Gereja Katolik Jelas Berpihak Pada Korban, Kata Keuskupan Agung Ende Soal Sikap Menolak Proyek Geotermal

Ketua JPIC Keuskupan Agung Ende juga menegaskan bahwa pernyataan uskup muncul usai bertemu langsung dengan warga yang jadi korban

Floresa.co – Keuskupan Agung Ende menyebut sikap mereka yang menolak proyek geotermal merupakan upaya menerjemahkan prinsip dasar Gereja Katolik yang berpihak pada korban.

Berbicara dalam diskusi yang digelar Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores, Romo Reginald Piperno, Ketua Komisi JPIC Keuskupan Agung Ende memberi penjelasan soal landasan pernyataan uskupnya, Paulus Budi Kleden, yang memicu kontroversi karena secara tegas menolak proyek geotermal di wilayahnya.

“Gereja memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara, terutama masyarakat miskin yang menjadi korban langsung dari proyek ini,” kata Romo Perno, sapaannya, dalam diskusi publik yang digelar pada 25 Januari.

Ia berkata, dalam konteks proyek geotermal, korbannya ada dua.

Pertama adalah manusia, mengingat “hampir semua titik geotermal di Flores berada di lokasi pertanian yang subur.”

“Mayoritas masyarakat Flores adalah petani. Mereka akan kehilangan mata pencaharian,” katanya dalam diskusi itu yang mengangkat tema “Geotermal di Flores Sebagai Bisnis Berkedok Hijau: Di Mana Posisi Agama-Agama?”

Korban kedua, kata dia, adalah alam karena eksplorasi geotermal berisiko besar merusak lingkungan. 

“Bapa Uskup khawatir bahwa Flores yang dikenal sebagai Pulau Bunga akan berubah menjadi Pulau Panas Bumi. Kerusakan ekosistem ini akan berdampak besar bagi kehidupan masyarakat,” tambahnya.

Dalam pernyataannya pada pada 6 Januari, Uskup Budi berkata, penolakannya muncul setelah “mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria dan Mataloko serta usai berdiskusi dengan sejumlah imam.” 

Sokoria dan Mataloko merupakan dua dari beberapa titik proyek geotermal di wilayahnya.

Ia menegaskan, sikap itu menjadi sikap resmi keuskupannya, sembari meminta para imam membantu perjuangan warga.

Romo Perno mengafirmasi bahwa pernyataan Budi tidak muncul tiba-tiba, tetapi lahir dari pengalaman perjumpaan dengan warga.

Bersama Budi, Perno pernah ke Mataloko dan Sokoria, tempat “kami mendengar keluhan dari warga.”

“Dengan sikap tegas beliau, masyarakat yang menjadi korban merasa didukung dan memiliki semangat baru untuk berjuang,” katanya.

Pengakuan Umat

Klaim Perno sejalan dengan pengakuan Antonius ‘Tony’ Anu, warga di lingkar proyek geotermal Mataloko.

”Sebagai warga Mataloko, juga sebagai umat Keuskupan Agung Ende, kami merasa bersyukur dan bangga atas sikap yang diambil oleh Bapa Uskup,” katanya.

Ia menyebut sikap itu adalah bentuk keberpihakan berhadapan dengan masalah sosial dan lingkungan yang berdampak bagi umat.

Tony berkata, uskupnya tidak memilih sikap netral karena itu berarti sama dengan  “menempatkan kita di sisi yang berseberangan dengan rakyat yang tertindas.”

Tony menjelaskan bahwa proyek geotermal di Mataloko menghadirkan banyak masalah, termasuk kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan ancaman terhadap budaya lokal. 

“Proyek ini seringkali dianggap sebagai solusi energi hijau, tetapi nyatanya meninggalkan kerusakan lingkungan, pencemaran air, tanah, dan penghancuran nilai-nilai budaya lokal,” katanya,

Ia juga menyoroti dampak ekonomi yang justru merugikan masyarakat lokal.

“Wilayah-wilayah proyek ini adalah lahan subur yang sangat potensial untuk pertanian dan perkebunan, tetapi dialihfungsikan menjadi lahan tambang,” kata Tony.

“Warga di sekitar lokasi proyek bertahan hidup dengan bertani dan beternak, bukan dari kehadiran geotermal,” tambahnya.

Proyek geotermal Mataloko yang mulai dikerjakan lebih dari dua dekade lalu semula hanya mencakup dua desa, namun terus meluas hingga tujuh desa di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Golewa dan Golewa Selatan, kata Tony.

Ia menegaskan bahwa ekspansi ini dilakukan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap masyarakat dan lingkungan.

Proyek ini dikerjakan PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN]. Laporan Floresa pada 17 Desember 2024 mengungkap soal munculnya lubang semburan baru yang mengeluarkan lumpur dan uap panas.

Semburan itu terjadi di lahan yang berjarak sekitar 300 meter dari Kampung Turetogo, Desa Wogo.

Melihat dampak buruk ini, kata Tony, ”kami akan terus menyuarakan penolakan terhadap proyek ini dengan alasan-alasan yang jelas dan mendasar.” 

Sikap Berbeda Hirarki Gereja Katolik

Pulau Flores menjadi sasaran berbagai proyek geotermal sejak penetapannya sebagai Pulau Panas Bumi berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2017. 

Pulau ini memiliki total potensi panas bumi 902 Megawatt, atau 65 persen dari total kapasitas di NTT, menurut kementerian itu.

Pemerintah telah mengidentifikasi 16 titik proyek di sepanjang Flores hingga Pulau Lembata di sebelah timur, yakni Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Detusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atadei, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang.

Proyek di titik-titik itu, yang sebagian sudah dikerjakan, mendapat resistensi dari warga lokal, sebagian memicu aksi kekerasan.

Di sisi lain, di dalam hirarki Gereja Katolik, terjadi perbedaan sikap terhadap proyek geotermal.

Budi adalah uskup pertama di Flores yang secara publik menentang proyek geotermal.  Sementara rekannya sesama uskup, seperti Uskup Ruteng, Msgr. Siprianus Hormat telah menyatakan mendukung.

Pada Mei 2020, Uskup Ruteng itu mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo, yang merekomendasikan agar proyek geotermal Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat dilanjutkan. Surat tersebut menuai protes dari umatnya, menganggap Siprianus mengabaikan suara mereka.

Dalam diskusi pada 25 Januari, Romo Perno juga memberi respons soal perbedaan sikap Uskup Budi dengan uskup lain di Flores.

Ia berkata, bagi Keuskupan Agung Ende, geotermal “menjadi persoalan nyata bagi kami.”

Apalagi, katanya, keuskupan itu yang mencakup wilayah tiga kabupaten – Ende, Ngada dan Nagekeo – merupakan keuskupan di Flores dengan jumlah titik proyek geotermal terbanyak, yakni 12 titik.

“Kita bisa membayangkan bagaimana kalau 12 titik ini kemudian dieksplorasi semuanya, tentu akan berdampak sangat besar,” katanya.

Sikap keuskupan lain di Flores, katanya, bisa saja berbeda tergantung pada cara mereka melihat persoalan ini.

Meski Ende berstatus Uskup Agung, jelasnya, relasinya dengan uskup lain hanya bersifat koordinatif.

Bisa saja, kata dia, Uskup Budi mendiskusikan masalah ini dengan uskup lain dan mengusulkan mereka mengambil sikap serupa.

“Namun, setiap uskup juga punya otonomi atas wilayahnya masing-masing,” katanya.

Romo Perno berkata, yang jelas, dengan menolak proyek geotermal, Uskup Budi sedang menghadirkan gereja yang menyuarakan keluhan masyarakat yang tidak memiliki akses atau keberanian untuk berbicara.

“Bapak Uskup menjadi representasi mereka yang hampir kehilangan harapan akibat proyek ini,” katanya.

Ia menambahkan, sikap itu juga bagian dari upaya menghadirkan gereja sebagai “penjaga moral dan etika pembangunan.”

Keputusan ini tidak dimaksudkan untuk melawan pemerintah, katanya, tetapi untuk melindungi kehidupan masyarakat dan lingkungan.

“Pembangunan yang berkelanjutan harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat kecil dan keberlanjutan lingkungan, bukan sekadar mengejar keuntungan ekonomi,” katanya.

“Pembangunan tidak boleh membuat siapapun menjadi korban, terutama masyarakat kecil, orang sederhana, atau orang miskin.”

Dalam diskusi tersebut, Erwin Prasetyo, Rektor Universitas Muhammadiyah Maumere, menyatakan pada prinsipnya Muhammadiyah mendukung pengembangan energi terbarukan, asalkan berlandaskan prinsip keadilan.  

Ia menyoroti pengelolaan energi yang pada praktiknya seringkali mengabaikan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan lingkungan dan masyarakat.  

“Seringkali kita lupa bahwa di hulu proyek energi, termasuk proyek geotermal, terdapat kearifan lokal yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam pengelolaan lingkungan,” tambahnya.  

Diskusi ini, yang dipandu Anno Susabun, jurnalis Floresa, merupakan bagian dari agenda rutin Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores.

Pembentukannya diinisiasi oleh lembaga riset dan advokasi Sunspirit for Justice and Peace, media independen Floresa, serta kolektif kaum muda Rumah Baca Aksara. 

Forum ini bertujuan mempertemukan berbagai elemen masyarakat untuk membahas isu-isu sosial yang relevan di Flores.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA