Pulau Flores di Ujung Ancaman ‘Mata Bor Geotermal

Tanpa perubahan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia dan lingkungan sebagai subjek, narasi energi bersih di Flores sekadar pertarungan politik dagang, memperluas komodifikasi sumber daya alam dan menjamin jalur distribusi hasil ekstraksi untuk kepentingan pasar global

Oleh: B. Mario Yosryandi Sara

Pada 19 Juni 2017, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] secara resmi menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi/Geotermal. Penetapannya oleh Menteri ESDM saat itu, Ignasius Jonan, terjadi melalui Keputusan Menteri Nomor 2.268 K/30/MEM/2017.

Tujuan keputusan tersebut adalah mengoptimalkan pemanfaatan energi geotermal di Pulau Flores sebagai sumber listrik dan non-listrik. Salah satunya melalui pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP].

Di balik jargon pemerintah mendorong transisi energi berkeadilan melalui pemanfaatan panas bumi yang ditargetkan akan menyumbang 7.200 megawatt [MW] secara nasional pada 2025, terdapat ancaman serius terhadap keberlanjutan ekologis dan kehidupan masyarakat lokal.

Di beberapa wilayah, proyek PLTP memicu peningkatan risiko seismik, pelesakan tanah dan risiko perubahan relief bumi, kerusakan sistem akuatik, kehilangan mata pencaharian, serta timbulnya gas rumah kaca dan lepasan gas beracun berupa Hidrogen Sulfida [H2S].

Di sisi lain, proyek-proyek ini mengancam keberadaan hutan karena sebagian beroperasi di dalam kawasan hutan. Padahal, laporan Forest Watch Indonesia [FWI] menunjukkan luas hutan alam di Pulau Flores dan Lembata terus menurun. Pada 2000, luas hutan alam 567.232 hektare, menurun menjadi 406.390 hektare pada 2009, tersisa 346.833 hektare pada 2013 dan tinggal 185.927 hektare pada 2017.

Dengan kondisi topografi wilayah Flores yang rawan bencana, tak dapat dipungkiri proyek-proyek PLTP juga berpotensi menjerumuskan “Nusa Bunga” ke jurang krisis ekologis ekstrem. Hal ini terjadi karena sejauh ini laju kerusakan lingkungan tidak sebanding dengan upaya mitigasi di berbagai wilayah yang terdampak bencana.

Meski terdapat upaya yang disepakati secara global tentang wacana pengurangan emisi Gas Rumah Kaca [GRK], seperti Nationally Determined Contribution [NDC] dalam Paris Agreement [2016], realitas di lapangan menunjukkan wajah yang kontras.

Strategi transisi menuju energi terbarukan penuh dengan solusi palsu. Hal ini membuat Indonesia, terutama Flores, terjebak pada “lingkaran setan” krisis lingkungan.  Kebijakan tersebut tidak menjawab permasalahan yang sedang menjadi perhatian dan kekhawatiran bersama.

Cengkeraman Oligarki Energi

Sejak dimulainya proyek developmentalisme di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia di era Soeharto, politik kebijakan telah diarahkan untuk memfasilitasi kepentingan pemilik modal [kapital] yang terus-menerus mentransformasi strategi di ranah ekstraksi sumber daya alam dan manusia.

Politik energi menjadi salah satu instrumen utama dalam mengeruk keuntungan ekonomi melalui eksploitasi berbagai jenis sumber energi. Energi fosil maupun non-fosil dikonversikan demi memenuhi permintaan pasar global. Orientasi utama dari proses ini bukanlah pemenuhan kesejahteraan rakyat, melainkan akumulasi modal semata.

Dalam persoalan ini, paradigma oligarki sebagaimana diuraikan oleh Jeffrey Winters [2011] tentu menjadi inheren. Winters memandang oligarki sebagai sistem kekuasaan yang berakar pada konsentrasi kekayaan atau akumulasi kapital, di mana aktor-aktor kaya menggunakan sumber daya mereka untuk membentengi dan memperluas kepentingannya.

Oligarki bukan sebatas individu atau kelompok tertentu, melainkan struktur kekuasaan yang memprioritaskan perlindungan material [resource] melalui berbagai mekanisme politik dan ekonomi.

Pada konteks politik energi, oligarki tercermin dari bagaimana kebijakan negara lebih melayani kepentingan korporasi, dibandingkan menjawab kemaslahatan rakyat.

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, dari 12 Wilayah Kerja Panas Bumi [WKP] di Flores, 70% dikuasai 5 perusahaan utama; PT Geo Dipa Energi, PT Pertamina Geothermal Energy, PT Star Energy Geothermal, ​​PT Daya Anugerah Sejati, dan PT PLN. Kelimanya memiliki afiliasi dengan konglomerasi multinasional, yang memperlihatkan bagaimana kekayaan itu terakumulasi dan dikelola oleh segelintir pihak.

Felix Pere, 79 tahun, warga Mataloko dengan latar belakang kawah lumpur dan uap panas di lahan pertanian, sekitar 300 meter di belakang rumahnya di Kampung Turetogo, Desa Wogo. Ia merupakan salah satu saksi hidup kegagalan proyek PLTP Mataloko sejak 1998. (Dokumentasi Floresa)

Alih-alih menjadi solusi atas ketergantungan energi fosil, energi terbarukan justru berpeluang dikendalikan sepenuhnya oleh oligarki energi sendiri.

Selain perusahaan domestik, ekspansi eksploitasi panas bumi di Flores juga didukung oleh lembaga pendonor internasional. Beberapa di antaranya adalah Bank Dunia [World Bank] melalui program Geothermal Energy Upstream Development Project [GEUDP] yang  memberikan jaminan finansial untuk mengurangi risiko eksplorasi dan menarik investasi swasta. Ada juga Asian Development Bank [ADB] yang turut mendukung melalui pendanaan studi kelayakan, konstruksi, dan penguatan kapasitas institusional.

Selain itu, Japan International Cooperation Agency [JICA] juga berkontribusi dalam transfer teknologi dan pelatihan untuk kebutuhan PLTP. Terakhir ada KfW Development Bank asal Jerman, yang menyediakan pendanaan serta dukungan teknis melalui PT PLN untuk proyek geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai.

Keterlibatan lembaga-lembaga ini mencerminkan bagaimana relasi bisnis energi sudah beroperasi dalam skala global, mengikat negara-negara berkembang dalam skema pembiayaan yang kerap mengabaikan hak asasi manusia [HAM], terkhusus masyarakat setempat dan ekosistem di sekitarnya.

Penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi, telah menjadi bagian dari agenda transisi energi Indonesia melalui skema Just Energy Transition Partnership [JETP] dengan rencana investasi mencapai US$22,5 miliar [setara Rp3.666 triliun] dan PLTP ditempatkan sebagai Proyek Strategis Nasional.

Namun, di balik jargon transisi energi baru terbarukan [EBT], kini warga lokal sedang menghadapi ancaman serius. Penurunan produktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan—sektor-sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat—menjadi konsekuensi nyata.

Lebih lanjut, hasil riset CELIOS dan WALHI pada 2024 memproyeksikan kerugian pendapatan petani sebesar Rp470 miliar pada tahap pembangunan dan kerugian output ekonomi hingga Rp1,09 triliun pada tahun kedua ekstraksi geotermal.

Konsep oligarki menurut Winters terhadap proyek-proyek seperti PLTP di Flores merupakan manifestasi dari sistem di mana kekuatan ekonomi raksasa dapat mempengaruhi kebijakan negara untuk memfasilitasi ekspansi kapitalnya. Dari proses perencanaan yang minim partisipasi publik, pengabaian terhadap hak atas tanah dan ruang hidup, serta lemahnya mekanisme pengawasan, menunjukkan klaim energi hijau hanya menjadi kemasan baru dari praktik “neokolonialisme.” Bukannya menghadirkan keadilan, transisi energi justru memperkuat struktur kekuasaan yang bersifat eksploitatif.

Jadi, propaganda sistem ekonomi hijau telah melahirkan lebih banyak keraguan, terutama ketika dunia kini bekerja atas dominasi kapitalisme yang mendapat kontribusi negatif dari antroposentrisme.

Ancaman Degradasi Ekologis

Walaupun proyek PLTP menjanjikan potensi pengurangan emisi karbon dan dukungan untuk transisi energi bersih, berbagai pertanyaan kritis muncul mengenai dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi warga lokal.

Apakah proyek ini didorong oleh logika modal, seperti komodifikasi sumber daya alam dan ekspansi pasar energi global yang cenderung menghasilkan keuntungan signifikan bagi perusahaan dan investor besar, sementara komunitas lokal yang terdampak semakin diabaikan?

Seyogyanya Flores memiliki potensi panas bumi sekitar 776 Megawatt yang tersebar di 12 Wilayah Kerja Panas Bumi [WKP], merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2023. Dari jumlah tersebut, beberapa proyek strategis yakni PLTP Ulumbu di Manggarai [40 Megawatt], PLTP Mataloko di Ngada [20 Megawatt], dan PLTP Sokoria di Ende [30 Megawatt] telah beroperasi.Sementara WKP lainnya seperti Oka Ile Ange [Flores Timur], Atadei [Lembata], Poco Leok [Manggarai]; PLTP Ulumbu unit 5-6, Wae Sano [Manggarai Barat], Nage [Ngada], dan lain-lain, sedang dalam tahap eksplorasi.

Ekspansi industri panas bumi tak sekadar soal lingkungan berkelanjutan, tetapi menyangkut keadilan dan keseimbangan ekologis.  Hingga kini, 68% wilayah konsesi panas bumi di Flores berada di atas lahan adat tanpa persetujuan penuh masyarakat sekitar WKP, melanggar prinsip Free, Prior and Informed Consent [FPIC].  Sebanyak 74% dari pertemuan yang diklaim sebagai konsultasi publik hanyalah sosialisasi sepihak tanpa proses pengambilan keputusan bersama. Sistem tenurial tradisional yang kental pun sering diabaikan. Hal ini memperlihatkan bagaimana otoritas negara dan korporasi cenderung meminggirkan hak-hak komunitas lokal.

Persoalan menjadi lebih buruk ketika berbagai dampak negatif tidak selalu bisa dikompensasi oleh dampak positif. Apalagi urusan memanfaatkan sumber daya alam bukan hanya milik pemodal atau pemangku kebijakan semata, tetapi menjadi urusan masyarakat atau komunitas warga di sekitarnya.

Dalam konteks kepulauan Flores, ada semacam misi “terselubung” dari agenda transisi tambang menuju “politik pariwisata” dan energi yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari ekonomi hijau.  Padahal, hasilnya lebih banyak yang destruktif; seperti perampasan tanah, manipulasi regulasi, diskriminatif, kekerasan, ganti rugi yang tak seimbang, pencemaran lingkungan, gugurnya warisan budaya, sampai upaya penghilangan ruang hidup.  Tidak heran, muncul berbagai inisiatif gerakan perlawanan sekaligus kesadaran untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi hak masyarakat.

Rentetan konflik tersebut mencerminkan bagaimana hubungan kekuasaan, akses, dan kontrol atas sumber daya alam dipertarungkan antara negara, korporasi, dan masyarakat.

Ekologi politik memandang bahwa krisis lingkungan tidak dapat dilepaskan dari konteks politik-ekonomi yang melingkupinya. Ekspansi panas bumi di Flores, meski dibingkai dalam narasi transisi energi hijau, pada praktiknya sering menjadi bentuk accumulation by dispossession [akumulasi melalui perampasan] sebagaimana dikemukakan David Harvey dalamImperialisme Baru [2010]. Masyarakat sekitar WKP akan kehilangan akses atas lahan, sumber air bersih, dan ruang hidupnya demi kepentingan modal energi yang dikendalikan oligarki.

Ekspansi kapital juga turut memperparah ketimpangan struktural dan memicu konflik sosial. Salah satu dampak nyata adalah meningkatnya bencana hidrologis seperti banjir, kekeringan, pencemaran, longsor, dan amblesan tanah. Di kabupaten Manggarai pada 2017, setidaknya 1000 hektare sawah mengalami gagal panen karena terindikasi pasokan air menyusut drastis sejak proyek PLTP Ulumbu memasuki tahap konstruksi lanjutan ke wilayah Poco Leok [PLTP unit 5-6].

Pada 15 Agustus 2024, pemerintah dan PT PLN hendak mengidentifikasi dan mendata lahan di Lingko Meter dan Lingko Dering yang merupakan ulayat Gendang Lungar dan Rebak. (Dokumentasi Komunitas Pemuda Poco Leok)

Perubahan pola aliran air sungai akibat pengeboran panas bumi mengganggu sistem irigasi dan memperburuk ketahanan pangan lokal. Adapun penurunan produksi pertanian seperti cengkeh, kopi, dan kakao mengalami penurunan, bahkan terancam punah akibat operasi PLTP Ulumbu yang lokasinya sangat berdekatan dengan perkebunan warga. Jika pemerintah terus menggalakkan perluasan PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok, potensi terjadinya bencana longsor pada musim hujan semakin besar.

Berdasarkan temuan Jaringan Advokasi Tambang [JATAM] tahun 2023, topografi Poco Leok terdiri dari pegunungan, perbukitan, dan lembah juga sangat berisiko jika eksploitasi panas bumi dipaksakan. Tambang panas bumi [dalam bentuk gas] pada kedalaman yang relatif dangkal dari sumur ekstraksi, dimana air ditarik secara terus menerus, akan menyebabkan kepadatan tanah berkurang.

Begitu pula dampak ekspansi PLTP di Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat yang didukung oleh Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, akan sangat berdampak buruk bagi ruang hidup masyarakat di sekitar wilayah Sano Nggoang, mengancam kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan antara pemukiman, lahan pertanian, sumber mata air, pusat kehidupan adat, dan hutan primer.

Di Mataloko, lahan pertanian dan pemukiman warga terancam oleh lubang-lubang bekas operasional PLTP yang membesar dan terisi lumpur serta gas panas. Akibatnya, 5 hektare sawah mati total. Mengutip catatan Floresa, pada Desember 2024 ​​terdapat penambahan lubang yang menyemburkan lumpur dan uap panas disertai bunyi gemuruh di sekitar lokasi proyek.  Sementara menurut laporan CELIOS & WALHI [2024], keadaan demikian disebabkan oleh aktivitas pengeboran yang berulang, sehingga mengurangi kepadatan serta mengubah relief permukaan bumi.

Sedangkan di Sokoria, KabupatenEnde, dampak pengembangan PLTP telah menyebabkan sumber air tercemar, lahan pertanian rusak, dan berdampak pada penurunan debit air Danau Kelimutu.

Anak-anak sedang bermain di sekitar pembangkit listrik PLTP Sokoria, pada 8 September 2023. (Dokumentasi Floresa)

Dinamika ekspansi ekstraktif energi panas bumi yang sedang terjadi di wilayah Flores merefleksikan apa yang dikemukakan oleh Rob Nixon [2013] tentang slow violence [kekerasan lambat], di mana kerusakan lingkungan berlangsung secara bertahap, namun berdampak jangka panjang terhadap komunitas manusia yang terpinggirkan.  Retorika transisi “energi hijau” seringkali menutupi bentuk-bentuk kekerasan struktural terhadap masyarakat lokal. Sebab ekspansi energi panas bumi tanpa partisipasi sejati dari komunitas terdampak bukan hanya melanggar hak asasi, tetapi juga merusak relasi ekosistem yang telah terjaga selama berabad-abad.

Menjaga Keberlanjutan

Seyogyanya geotermal merupakan primadona baru dari politik energi. Silang sengkarut kepentingan dari putaran modal telah memaksa negara untuk mau tidak mau menerima proyek-proyek tersebut sebagai sesuatu yang niscaya.

Bahkan kepentingan tersebut telah membentuk istilah yang seakan harus diterima, seperti energi berkelanjutan, energi terbarukan, dan lain-lain serta telah menyerupai istilah “pembangunan” di masa rezim Orde Baru. Walaupun kenyataannya politik tersebut justru menguatkan dan memperlebar jurang struktural.

Transisi energi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan sejatinya adalah keniscayaan di tengah krisis iklim global yang semakin riskan. Akan tetapi proses ini harus dilakukan secara adil dengan menempatkan manusia sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan.

Transisi yang abai terhadap hak-hak masyarakat lokal, berpotensi melanggengkan ketimpangan dan kerusakan ekologis yang selama ini dipicu oleh industri ekstraktif, termasuk panas bumi.

Dengan itu, transisi energi berkeadilan mesti memperhatikan dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan secara holistik.

Selain itu, proyek PLTP sangat mencerminkan proses “ekstraksi kapitalis,” yang bergantung pada konstruksi ruang sebagai entitas yang dapat dieksploitasi.  Proses ini, seperti dijelaskan oleh Mezzadra dan Neilson [2019], melibatkan kategorisasi dan marginalisasi masyarakat lokal yang hak-haknya dianggap tidak relevan dalam logika sistem produksi kapitalis.

Dengan mengabaikan hak masyarakat lokal, proyek tersebut tak hanya mengubah lanskap fisik tetapi juga memperparah krisis sosial-ekologi yang telah lama berlangsung. Dalam kerangka ekologi politik, proyek semacam ini menjadi cermin dari bagaimana pembangunan energi terbarukan seringkali menyisakan jejak ketidakadilan yang mendalam.

Di lain pihak, tanpa perubahan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia dan lingkungan sebagai subjek, transisi energi di Flores berisiko menjadi kuda troya untuk memperlebar sirkuit modal.  Narasi energi bersih sekadar pertarungan politik dagang, memperluas komodifikasi sumber daya alam dan menjamin jalur distribusi hasil ekstraksi untuk kepentingan pasar global.

Melihat keadaan di Flores, pembangunan PLTP lebih menegaskan akumulasi kapital daripada upaya menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat setempat. Karena hakikatnya tujuan utama kapitalisme adalah mengakumulasi nilai lebih [surplus value], yang dalam abad modern berbentuk keuntungan.

Adapun kesadaran kritis setiap warga negara di garda depan krisis eksploitasi panas bumi mesti terus dihidupkan. Operasi buas ekstraktif kapital melalui pembongkaran material energi, termasuk penambangan air besar-besaran untuk mendukung industri panas bumi, adalah hanya untuk memenuhi cara hidup urbanisme industrial yang selain bukan warisan leluhur, juga tak selalu terkait langsung dengan kebutuhan rakyat di kampung-kampung di Pulau Flores.

Oleh karena itu, negara diharapkan segera melakukan penghentian atas agenda invasi PLTP. Harapan ini tidak hanya diperlukan untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut, tetapi juga sebagai langkah untuk melindungi hak-hak masyarakat yang terdampak.

Proses ini harus disertai dengan evaluasi menyeluruh terhadap konsekuensi sosial dan ekologis yang telah terjadi, lalu mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kehidupan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

B. Mario Yosryandi Sara adalah Mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional.

Artikel ini didukung oleh LaporIklim dan Yayasan PIKUL

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA