan visum.
Sekitar 1,5 jam usai kejadian, mereka membuat laporan di Kepolisian Sektor [Polsek] Lembor.
Dalam salinan Surat Tanda Penerimaan Laporan bernomor STTPL/29/IX/2023/POLSEK LEMBOR yang diperoleh Floresa tertulis TN telah melaporkan dugaan Tindak Pidana Penganiayaan UU Nomor 1 Tahun 1946 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 352, dengan terlapor “Dalam Lidik.”
Surat itu ditandatangani TN sebagai pelapor dan Sum Idris, Kepala Administrasi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu III Polsek Lembor.
Keluarga Korban Mencari Titik Terang
FJ mengatakan “telah dua kali keluarga korban mendatangi Polsek Lembor untuk mencari titik terang” terkait kasus itu.
Namun, katanya, tak sekalipun Polsek Lembor memberi jawaban “yang memuaskan keluarga korban.”
Jawaban Polsek Lembor terkait perkembangan aduan mereka, misalnya “saat ini sedang kekurangan anggota” dan “banyak kasus yang sedang diurus.”
FS, kerabat lainnya, mengatakan Adrianus Donbosco Jaut, seorang anggota Polsek Lembor dan Servasius Narto, Kepala Desa Wae Kanta mendatangi rumahnya untuk menawarkan restorative justice pada sekitar sebulan silam.
Restorative justice merupakan penyelesaian perkara berupa dialog dan mediasi antara korban, terduga pelaku dan orang lain yang terkait peristiwanya.
FS mengaku keluarga “dengan berat hati menerima tawaran itu.” Keluarga juga meminta RG membayar denda “minimal Rp20 juta supaya ada efek jera.”
Servasius menginformasikan soal denda itu kepada RG, yang ditanggapi dengan “keberatan atas nominalnya dan tak menunjukkan respons positif.”
Berangkat dari kondisi tersebut, keluarga kembali berharap kasus itu dilanjutkan lewat proses hukum.
Salah satu sebabnya berhubungan dengan “RG yang sudah berkali-kali melakukan tindakan serupa dan tak sekalipun diproses hukum.”
Berkali-kali lolos dari jerat hukum, “kehadiran RG hanya menimbulkan kecemasan massal di kampung kami.”
Polisi Lamban
Ternyata proses hukum yang dinanti pun tak kunjung kelihatan.
Warga kampung, yang turut memberi perhatian pada kasus tersebut sekaligus cemas akan pengulangan penganiayaan serupa oleh RG, telah berkali-kali bertanya soal perkembangan proses hukumnya.
“Kami bingung mau jawab apa. Sudah tiga bulan sejak buat laporan, tetapi polisi selalu berdalih personel mereka kurang dan banyak masalah yang sedang diurus,” kata FS.
Pada 9 Desember, keluarga kembali mendatangi Polsek Lembor untuk “meminta konfirmasi soal kelanjutan restorative justice ataupun proses hukum terhadap RG.”
Di sana mereka bertemu dengan Yohanes R. Buntalawa, seorang anggota Polsek.
Yohanes merespons kedatangan keluarga dengan berkata, “Kepala Polsek [Kapolsek] dan Kepala Unit [Kanit] Reserse dan Kriminal [Reskrim] tidak ada di kantor.”
Tak lama Erson Jita, seorang polisi lainnya, berpapasan dengan kerabat korban di depan Polsek Lembor.
Kepada Erson, keluarga menyatakan hendak mengetahui perkembangan kasus terhadap TN dan WS yang dijawab: “Bukannya kemarin sudah diselesaikan secara kekeluargaan?”
Para kerabat tak menampik. Namun, mereka tetap mendesak kasus diselesaikan lewat proses hukum lantaran RG tak merespons tawaran restorative justice.
Erson lalu memberikan nomor ponsel Kapolsek dan Kanit Reskrim Polsek Lembor.
Mereka lalu bertemu polisi lain, yang merespons dengan kalimat serupa: “tunggu Kapolsek dan Kanit. Kami takut salah omong dan kena marah.”
Ia menyarankan keluarga korban kembali ke Polsek pada Senin, 11 Desember. “Hari Sabtu begini banyak yang tidak ada di kantor,” katanya seperti diceritakan kembali oleh seorang kerabat.
Mereka mengaku “heran karena polisi seharusnya terus melayani warga. Bahkan Sabtu sekalipun.”
Di tengah-tengah percakapan itu, Hendro, Kanit Reskrim Polsek Lembor pun tiba. Tanpa mengenakan seragam dinas, ia merespons keluhan kerabat korban: “Saya pikir sudah selesai urusan [restorative justice] di desa.”
Setelah berkali-kali menjawab dengan kalimat panjang, ia lalu bertanya, “siapa yang kena pukul?”
Seperti polisi sebelumnya, Hendro meminta kerabat korban kembali ke Polsek pada Senin. “Kami sibuk semua,” kata Hendro, “kan sedang tahun politik. Personel keluar [kantor] semua.”
Ia mengaku Senin akan “mengundang terduga pelaku datang ke Polsek untuk mediasi.”
Keberatan dengan jawaban Hendro, seorang kerabat berkata: “Kami ini korban. Mengapa kami yang harus datang terus? Seakan-akan kami yang ingin berdamai.”
Floresa meminta keterangan Yostan Lobang, Kapolsek Lembor terkait kasus penganiayaan tersebut melalui WhatsApp.
Ia justru meminta nama-nama korban kepada Floresa. Selang beberapa menit, ia mengatakan “Tadi Pak Hendro kasih tahu, Senin baru ke kantor.”
Usai pertemuan di Polsek Lembor, VS – seorang kerabat korban – “mengkritik kinerja polisi yang tidak serius dan terkesan lamban.”
Ia merasa “aneh dengan polisi yang bahkan tak mengetahui nama-nama korban.”
Polisi, katanya, “juga cenderung mengarahkan keluarga korban agar menyelesaikan kasus ini secara restorative justice.”
Bagi FS, kerabat lain, dorongan restorative justice dalam kasus itu hanya “menggambarkan terduga pelaku yang kebal hukum.”