Polres Manggarai Belum Tetapkan Tersangka Kasus Dugaan Penganiayaan di Sekolah, PGRI Rekomendasikan Mediasi

Penyelesaian secara non litigasi diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak, kata polisi

Floresa.co – Polisi di Kabupaten Manggarai belum menetapkan tersangka dalam kasus seorang guru yang dilaporkan menganiaya salah satu peserta didik Sekolah Dasar, mengklaim kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan.

Sementara itu, organisasi yang menaungi profesi guru, Persatuan Guru Republik Indonesia [PGRI], berupaya agar penanganan kasus tersebut menggunakan pendekatan non litigasi dengan mencoba memediasi kedua belah pihak.

Kepala Seksi Humas Polres Manggarai, Made Budiarsai berkata, penyidik telah memeriksa korban, saksi dan terlapor, namun masih menunggu hasil visum et repertum dari RSUD Ruteng untuk menetapkan tersangka.

Terlapor kasus ini adalah AG, guru di SDI Muwur, Desa Wae Mantang, Kecamatan Rahong Utara yang diduga menganiaya salah satu peserta didiknya.

Made mengaku, PGRI  Kabupaten Manggarai sempat mendatangi kantor polisi, meminta agar penanganan kasus ini dilakukan dengan pendekatan non litigasi berupa kesepakatan damai.

Menurut PGRI, kata dia, pendekatan non litigasi akan menguntungkan kedua belah pihak mengingat “terduga pelaku dan korban masih aktif dalam kegiatan masing-masing.” 

“PGRI meminta agar penanganan kasus tersebut berfokus pada pemulihan, rekonsiliasi, dan restorasi hubungan yang rusak atau terganggu akibat tindakan yang dilakukan oleh guru kepada siswanya,” katanya kepada Floresa pada 7 Maret.

Made berkata, menurut PGRI, jika penanganan kasus tersebut dilakukan dengan pendekatan litigasi, dikhawatirkan terduga pelaku dan korban akan sering meninggalkan sekolah dan kegiatan masing-masing. 

Karena itu, PGRI mengharapkan penyelesaian kasus tersebut dilakukan dengan pendekatan budaya Manggarai yakin “wunis peheng” di mana “terduga pelaku memberikan biaya pengobatan terhadap korban.”

Menurut PGRI, kata Made, wunis peheng sebaiknya diikuti dengan ritus atau upacara hambor, sebuah pola dan mekanisme penyelesaian masalah melalui perdamaian dalam budaya Manggarai.

Ia berkata, PGRI juga meminta agar “polisi menjaga, melindungi, dan menjauhkan kedua belah pihak dari oknum yang berupaya menghasut, memprovokasi dan tidak menginginkan kedua belah pihak berdamai dan saling memaafkan.”

PGRI, kata dia, juga meminta agar polisi mendeteksi, memantau dan menindak tegas jika ditemukan adanya oknum yang hendak “memancing di air keruh” dan berniat mengambil keuntungan di balik peristiwa ini.

Terkait usulan PGRI itu, Made berkata, “penyelesaian secara non litigasi diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak.”

“Hasil mediasi nantinya dilaporkan ke penyidik,” katanya.

Laporan Obortimur.com menyebutkan PGRI telah membentuk “tim pencari fakta” untuk menelusuri informasi secara langsung di lapangan terkait kasus dugaan penganiayaan itu.

AG yang didampingi Kepala SDI Muwur, Ignasius Arifin juga telah memberi keterangan kepada PGRI di sekretariat organisasi itu pada 24 Februari.

Pada hari yang sama, PGRI juga berusaha mengunjungi rumah korban untuk mendengar keterangannya.

Namun, hal tersebut belum terwujud karena korban dan orang tuanya tidak berada di tempat.

Pada 6 Maret, PGRI juga mendatangi Polres Manggarai untuk melakukan koordinasi dan konsultasi terkait Nota Kesepahaman antara kedua institusi itu.

Nota kesepahaman bernomor 606/Um/PB/XXII/2022 dan NK/26/VIII/2022 itu berbicara tentang Perlindungan Hukum Profesi Guru.

Implementasi nota kesepahaman itu juga secara detail diatur dalam pedoman kerja antara kedua institusi itu bernomor 995/Pks/PB/XXII/2022 dan Nomor: PK/3/X1/2022 tentang Perlindungan Hukum Profesi Guru dan Bantuan Pengamanan.

Ketua PGRI Cabang Manggarai, Yohanes Don Bosco berkata, kunjungan ke Polres Manggarai bertujuan “untuk melakukan pendampingan hukum terhadap guru yang merupakan terduga pelaku kekerasan.”

Bantuan hukum dan perlindungan profesi guru, kata dia, diatur secara eksplisit dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI hasil Keputusan Kongres XXIII Tahun 2024 pasal 10 [e] dan pasal 11 [b dan c].

“PGRI punya tanggung jawab moril dalam melindungi profesi guru,” katanya.

“Kami melakukan advokasi, bukan untuk melindungi terduga pelaku. Bukan juga untuk membenarkan tindakan kekerasan,” tambahnya.

Yohanes mengaku pihaknya sangat menghormati tugas dan kewenangan kepolisian dalam menangani kasus tersebut sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Ia juga mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk “memediasi dan membawa kedua belah pihak ke meja damai” sesuai dengan warisan luhur budaya Manggarai.

Karena itu, ia berharap penanganan kasus tersebut menggunakan pendekatan non litigasi. 

Kronologi yang Berbeda

Made Budiarsai yang berbicara kepada Floresa pada 25 Februari berkata, penganiayaan itu terjadi di ruang kelas IV pada 18 Februari sekitar pukul 09.30 Wita.

Insiden tersebut, kata dia, bermula ketika AG menuduh murid berusia 11 tahun itu telah membuat gaduh dan langsung memukul dengan kedua tangan yang telah dikepal ke arah pelipis kiri dan kanan.

“Akibat pukulan tersebut, korban merasakan sakit di kedua pelipisnya,” katanya. 

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga [PPO] Kabupaten Manggarai, Wensislaus Sedan, mengaku telah mendengar kasus ini dan memanggil kepala sekolah dan terlapor untuk mendapatkan keterangan.

Dari hasil pendalaman keterangan oleh dinas, katanya, berbeda dengan versi media.

Menurut laporan Ntt.viva.co.id, AG diduga memukul murid tersebut dengan kedua tangan terkepal hingga mengenai bagian telinga kiri dan kanan korban.

Akibatnya, korban disebut langsung terjatuh dan pingsan. Korban baru sadar setelah ditolong oleh seorang guru lainnya yang membawanya ke ruang kepala sekolah.

Namun, Wensislaus Sedan menyampaikan versi yang berbeda. 

“Anak tersebut tidak pingsan saat dipukul dan sebelum istirahat masih mengikuti pelajaran. Saat istirahat, anak tersebut jatuh dan kepalanya terbentur, sehingga istirahat di ruang kepala sekolah,” katanya kepada Floresa pada 21 Februari.

AG, yang didampingi Kepala SDI Muwur, Ignasius Arifin telah memberikan klarifikasi terkait dugaan kekerasan terhadap murid itu kepada Wensislaus pada 24 Februari.

Kepada Wensislaus, AG mengaku kejadian tersebut terjadi saat ia sedang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas IV B.

Ia mengaku menjitak kepala korban karena menyanyi “saat saya menulis di papan.” 

Ia juga mengaku menjitak beberapa murid lain serta menjewer telinga mereka. 

Namun, ia membantah jika korban sempat pingsan akibat tindakannya, mengklaim murid tersebut “tetap mengikuti pelajaran sampai istirahat dan pelajaran selesai.” 

Sementara itu, Ignasius mengaku baru mengetahui kejadian tersebut saat jam istirahat dari guru dan siswa.

Saat itu, kata dia, Tarsisius Jeramu, seorang guru membawa korban ke kantor sekolah.

Merespons situasi tersebut, Ignasius menanyakan kondisi korban kepada Tarsisius, yang kemudian mengklaim korban dipukul AG.

“Saya marah saat itu. Tidak bisa seorang guru memukul siswa sampai seperti ini,” katanya.

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA