Gereja Katolik di Flores Sedang Meruntuhkan Dirinya?

Jika perilaku orang-orang di dalam hierarki Gereja sudah tidak bisa lagi dibedakan dengan laku pejabat pemerintah dan pengusaha atau berkolusi dengan mereka, seharusnya itu jadi tanda bahaya

Pernyataan Uskup Agung Ende, Msgr Paulus Budi Kleden pada awal tahun ini yang menolak proyek geotermal di wilayahnya memberi harapan baru tentang Gereja Katolik yang kembali ke relnya, berdiri bersama dan berpihak pada umat yang rentan, menjadi korban.

Namun, dalam bulan yang sama, Keuskupan Maumere melakukan hal sebaliknya. Korporasi milik keuskupan itu, PT Kristus Raja Maumere [PT Krisrama], di mana uskupnya menjadi komisaris utama dan para imam menjadi direktur, menggusur rumah dan tanaman umat di lahan konflik.

Terlepas dari perdebatan soal legalitas klaim Keuskupan Maumere atas tanah itu, saya sepakat dengan pernyataan sejumlah organisasi masyarakat sipil bahwa penggusuran itu adalah sebuah kebrutalan, praktik tidak manusiawi.

Meminjam kata-kata korban yang adalah juga umat Katolik, tindakan itu tidak sesuai dengan ajaran Kristus yang mereka imani, yang sayangnya juga dipakai sebagai nama korporasi pelaku penggusuran.

Jika ekses kejadian terakhir ini tidak ditangani dengan baik, bahkan berulang pada waktu-waktu mendatang, tanpa ada upaya penyelesaian konflik yang bermartabat, Gereja Katolik sedang merancang keruntuhannya sendiri.

Artikel ini akan membaca perkembangan terakhir ini, mengaitkannya dengan konteks kehadiran Gereja Katolik di Flores, termasuk dalam hubungannya dengan wajah Gereja di keuskupan-keuskupan lain, selain di Ende dan Maumere.

Uskup Agung Ende: Menjawab Kegelisahan

Saat pertama kali mendengar isi video pernyataan Uskup Agung Ende, saya spontan berterima kasih kepada beliau. 

Ada beberapa alasan mengapa pernyataannya penting.

Pertama, secara personal, pernyataannya menjawab kerinduan saya sebagai orang Katolik tentang sebuah Gereja yang berada bersama dan peduli pada umatnya, sebuah gereja yang memilih menemani perjalanan umatnya.

Kedua, pernyataan itu berangkat dari pengalaman perjumpaan dengan umatnya sendiri. Ia tidak percaya begitu saja dengan  narasi-narasi khas pemerintah dan korporasi bahwa geotermal adalah energi bersih, energi hijau.

Sebaliknya, ia memilih melihat secara langsung cara kerja proyek-proyek itu. Dalam laporan yang dipublikasi Floresa pada 27 Januari, Romo Reginal Piperno, Ketua Komisi JPIC Keuskupan Agung Ende berkata, sebelum mengeluarkan pernyataannya, Uskup Budi ke Mataloko dan Sokoria. Ia mendengarkan cerita umatnya di dua titik proyek geotermal itu.

Langkah ini adalah sebuah bentuk pengakuan atas pengalaman konkret umat sebagai sesuatu yang valid, penting dihargai, tidak hanya percaya pada pernyataan bahwa geotermal adalah pilihan energi terbaik yang seringkali dibungkus dengan argumen berbasis riset oleh akademisi di kampus-kampus dan membawa-bawa klaim didukung lembaga internasional dan lain-lain.

Ketiga, pernyataan itu penting karena menjadi sikap resmi keuskupan dan Uskup Budi mengajak para imam untuk bahu-membahu membantu warga. Ia juga mengafirmasi bahwa sikapnya juga berdasarkan masukan dari para imamnya. Artinya, uskup tidak jalan sendiri sebelum mengambil sikap, tetapi mendengarkan suara rekannya sesama gembala.

Keempat, pernyataan itu muncul di tengah sikap uskup lain di Flores yang mendukung proyek geotermal, mengabaikan suara umat mereka. Salah satunya adalah di Keuskupan Ruteng, di mana Msgr. Siprianus Hormat secara resmi mendukung proyek geotermal di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.

Uskup yang sama juga tidak melakukan apa-apa saat umatnya di Poco Leok, Kabupaten Manggarai menghadapi aksi represif aparat karena menolak proyek geotermal.

Karena itu, pernyataan uskup Budi memulihkan kepercayaan umat di wilayah lain di Flores yang telanjur kecewa dengan sikap pimpinan mereka.

Saya meyakini, Uskup Budi sudah tahu risiko bahwa pernyataannya akan disandingkan dengan uskup lain. Ia juga mungkin tahu bahwa uskup lain di Flores tidak akan setuju dengan sikapnya.

Namun, dia mengambil risiko itu, demi umat, demi domba gembalaannya.

PT Krisrama: Hantaman untuk Gereja Katolik

Sukacita terkait sikap Uskup Budi itu hanya bertahan sebentar, setelah dua pekan setelahnya muncul kasus penggusuran rumah dan tanaman warga di Keuskupan Maumere.

Dari sejumlah video peristiwa pada 22 Januari itu, tampak ibu-ibu histeris di depan moncong alat berat.

PT Krisrama memang mengantongi izin Hak Guna Usaha pada lahan itu, kendati pada sisi lain, warga adat dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai mempersoalkannya karena mengklaim lahan itu adalah milik mereka yang diambil alih pada zaman kolonial Belanda, lalu berlanjut ke penguasaan oleh Gereja Katolik sejak 1926 hingga era pasca kemerdekaan.

Terlepas dari perdebatan soal klaim kepemilikan itu, tindakan penggusuran itu yang melibatkan lembaga milik Gereja Katolik dan dikawal para imam tidak hanya mengecewakan, tetapi juga memalukan.

Tentu saja sebagai lembaga yang juga butuh biaya untuk operasional dan karya-karyanya, Gereja Katolik perlu memiliki unit-unit usaha yang menopang secara finansial, termasuk mendirikan perusahaan.

Namun, penting dicatat bahwa PT Krisrama itu bukan korporasi per se, tapi itu adalah korporasi milik keuskupan dan memakai nama Kristus Raja. 

Perusahaan itu juga dipimpin oleh uskup dan para imam yang adalah klerus, bahkan dalam tradisi Katolik, mereka diyakini sebagai alter Kristus, atau Kristus yang lain.

Dengan demikian, ada standar lebih untuk pertanggungjawaban etis dan moral atas tindakannya.

Publik tidak akan menuntut lebih kalau saja PT Krisrama itu adalah perusahan milik kontraktor, pengusaha atau politisi.

Orang tidak akan bertanya-tanya: mengapa perusahaan ini begitu tega? Mengapa perusahaan ini dengan enteng menghancurkan tempat tinggal umatnya? Bagaimana perasaan orang-orang di perusahaan itu melihat umat, termasuk kaum perempuan, yang terpaksa memakan tanah demi menghentikan aktivitas alat berat?

Sekali lagi, ini adalah perusahaan milik Gereja. Ini adalah perusahaan yang dikelola oleh uskup dan imam dan membawa-bawa nama Kristus.

Karena itulah, saya tidak habis pikir dengan argumentasi yang membenarkan aksi penggusuran itu dengan basis alasan karena gereja sudah punya hak legal dan itu adalah soal bisnis. 

Catatan lain, dengan statusnya sebagai lembaga keagamaan penting di Flores, berkat mayoritas penduduk yang tercatat sebagai Katolik, Gereja Katolik begitu berkuasa. 

Dengan pejabat-pejabat lokal, mungkin juga aparat keamanan, yang umumnya Katolik, Gereja punya ruang yang luas untuk menggerakan semua elemen itu demi kepentingannya. 

Dalam konteks kekuasaan yang besar seperti ini, ditambah dengan kuasa spiritual yang diyakini melekat padanya, penyalahgunaannya bisa membawa dampak yang sangat serius.

Jika menggunakan terminologi dosa, bagi saya, penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga religius seperti Gereja masuk kategori dosa berat.

Gereja Meruntuhkan Dirinya?

Tindakan Keuskupan Maumere berdampak sangat buruk bagi citra Gereja Katolik di mata umat, setidaknya untuk saya.

Hal yang paling memprihatinkan dari semua itu adalah Gereja makin kehilangan legitimasi untuk berbicara tentang isu-isu sosial.

Apa dasar legitimasi bagi uskup dan para imam di Keuskupan Maumere, misalnya, untuk mengkritisi praktik penggusuran semena-mena jika suatu saat ada korporasi lain yang melakukannya? 

Saya tidak menemukan alasan yang kuat untuk itu.

Sejauh pengamatan saya, Gereja Katolik di Flores sedang mengalami krisis kepercayaan, yang tidak pertama-tama karena pengaruh dari luar, tetapi dari dalam.

Hierarki Gereja yang meninggalkan umat seperti di Ruteng dan Maumere, hanya beberapa contoh dari banyak pemicu, selain skandal pelecehan seksual yang kian banyak terungkap, yang juga terjadi di dalam institusi gereja.

Di tengah situasi ini, banyak orang yang makin mengambil jarak dari gereja.

Ini adalah era yang berbeda dengan beberapa dekade lalu, ketika umat Katolik masih enggan berbicara terbuka tentang masalah Gereja, entah demi menjaga nama baik Gereja atau karena ditakut-takuti akan dikutuk.

Karena itu, butuh sebuah perubahan cara berpastoral dan mengambil sikap yang tepat berhadapan dengan masalah-masalah riil yang berdampak serius bagi kehidupan umat.

Mendengarkan suara kritis dan jeritan umat, sebagaimana dilakukan Uskup Budi di Ende merupakan strategi pastoral yang penting di tengah gejala umum pembungkaman warga oleh negara atau pemerintah. 

Jika dalam kasus-kasus sengketa dengan warga, pemerintah cenderung memakai hukum positif berikut perangkat-perangkat penegakan hukum, sejatinya Gereja memilih cara-cara yang lain yang memberi tempat penting pada upaya mengedepankan nilai-nilai bercorak  Kristiani yang berbasis solidaritas dan keberpihakan pada mereka yang paling rentan.

Hanya dengan cara demikian, gereja tetap relevan, masih dianggap penting dan layak jadi sandaran bagi mereka yang “letih lesu dan berbeban berat.”

Dalam tahun-tahun mendatang, Flores mungkin akan makin punya banyak gereja-gereja megah, tempat-tempat ziarah, dan makin banyak klerus yang berapi-api tampil di media sosial memberi renungan, makin banyak institusi yang punya korporasi dan aset-aset bisa bertambah banyak.

Namun, ketika prinsip dasar keberpihakannya pada orang-orang lemah ditinggalkan, krisis di dalam Gereja akan terus meluas.

Sekarang kita mendengar gereja-gereja terus kosong di Eropa. Tampaknya, tidak akan lama lagi hal serupa akan terjadi di gereja-gereja di Flores, andai tidak ada perubahan.

Jika perilaku orang-orang di dalam hierarki Gereja sudah tidak bisa lagi dibedakan dengan laku pejabat pemerintah dan pengusaha atau berkolusi dengan mereka, seharusnya itu jadi tanda bahaya.

Mengabaikan hal ini dan menganggapnya biasa-biasa saja sama dengan Gereja sedang perlahan-lahan meruntuhkan dirinya sendiri.

Ryan Dagur adalah pemimpin umum sekaligus editor Floresa

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA