Floresa.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi NTT] menyebut Pemerintah Provinsi NTT di bawah kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat yang sudah memasuki tahun keempat terus melahirkan kebijakan yang mementingkan investasi dan di sisi lain mengabaikan prinsip-prinsip dasar keadilan ekologi serta hak-hak dasar masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi dalam acara catatan tahunan lembaga tersebut, Rabu, 11 Januari 2023, yang sekaligus mengevaluasi kepemimpinan Laiskodat selama empat tahun sejak 2018.
Umbu mengatakan, orientasi pembangunan Pemprov NTT saat ini adalah ekonomi dan investasi, yang tampak dalam empat skema yaitu pembangunan pariwisata, pertanian monokultur (food estate), pembangunan infrastruktur dan industri pertambangan.
Menurutnya, meski pemerintahan Viktor Laiskodat dan wakilnya Josef Naesoi menganggap pariwisata sebagai lokomotif utama pembangunan, namun tidak pernah ada koreksi mengenai apakah pariwisata tersebut berbasis pada ekonomi warga atau pada investor.
“Yang ada adalah konflik agraria di Pulau Komodo, konflik dengan pelaku wisata di Labuan Bajo, sebab pariwisata berbasis investor sifatnya rakus lahan, rakus energi, rakus air,” ungkapnya menyinggung salah satu pusat pariwisata di NTT yang berada di Flores bagian barat.
Umbu juga menyinggung masalah pertanian monokultur tebu yang dibangun PT Muria Sumba Manis di Kabupaten Sumba Timur.
Proyek itu, kata dia, melanggar prinsip lingkungan serta menggunakan energi kotor dari batu bara.
Selain itu, jelasnya, kasus-kasus pembangunan infrastruktur dan pertambangan, seperti Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, smelter mangan di Bolok Kabupaten Kupang, geothermal di sejumlah lokasi di Flores, dan tambang batu gamping serta pabrik semen di Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur hanya menguntungkan investor.
“Sejarah tambang di NTT merusak lingkungan dan tidak berdampak bagi kesejahteraan warga,” ungkapnya.
“Semua yang dibangun mengabaikan penolakan warga, serta bahaya-bahaya yang ditimbulkan dalam banyak bidang kehidupan warga,” tambahnya.
Di tengah banyaknya bencana yang terjadi di wilayah NTT, kata dia, pemerintah provinsi bahkan mengundang semakin banyak investor yang merusak keutuhan lingkungan dan menyebabkan konflik di tengah masyarakat.
Hal lain yang disoroti Walhi NTT adalah kebakaran terus-menerus pada tempat pembungan akhir [TPA] sampah di Alak, Kupang sejak Agustus 2022 yang memicu terjadi polusi udara di area pemukiman warga.
Pengabaian terhadap persoalan ini, kata dia, tentu melanggar UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Sementara itu, lain Valens Dulmin, seorang pengacara yang juga hadir dalam acara itu mengatakan pendekatan litigasi dengan melakukan gugatan hukum penting dilakukan oleh warga untuk melawan kebijakan pemerintah yang merusak ruang hidup mereka.
“Kita dianjurkan untuk terus-menerus menggunakan pendekatan litigasi, tanpa meninggalkan pendekatan advokasi lain, misalnya pendampingan masyarakat, karena kekuatannya adalah masyarakat,” kata Valens, salah satu pengacara warga Satar Punda, Manggarai Timur yang pada Agustus tahun lalu memenangkan gugatan melawan izin tambang oleh pemerintahan Laiskodat.
Ia menambahkan, hal penting dalam kerja sama melawan kebijakan amburadul penguasa adalah komitmen untuk bekerja demi kepentingan publik serta sabar menunggu penyelesaian kasus.
Didimus Deddy Dhosa, pengajar di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang mengatakan, model kebijakan yang melanggar hak warga dan lingkungan demi investasi di NTT adalah bentuk dari akumulasi melalui perampasan.
“Yang terjadi dalam kasus-kasus itu adalah perampasan yang menyebabkan warga tercabut dari dari basis produksinya, yaitu lahan serta aset-aset ekonomi lainnya,” ungkapnya.
Selain itu, kata dia, pemerintah dan investor kerap menggunakan politik pengamanan di mana militer dikerahkan, “untuk memuluskan pembangunan tersebut.”
Radit Giantiano, warga terdampak kebakaran TPA Alak mengungkapkan, kasus kebakaran di lokasi itu bukan kali pertama terjadi.
Peristiwa itu, kata dia, mengganggu kenyamanan hidup serta kesehatan warga, di mana b”anyak orang terkapar, asap masuk ke kamar-kamar rumah, menyakiti mata dan seluruh badan menjadi lemah.”
Radit menyesalkan penanganan pemerintah yang tidak efektif dengan mengerahkan mobil-mobil pemadam kebakaran ke lokasi tersebut, tetapi tidak berhasil menyelesaikan masalah.
Kasus kebakaran besar-besaran yang terakhir, kata dia terjadi pada tanggal 10 hingga 12 Desember 2022 lalu, yang menyebabkan sebaran asap sampai ke seluruh wilayah Kelurahan Alak.
Ia berharap pemerintah segera menyelesaikan kasus tersebut secara bertanggung jawab sesuai ketentuan UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.