Walhi NTT Ingatkan Pemerintah Berhenti Khianati Mandat Cagar Biosfer TN Komodo

“TN Komodo yang telah berjalan 42 tahun gagal untuk menjalankan tiga mandat utama cagar biosfer yakni pelestarian keanekaragaman hayati/satwa, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat dengan mekanisme ekonomi ramah lingkungan dan berkeadilan dan pemuliaan kebudayaan rakyat,” kata Walhi NTT

Floresa.co – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki kesalahan tata kelola Taman Nasional [TN] Komodo sebagai cagar biosfer, situs warisan dunia UNESCO, dan ruang hidup warga, merespon perkembangan terakhir situasi di dalam dan sekitar kawasan konservasi itu.

Dalam sebuah pernyataan, Walhi NTT menilai bahwa kondisi suram yang sekarang terjadi di kawasan itu, termasuk dalam polemik kenaikan harga tiket masuk TN Komodo yang sempat memicu mogok massal pelaku wisata , bermula dari kebijakan pemerintah yang sejak awal salah dalam mengurus kawasan di Kabupaten Manggarai Barat itu.

Polemik kenaikan tiket ini, kata Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, hanyalah satu masalah pemicu dari persoalan yang lebih mendasar, yaitu soal sikap pemerintah yang mengangkangi mandat cagar biosfer TN Komodo.

Walhi NTT mencatat bahwa sejak 2019 isu pengelolaan TN Komodo terus menuai kontroversi di ruang publik dan menciptakan ketidaknyamanan di tengah masyarakat. Hal itu mulai dari penetapan Labuan Bajo sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) hingga niat pemerintah untuk merelokasi warga lokal dari Pulau Komodo.

Walhi juga menyayangkan bahwa sikap kritis warga dan pelaku pariwisata lokal ditanggapi dengan pengerahan aparat yang berlebihan disertai represi seperti yang dialami pelaku wisata saat aksi mogok pada 1 Agustus. Saat itu, 42 pelaku sempat ditahan dan sebagiannya dipukul hingga luka-luka, sementara satu orang sudah dinyatakan sebagai tersangka.

“Situasi ini menunjukan keengganan pemerintah dalam menyikapi kekritisan warga negara terhadap kebijakan pembangunan. Kondisi ini juga sebagai bukti kemunduran demokrasi di Indonesia umumnya dan khususnya di NTT, ” tegas Umbu dalam pernyataannya pada 3 Agustus 2022.

Walhi NTT pun meminta pemerintah berhenti menggunakan aparat keamanan dalam membungkam kekritisan warga, serta melakukan pemulihan fisik dan psikologis korban represi beserta keluarga mereka.

Menyoroti masalah tata Kelola TN Komodo sebagai cagar biosfer dan ruang hidup warga, Umbu secara khusus menyoroti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang gagal melaksanakan tanggung jawabnya, termasuk dalam menghormati hak hidup Ata Modo, penduduk Pulau Komodo.

“TN Komodo yang telah berjalan 42 tahun gagal untuk menjalankan tiga mandat utama cagar biosfer yakni pelestarian keanekaragaman hayati/satwa, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat dengan mekanisme ekonomi ramah lingkungan dan berkeadilan dan pemuliaan kebudayaan rakyat,” terang Umbu.

“Pemerintah juga gagal memulihkan kebudayaan Ata Modo karena merencanakan relokasi dan gagal menyejahterakan nelayan setempat karena peraturan zonasi laut,” lanjutnya, menyinggung upaya peminggiran warga setempat yang aksesnya terus dibatasi, termasuk untuk mencari nafkah di sebagai nelayan, lewat ketentuan terkait zonasi.

Walhi juga menggarisbawahi ketidakkonsistenan pemerintah yang mengklaim berupaya melestarikan TN Komodo sebagai kawasan konservasi, sementara di sisi lain memberikan ijin konsesi pariwisata kepada perusahan di tapak konservasi Komodo yang mencapai ratusan hektar.

“Di satu sisi, menaikkan harga tiket dengan alasan konservasi tapi di sisi lain memberikan ijin perusahan untuk beroperasi di Kawasan tapak konservasi komodo yakni di Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Komodo.”

Umbu meminta pemerintah mencabut seluruh izin itu yang dan berbasis rakus lahan, rakus air dan rakus energi.

Sejumlah izin konsensi bisnis di kawasan TNK, antara lain milik PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) dengan SK No.796/Menhut-II/2014 di Loh Buaya, Pulau Rinca dengan luas 22,1 hektar, PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) dengan SK No.7/1/IUPSWA/PMDN/2015 di dua lokasi, yakni di Loh Liang, Pulau Komodo seluas 151,94 hektar dan di Pulau Padar seluas 274,13 hektar.

PT SKL diketahui merupakan milik David Makes, Ketua Tim Percepatan Ekowisata Nasional Kementerian Pariwisata, yang pada 2021 diakuisisi oleh Plataran Group milik kakaknya sendiri, Yozua Makes.

Sementara untuk PT KWE, nama Reza Herwindo, putra politisi Setya Novanto – yang kini dipenjara – tercatat sebagai komisaris utama.

Izin lainnya di wilayah TN Komodo adalah milik milik PT Synergindo Niagatama (SN) yang terbit tahun pada 2019 untuk lahan 17 hektar di Pulau Tatawa, sebuah pulau kecil dekat Pulau Padar.

FLORESA

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA