Narasi Kebohongan dan Petaka Kemanusiaan

Kita berada di era di mana kebohongan menyebar demikian cepat, yang dimungkinkan oleh teknologi. Butuh kecermatan untuk mencerna dan memverifikasi informasi, agar tidak mendatangkan petaka

Oleh: Antonius Mbukut

Dalam beberapa waktu terakhir, media konvensional dan media sosial di Indonesia menyuguhkan dua drama menarik, yakni Jessica-Mirna dan “Mahkamah Keluarga.”

Kasus Jessica-Mirna, yang populer pada tahun 2016 itu, kembali muncul ke publik setelah penayangan film “Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso” di Netflix, sebuah platform digital acara TV dan film.

Film yang disutradarai oleh Rob Sixsmith, warga Australia, ini mengangkat kembali kasus kopi sianida yang diduga menyebabkan kematian Mirna Salihin. Netflix menunjukkan bahwa hampir tidak ada bukti yang adekuat untuk menetapkan Jessica bersalah sehingga ia tidak seharusnya dihukum 20 tahun penjara.

Narasi tentang siapa yang berbohong kembali menguat dalam kasus ini. Terlepas dari urusan mana yang benar dan mana yang salah, saya yakin pasti ada aktor yang sedang berbohong. Jika pihak Jessica yang berbohong, mereka melukai marwah hukum di Indonesia dan terutama melukai hati keluarga yang ditinggalkan oleh Mirna. Sebaliknya, jika pihak Mirna yang berbohong, mereka telah mendatangkan malapetaka atas hidup Jessica.

Kebohongan lain yang melahirkan malapetaka adalah drama “Mahkamah Keluarga,” plesetan dari Mahkamah Konstitusi [MK]. Drama berhubungan dengan putusan MK tentang terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang cacat secara etis.

Anwar Usman sebagai Ketua MK sekaligus paman kandung Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo memiliki peran sentral dalam memuluskan langkah Gibran sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Peristiwa ini menjadi drama yang menunjukkan bagaimana kebohongan diperagakan oleh penjaga konstitusi dan politisi oportunis. Demi melanggengkan kekuasaan keluarga, publik dikibuli. Kebohongan seperti ini akan berpotensi memunculkan narasi-narasi kebohongan lain dan pasti pada akhirnya akan mendatangkan malapetaka bagi demokrasi di republik ini.

Kebohongan selalu dibayang-bayangi oleh malapetaka. Setiap kali pintu untuk berbohong dibuka, dia akan masuk secepat cahaya dan menguasai semua narasi publik.

Ada filsuf yang mengatakan bahwa jika kebenaran dan kebohongan diajak jalan bersama, kebohongan akan terbang dengan cepat, sementara kebenaran berjalan di belakangnya seperti orang pincang.

Narasi kebohongan selalu menyebar lebih cepat dari narasi kebenaran. Waktu narasi kebenaran masih ikat tali sepatu, narasi kebohongan sudah berjalan keliling dunia.

Saat ini, kita tidak dapat menolak fakta bahwa kita sedang hidup dalam potensi malapetaka sosial karena produksi dan penyebaran kebohongan semakin masif, intensif, dan begitu cepat mengisi dan menyebar dalam ruang-ruang kehidupan kita.

Karena itu, kita perlu mengajukan pertanyaan paling mendasar untuk merespon krisis sosial ini: Mengapa kebohongan sangat mudah menyebar dan bertahan di tengah masyarakat? Bagaimana cara memfilter narasi kebohongan?

Makhluk Naratif

Tentu akan ada banyak perspektif jawaban mengenai alasan kebohongan mudah menyebar dan bertahan. Dalam kajian ini, saya coba membatasi diri pada pandangan dua pemikir, yakni Yuval Noah Harari dan Tom Phillips.

Harari, filsuf dan sejarawan berkebangsaan Israel, dalam bukunya “Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia” [edisi Bahasa Indonesia terbit 2018], berpendapat bahwa kebohongan bukanlah hal baru dalam sejarah kehidupan manusia. Sejak dahulu sudah ada banyak kisah mengenai kebohongan.

Kebohongan, katanya, melekat dengan identitas manusia sebagai makhluk naratif, yang suka bercerita. Bahkan, sejarah umat manusia sebenarnya berkembang karena kekuatan narasi yang diciptakan sendiri.

Harari menjelaskan bahwa secara fisiologis, manusia pada zaman batu dan manusia pada abad ke 21 sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Namun karena kekuatan cerita-cerita yang mereka bangun, sejarah menjadi berkembang dari zaman batu ke revolusi pertanian, kemudian berlanjut ke revolusi industri dan sekarang revolusi digital.

Bagi Harari, sejarah berkembang dengan sangat cepat, karena kekuatan cerita-cerita fiksi yang diciptakan oleh manusia. Cerita-cerita fiksi membuat manusia mampu bekerja sama secara kolektif dalam jumlah yang sangat besar.

Ia memberi contoh cerita fiksi tentang dewa-dewi memungkinkan para petani pada era revolusi pertanian terikat secara massal. Mereka semua percaya dengan mitos tentang dewa-dewi besar. Mereka kemudian membangun kuil-kuil untuk tuhan favorit mereka dan mengadakan perayaan untuk menghormatinya, memberinya pengorbanan tanah, upeti dan sesaji.

Atau contoh lain, manusia modern percaya dengan fiksi tentang uang. Semua orang di dunia sama-sama menerima uang sebagai sesuatu yang berharga, padahal uang tidak memiliki nilai intrinsik. Uang kertas seratus ribu rupiah misalnya sebenarnya tidak lebih dari kertas biasa, tetapi berkat kekuatan fiksi yang kita yakini bersama, kita menghargai uang tersebut sebagai sesuatu yang bernilai.

Kekuatan cerita fiksi membuat manusia berbeda secara signifikan dengan jenis binatang lainnya di planet ini. Hanya manusia yang bisa berkumpul sebanyak 80 ribu orang dalam stadion Gelora Bung Karno Jakarta, misalnya, tanpa harus berkelahi, karena mereka percaya pada cerita fiksi tentang negara, hukum dan agama.

Anjing sebaliknya, kalau sudah berkumpul lebih dari dua ekor, sangat rentan untuk berkelahi. Binatang yang terdekat dengan manusia, yakni simpanse, paling banyak hanya bisa berkumpul 100 ekor. Selebihnya sangat rawan untuk berkelahi.

Produksi Kebohongan

Bagi Harari, pada satu sisi, cerita fiksi bukanlah sesuatu yang buruk. Sejarah umat manusia berkembang karena kekuatan cerita fiksi. Cerita tentang agama, hukum dan negara misalnya, membuat sejarah kehidupan umat manusia berkembang maju.

Namun, ia mengingatkan bahwa dalam perjalanan sejarah, kemampuan manusia untuk memproduksi narasi dan fiksi tidak selalu mendatangkan kemajuan. Banyak cerita-cerita fiksi yang justru sengaja diciptakan sebagai cerita bohong yang akhirnya membawa malapetaka.

Harari mengangkat banyak contoh. Namun ada dua yang paling menarik, yakni kisah pembantaian massal orang Yahudi di Inggris pada abad pertengahan dan pembantaian orang Yahudi oleh rezim Nazi Jerman. Kedua malapetaka ini terjadi karena narasi bohong yang digemakan berulang-ulang.

Kisah pembantaian orang Yahudi di Inggris terjadi karena narasi palsu tentang kematian seorang anak di dekat tempat peribadatan orang Yahudi. Orang menyebarkan cerita palsu bahwa anak itu dijadikan tumbal dalam ritual keagamaan orang Yahudi.

Dalam tempo yang singkat, narasi palsu itu berkembang hingga ke seluruh Eropa. Persekusi terhadap orang Yahudi pun terjadi di seluruh wilayah Inggris dan wilayah Eropa lainnya. Kisah palsu tentang penumbalan anak itu bahkan bertahan selama 700 tahun di Eropa.

Sedangkan pembantaian orang Yahudi pada zaman Nazi terjadi karena narasi palsu yang diciptakan oleh Adolf Hitler. Ia memanfaatkan kekuatan media massa di Jerman untuk mempropagandakan narasi bohong tentang kerusakan ras bangsa Arya akibat percampuran dengan ras orang Yahudi. Supaya ras bangsa Arya dimurnikan dan bangsa Jerman mendapatkan kembali kejayaannya, ras orang Yahudi harus dibantai.

Bagi Harari, kedua malapetaka di atas awalnya terjadi karena gosip murahan. Tidak ada yang secara langsung menyaksikan seorang anak dibantai dalam ritual agama orang Yahudi dan juga tidak ada yang bisa membuktikan kemurnian ras orang Jerman. Namun, itulah dampak yang harus ditanggung, bermula dari narasi palsu atau gosip.

Mengapa Narasi Bohong Mudah Menyebar dan Bertahan?

Penyebaran narasi palsu atau gosip seperti itu menjadi makin berbahaya di era seperti saat ini. Pada zaman dahulu, karena keterbatasan teknologi, kebiasaan bergosip hanya menyebar karena cerita dari mulut ke mulut. Dengan demikian, butuh waktu yang cukup lama agar gosip sampai ke wilayah yang jauh.

Namun pada zaman modern, terutama di abad ke-20 dan 21, cerita-cerita gosip makin mudah menyebar karena pengaruh perkembangan media teknologi.

Pada awal abad ke-20, gosip menyebar melalui radio dan surat kabar. Pada abad ini dalam hitungan detik gosip bisa menyebar ke seluruh dunia berkat kecanggihan media sosial.

Menurut Harari, berkat kemajuan teknologi digital di abad ke 21, narasi-narasi bohong setiap saat membanjiri kehidupan manusia di akun-akun media sosial yang mereka gunakan. Mulai dari cerita gosip murahan sampai kisah konspirasi paling mengerikan mengalir.

Sementara itu, kabar buruknya lagi, media sosial sudah dilengkapi dengan kekuatan algoritma yang membuat orang betah berlama-lama untuk menggunakannya. Akibatnya, banyak waktu yang dihabiskan untuk berselancar di media sosial. Dengan demikian, makin banyak pula waktu orang berpotensi terpapar dengan narasi-narasi palsu yang berseliweran.

Algoritma dirancang untuk mengenal psikologis manusia. Tanpa orang sadari, algoritma selalu menyuguhkan hal-hal yang diinginkan oleh pengguna media sosial. Dengan demikian, jika dengan sengaja atau tidak dengan sengaja orang mengklik narasi palsu di media sosial, algoritma akan memunculkan narasi tersebut secara berulang-ulang.

Narasi yang muncul secara berulang-ulang pada akhirnya dapat mempengaruhi keyakinan orang. Orang menjadi lebih percaya pada apa yang paling banyak muncul, paling banyak diklik dan paling banyak dibagikan, bukan pada fakta yang sesungguhnya. Kebenaran bukan lagi soal data dan fakta, melainkan soal apa yang digemakan secara berulang-ulang.

Berdasarkan pemikiran Harari, kita dapat menyarikan empat sebab kunci mengapa narasi-narasi bohong mudah menyebar dan bertahan di tengah masyarakat, petama karena identitas manusia sebagai makhluk naratif [makhluk bercerita]; kedua, karena kebiasaan manusia untuk bergosip; ketiga, karena propaganda media massa: keempat, karena algoritma media sosial.

Selain Harari, Tom Philips dalam bukunya “Truth: Sebuah Sejarah Singkat tentang Omong Kosong” [terjemahan Bahasa Indonesia, terbit tahun 2021] mengemukakan tujuh sebab kunci mengapa narasi-narasi kebohongan mudah menyebar dan bertahan di tengah masyarakat.

Pertama, adanya penghalang terhadap upaya memverifikasi kebenaran, yang ia sebut sebagai effort barrier. Ia merujuk pada contoh pada abab ke-17 ketika surat kabar The Sun mempublikasi kisah menarik tentang manusia-manusia kelelawar yang hidup di bulan. Dikisahkan bahwa penemuan manusia-manusia kelelawar itu terjadi berkat pengamatan teleskop raksasa dari Tanjung Harapan di Afrika.

Pada waktu itu, banyak yang percaya pada cerita palsu tersebut. Mengapa? Karena pada saat itu teknologi sains dan transportasi sangat terbatas dan memang tidak ada yang mau repot-repot ke Tanjung Harapan untuk mengecek kebenaran tentang teleskop raksasa tersebut dan juga di sekitar mereka tidak ada teleskop raksasa yang mampu meneropong hingga ke bulan. Orang menjadi percaya karena usaha mereka untuk memverifikasi sangat terbatas.

Kedua, keterbatasan atau ketiadaan informasi atau information vacuum. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak kita ketahui. Hal ini menciptakan kevakuman informasi. Informasi buruk selalu membanjiri ruangan yang kosong dalam otak kita. Menurut Tom Philips, kita cenderung percaya dengan informasi pertama yang kita terima. Dengan demikian, jika informasi yang salah yang masuk lebih dahulu, kita akan menjadi resisten dengan informasi yang muncul kemudian, sekalipun yang muncul kemudian itu adalah informasi yang benar.

Ketiga, respons yang tidak bermakna atau meaningless feedback. Ini terkait penyebaran berulang informasi yang tidak akurat dan tanpa verifikasi, namun kemudian dianggap benar. Misalnya, A menyampaikan omong kosong ke B dan B ragu-ragu dengan informasi tersebut. Namun ia menceritakannya ke C dan C percaya. C kemudian menceritakan ke D dan akhirnya D percaya. D menceritakan lagi ke A dan B, sehingga membuat mereka yakin dan merasa bahwa apa yang disampaikan si D adalah bukti kebenaran dari apa yang disampaikan A kepada B.

Keempat, kecenderungan kita yang menginginkan agar sesuatu itu benar atau wanting it to be true. Otak kita sering sulit membedakan antara kebenaran dan kebohongan karena kita menggunakan “penalaran termotivasi”. Kita menalarkan sesuatu agar sesuai dengan keinginan kita dan akibatnya kita sering mengabaikan banyak fakta yang sebenarnya menunjukkan kalau kita salah.

Misalnya, kita ingin mempercayai calon wakil presiden anak muda sebagai yang ideal. Otak kita kemudian membuat penalaran dengan motivasi untuk membenarkan pencalonan anak muda itu, kendati banyak fakta yang menunjukkan bahwa ia sangat tidak layak karena telah menempuh proses yang curang.

Kelima, jebakan ego atau the ego grap. Meskipun kebohongan akhirnya terungkap, tetap ada sesuatu yang menghalangi kebenaran untuk menyebar secepat kebohongan, yaitu kita tidak suka mengakui bahwa kita salah.

Misalnya, kita sudah tahu tentang kebohongan putusan MK tentang batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden, tetapi kita tidak suka mengakuinya dan bahkan ada yang kemudian merasa bahwa jalan curang yang ditempuh oleh Ketua MK adalah kehendak langit.

Keenam, pokoknya tidak peduli apapun yang terjdi atau just not caring. Ketika berhadapan dengan kebohongan yang sudah begitu menyebar, kadang kita tidak peduli untuk menyatakan kebenaran, sekalipun kita sudah mengetahuinya. Kita tidak peduli lagi dengan kebenaran dan membiarkan kebohongan merajalela begitu saja.

Ketujuh, kekurangan imajinasi atau lack of imagination. Kebohongan kerap muncul dalam banyak ragam dan bahkan kadang berwajah menawan. Hal ini menyebabkan kita kerap sulit mengerti tentang kebohongan. Akibatnya kita hidup dalam asumsi bahwa informasi yang kita terima adalah benar.

Misalnya, ketika presiden melakukan kebohongan, kebohongan yang dia sampaikan betul-betul menawan sehingga kita enggan untuk mengkritisinya dan berasumsi saja bahwa ia tidak mungkin melakukan kebohongan.

Menyaring Kebohongan

Bagaimana cara memfilter kebohongan? Ada dua solusi yang ditawarkan, yaitu dengan membangun habitus untuk memeriksa fakta dan dengan belajar mencegah penyebaran berita bohong.

Pertama, periksa fakta. Jika menerima informasi yang kebenarannya diragukan, segera memverifikasi informasi tersebut. Salah satu yang bisa dilakukan adalah memeriksanya di situs Cekfakta.com atau di kanal cek fakta media-media massa yang kredibel. Kita juga bisa memeriksa di google fact check tools.

Langkah berikut yang dapat kita tempuh adalah dengan meneliti media sosial dan media online yang menyebarkan informasi. Periksa profil masing-masing media. Langkah lainnya dengan memeriksa sumber asli. Baru-baru ini beredar potongan video yang memperlihatkan Megawati seolah-olah tidak menghargai Kaesang Pangareb, putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang bersalaman dengannya saat pendaftaran resmi calon presiden dan wakil presiden di Komisi Pemilihan Umum. Namun, ternyata jika kita menonton keseluruhan video, informasi tersebut tidak benar.

Kedua, belajar mencegah penyebaran hoaks. Belajar mencegah penyebaran berita bohong dikenal juga sebagai vaksin berita bohong. Sebagai vaksin, kita pertama-tama harus mengenal bagaimana hoaks atau narasi bohong diciptakan. Setelah itu, kita harus mempelajari cara membedah anatomi berita bohong.

Ada empat langkah penting dalam membedah berita bohong, yakni; menganalisis aktor yang menciptakan berita bohong; menganalisis konten berita bohong, substansi kebohongan yang disampaikan; menganalisis taktik penyebaran berita bohong untuk mengetahui aplikasi dan strategi penyebaran berita bohong; dan menganalisis modus penyebaran berita bohong untuk mengetahui sasaran dan cara yang ditempuh oleh penyebar berita bohong.

Hasil bedah anatomi informasi bohong yang kita buat harus dipublikasikan agar dapat menjadi informasi pembanding bagi publik. Dengan demikian, publik tidak mudah percaya dengan informasi sesat yang beredar di beragam media.

Antonius Mbukut adalah pengajar di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Flores

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya