Floresa.co – Pertemuan tahunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tahun ini digelar di Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur menyoroti krisis dan ancaman terhadap pulau-pulau kecil di NTT yang dipicu oleh masalah kesalahan tata kelola, selain karena perubahan iklim.
Pertemuan pada 20-23 Oktober yang disebut Konsultasi Daerah Lingkungan Hidup (KDLH) itu diadakan di Desa Bubu Atagamu, Kecamatan Solor Selatan.
Yuvensius Stefanus Nonga, Kepala Divisi Sumber Daya Alam Walhi NTT mengatakan, pemilihan Pulau Solor, salah satu pulau kecil di NTT, relevan dengan tema pertemuan yakni “Bersolidaritas Melawan Dehumanisasi Menuju Keadilan Ekologis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Nusa Tenggara Timur”.
Di samping menjadi ruang bertemunya anggota Walhi NTT, kata dia, acara ini juga menjadi ruang konsolidasi bagi perwakilan warga dari pulau-pulau kecil di NTT dan jaringan Walhi NTT di tingkat nasional.
Selama acara itu, jelasnya dalam pernyataan kepada Floresa.co, jaringan Walhi NTT di tingkat nasional “memaparkan temuan-temuan lapangan terkait dengan tantangan yang dihadapi wilayah pesisir dan pulau kecil.”
Ia menambahkan, pertemuan ini menjadi penting terutama bagi NTT sebagai provinsi kepulauan yang tengah menghadapi tantangan krisis iklim dan kerusakan ekologi.
Hal ini, kata dia, dipicu oleh oleh sejumah hal, seperti pertambangan, proyek pariwisata super premium yang mengabaikan prinsip-prinsip koservasi, sementara di sisi lain pemerintah tidak memiliki konsep untuk membangun skema perlindungan ekosistem kepulauan sekaligus masyarakat nelayan dan pesisir yang hidup berdampingan dengannya.
“Walhi NTT mencatat beberapa pulau kecil di NTT terancam hilang atau rentan terhadap bencana akibat krisis iklim,” kata Yuvens.
“Kerentanan ini semakin meningkat seiring dengan orientasi pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung NTT sebagai provinsi kepulauan dengan letak geografis yang sangat dekat dengan Samudera Hindia,” katanya.
Ia mengatakan, pertemuan ini, yang juga diisi dengan festival masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil “diharapkan dapat mengkonsolidasi seluruh agenda untuk menemukan arah advokasi yang dimulai dengan membangun kekuatan rakyat sebagai subjek utama dalam perlindungan pulau-pulau kecil.”
Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif Walhi NTT mengatakan kepada Floresa.co bahwa krisis ekologi mengancam “hampir seluruh pulau kecil di NTT.”
“Salah satunya Pulau Salura di Sumba Timur yang diprediksi berkurang sepertiga daratannya akibat kenaikan permukaan air laut,” katanya.
Selain dari Pulau Solor, perwakilan pulau kecil yang diundang dalam pertemuan ini adalah dari Pulau Sabu, Pulau Alor, Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pulau Ende, Pulau Komodo, Pulau Rote, Pulau Semau dan Pulau Salura.
Ia menjelaskan, dalam sesi festival mereka menampilkan dan menceritakan keadaan di pulau-pulau mereka.
“Ada juga pameran pangan lokal dari Desa Bubu Atagamu, perlombaan dayung sampan dan beberapa lomba lainnya,” katanya.
Ia mengatakan, pada akhir pertemuan ini peserta akan membacakan deklarasi yang berisi komitmen untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil.
NTT memiliki total 566 pulau, di mana hanya 43 pulau yang berpenghuni, sementara sisanya 523 pulau tidak berpenghuni.
Tidak diketahui pasti berapa total pulau kecil, yang menurut ketentuan Undan-Undang No. 27 Tahun 2007 didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi beserta kesatuan ekosistemnya.
Secara ekologi, pulau-pulau kecil lebih rentan terdampak gejala-gejala perubahan iklim seperti kenaikan air laut, peningkatan temperatur serta pola-pola perubahan cuaca yang mulai tidak menentu.
Dalam konteks Indonesia Timur misalnya, organisasi masyarakat sipil melakukan pertemuan khusus dalam rangka membahas isu pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia bagian timur pada Agusus 2021 di Makassar, Sulawesi Selatan.
Pertemuan itu membahas berbagai kemungkinan dampak perubahan iklim terhadap ekologi pulau kecil, juga sebagai ruang penghidupan masyarakat pesisir.