Floresa.co – Setelah dua dekade terakhir berkecimpung dalam dunia aktivisme, Umbu Wulang kini bertekad meneruskan perjuangan dari Senayan, Jakarta.
Pria dengan nama lengkap Umbu Wulang Tanaamah Paranggi yang selama ini menjadi direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang Nusa Tenggara Timur [Walhi NTT] berkata, ia ingin mewujudkan nilai-nilai yang termaktub pada Laudato si dalam perjuangannya, jika ikut terpilih.
Laudato si merupakan ensiklik Paus Fransiskus pada 2015 yang secara khusus fokus membicarakan lingkungan sebagai rumah kita bersama.
Umbu mengatakan, dari pengalamannya, ia menemukan berbagai persoalan kerusakan lingkungan, bencana ekologis, pengabaian hak-hak masyarakat adat di NTT.
Hal itu, kata dia, terjadi karena kebijakan yang tidak pro pada keberlanjutan daya dukung dan daya tampung alam dan masyarakat adat.
Di sisi lain, pelaksanaan hukum lingkungan di NTT masih sangat minim. Dampaknya kemudian merembet ke banyak hal.
“Kita melihat banyak korban akibat upaya mitigasi bencana yang sangat minim,” katanya dalam pernyataan kepada Floresa pada 8 Februari.
Alasan Berpijak Pada Laudato Si
Dalam Laudato si, Paus Fransiskus mengkritik konsumerisme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di seluruh dunia untuk mengambil “aksi global yang terpadu dan segera.”
Paus berkata “tidak mampu berkata-kata” ketika meratapi polusi, perubahan iklim, kurangnya air bersih, hilangnya keanekaragaman hayati, dan menurunnya kehidupan manusia secara keseluruhan serta kehancuran masyarakat.
“Belum pernah kita menyakiti dan menganiaya rumah kita bersama seperti yang kita alami dalam dua ratus tahun terakhir,” katanya.
Dia menggambarkan “eksploitasi dan penghancuran lingkungan yang tiada henti, yang mana dia menyalahkan sikap apatis, pengejaran keuntungan secara sembrono, kepercayaan berlebihan pada teknologi, dan kepicikan politik.”
Umbu mengatakan sejumlah keprihatinan yang disuarakan Paus Fransiskus dalam ensiklik itu juga ada di NTT.
Karena itulah, kata dia, nilai-nilai yang terkandung ensiklik Laudato si menjadi relevan dalam mewujudkan harapan akan keutuhan alam ciptaan.
Pelestarian lingkungan hidup sebagai tanggung jawab iman dan tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan antargenerasi, kata dia, perlu menjadi roh dalam pembuatan kebijakan-kebijakan ekonomi.
Ia mengatakan Gereja Katolik sudah cukup intens melakukan pengabaran soal pentingnya menjaga kelestarian alam dan kesadaran untuk hidup selaras dengan alam, demi membangun kesejahteraan manusia secara kolektif.
Namun, kata dia, seringkali, atas nama pembangunan ekonomi, alam dieksploitasi secara bar-bar dan semena-mena, sehingga hak hidup makhluk hidup lain dan masyarakat adat diabaikan.
Di NTT, ia mencontohkan beberapa kasus, di mana warga setempat dipinggirkan demi investasi.
“Misalnya kasus masyarakat adat Besipae, di Timur Tengah Selatan dan proyek geotermal di Flores,” ungkapnya.
Di Besipae, warga adat ditekan Pemerintah Provinsi NTT untuk meninggalkan lahan adat ribuan hektar, sementara dalam isu geotermal, ada upaya tekanan terhadap sejumlah komunitas warga di Flores agar menerima proyek-proyek.
Umbu mengatakan prinsip lain dari nilai Laudato si adalah pertanggungjawaban atas kerusakan alam atau pengakuan dosa ekologis yang secara moril ditandai dengan pertobatan ekologis.
Namun, kata dia, pertanggungjawaban atas kerusakan alam masih jauh panggang dari api.
Ia mengatakan pemerintah sebagai aktor penyelenggara negara tampak membiarkan kondisi makin memburuk.
Hal tersebut, kata dia, terlihat dari minimnya anggaran di bidang pelestarian dan pemulihan lingkungan hidup di NTT.
“Coba cek, berapa persen dana untuk pelestarian dan pemulihan lingkungan hidup di Indonesia atau NTT dibandingkan dengan anggaran di bidang pembangunan lain,” ungkapnya.
Ia mengatakan mayoritas masyarakat NTT adalah petani, pekebun, peternak, nelayan dan mereka sangat bergantung pada daya dukung lingkungan hidup.
Alih-alih mendukung keberlangsungan usaha mereka, kata dia, pemerintah justru menghadirkan proyek tambang tanpa reklamasi serta pembiaran terhadap industri yang berkontribusi besar terhadap sampah-sampah plastik dan limbah berbahaya dan beracun.
Umbu meyakini bahwa politik pembangunan ke depan harus menempatkan keadilan ekologis sebagai lokomotifnya.
Hal ini, kata dia, bertujuan untuk mempercepat pemulihan lingkungan hidup sekaligus mencegah meluasnya bencana ekologis di masa depan.
“Atas dasar keadilan ekologis dan perlindungan masyarakat adat yang menjadi medan layanan saya dan teman-teman selama ini,” katanya “saya mengusung tema ‘Mandat NTT.’”
Ia menjadikan Mandat NTT sebagai akronim untuk dua hal; “Memulihkan, Adilkan, Dayagunakan, Transformasi Ekologis Nusa Tenggara Timur” dan “Masyarakat Adat dan Alam NTT”.
Menurut Umbu, mengusung politik lingkungan hidup dan kebudayaan adalah amanah yang harus diperjuangkan.
Nilai-nilai Laudato si, kata dia, juga harus tercermin dalam berbagai kebijakan pembangunan.
Ia mengatakan hal itu dapat diperjuangkan bersama dengan kesadaran bahwa alam merupakan anugerah kehidupan yang harus dilestarikan untuk generasi selanjutnya.
Selain itu, kata dia, perjuangan itu merupakan cerminan adab masyarakat adat di NTT yang sangat menghormati alam sebagai “ciptaan Sang Khalik dan teman hidup sepanjang hayat.”
“Kita hidup karena lingkungan hidup. Kita beradab karena beradat,” ungkapnya.
Agenda Perjuangan
Umbu memadatkan ke dalam enam poin beberapa agenda perjuangannya untuk NTT, yang tentu akan berbasis pada tugas-tugas DPD.
Pertama, memperjuangkan kebijakan dan kerja pemulihan ekologis lingkungan hidup di NTT pada tingkat nasional.
Kedua, memperjuangkan pengakuan negara atas hak-hak masyarakat adat di NTT.
Ketiga, memperjuangkan peran pemerintah pusat dalam memperkuat kebudayaan seperti kampung adat, bahasa lokal, serta kesejahteraan penenun dan budayawan di NTT.
Keempat, memperjuangkan otonomi pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan di NTT.
Kelima, memperjuangkan pemuda-pemudi NTT agar menjadi ahli kebudayaan dan ahli sumber daya alam.
Keenam, menjadi corong aspirasi rakyat di NTT terkait otonomi daerah, otonomi pengelolaan sumber daya alam dan otonomi kebudayaan. Hal itu dilakukan dengan memperjuangkan Pengesahan Undang Undang NTT sebagai provinsi Kepulauan dan Pemekaran Daerah Kabupaten/Provinsi.
Rekam Jejak
Umbu merupakan alumni Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa [STPMD “APMD] Yogyakarta.
Di kampus yang dikenal sebagai “kampus desa” itu, ia memilih jurusan Ilmu Sosiatri, yang sekarang berubah menjadi Ilmu Pembangunan Sosial.
Selama 20 tahun, ia bergelut dalam dunia aktivis dan berkonsentrasi pada isu lingkungan hidup dan masyarakat adat di NTT.
Ia menjadi aktivis sejak mahasiswa, dengan bergabung pada Jaringan Relawan Kemanusiaan di Yogyakarta, di bawah pimpinan Romo Sandyawan Sumardi.
Selepas kuliah, ia menjadi aktivis lingkungan dengan bergabung bersama Walhi Yogyakarta.
Pada akhir 2009, ia memilih pulang kampung ke NTT dan menjadi aktivis di Yayasan Sosial Donders di Sumba Barat Daya, milik tarekat religius Katolik Redemptoris atau CSsR.
Di lembaga ini, ia berkutat pada urusan lingkungan hidup, masyarakat adat hingga penguatan kelembagaan desa.
Pada 2016, ia ditetapkan sebagai Direktur Eksekutif Walhi NTT. Kini ia nonaktif sejak ikut dalam pencalonan DPD.
Bersama lembaga itu, ia banyak melakukan advokasi terkait pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup, wilayah kelola rakyat hingga tanah ulayat masyarakat adat di NTT.
Pada 2021, ia mewakili Walhi Nasional mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi tentang iklim di Glasgow, Skotlandia.
Pada 2023, ia juga mewakili Walhi NTT mempromosikan kebudayaan dan komoditi pangan di Den Haag, Belanda.
Umbu berkata, dengan rekam jejak pengalaman melakukan advokasi lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat adat itu, kawan-kawannya sesama aktivis mengutus dia melanjutkan perjuangan di ruang legislatif.
Umbu Wulang berada dalam daftar 17 calon DPD dari NTT yang pada pemilihan 14 Februari merebut jatah 4 kursi. Ia berada di nomor urut 17 pada kerta suara.