Oleh: Made Supriatma
Saya mengikuti kasus penggusuran 120 rumah milik warga adat di Kabupaten Sikka, NTT oleh PT Kristus Raja Maumere [PT Krisrama), milik Keuskupan Maumere. Hanya karena ada deadline tulisan, saya menahan diri untuk tidak menuliskan komentar.
Namun, hal itu ada gunanya. Seraya berlalunya waktu, saya mendapat tambahan informasi.
Informasi itu tidak hanya dari para korban penggusuran yang memang mendapat ekspos media lebih besar daripada pihak Gereja.
Dalam beberapa postingan oleh beberapa kawan, saya melihat tulisan dari beberapa kaum klerus [imam dan pejabat gereja] yang menceritakan persoalan versi mereka.
Namun laporan yang paling mendalam, menurut saya, diberikan oleh Floresa. Media yang terbit di Flores ini memberikan latar belakang sejarah konflik pertanahan yang memiliki akar jauh ke jaman kolonial.
Pada awal 2020, saya melakukan penelitian di Maumere. Saya juga mendengar konflik agraria yang melibatkan Gereja Katolik dengan umatnya sendiri ini. Itu tidak hanya terjadi di wilayah Keuskupan Maumere, namun juga di seluruh Flores.
Ada tanah yang dimiliki oleh kongregasi religius, seperti Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Domini atau SVD), sebuah kongregasi imam terbesar di Flores.
Namun, saat itu saya mendengar dari seorang imam bahwa SVD sudah membagikan tanah-tanah itu kepada umat. SVD hanya minta sebagian untuk mendukung pendidikan imam-imam mereka. Itu yang ada dalam catatan penelitian saya.
Sejarah percekcokan dan perebutan tanah di Sikka ini memang panjang.
Saya paham bahwa konflik ini telah menjadi bara. Seorang imam SVD yang pernah bertugas sebagai ekonom di Seminari Tinggi Ledalero menulis di laman kawan saya bagaimana dia dikejar oleh masyarakat dan diancam untuk dibunuh.
Imam lain yang ahli hukum menuliskan opininya di sebuah media lokal tentang orang-orang yang menurut dia adalah penyerobot tanah.
Untuk saya, persoalannya adalah untuk apa Gereja Katolik memiliki perusahaan yang mengelola tanah, khususnya ditengah-tengah kemiskinan yang sangat akut.
Penyebab utama kemiskinan ini adalah ketiadaan tanah sebagai alat produksi. Bila pun ada, tanah itu tidak subur. Dan, bisa diduga, bagian yang subur itulah yang agaknya dikuasai oleh Gereja.
Saya bisa paham argumen Gereja bahwa ia membutuhkan dana untuk pendidikan calon-calon imam. Argumen yang sama juga dikemukakan oleh Uskup Agung Merauke di Papua Selatan ketika menerima sumbangan dana dari perusahaan sawit PT Korindo untuk pembangunan seminari. Dan, uskup yang sama menyambut baik kehadiran proyek food estate yang menghancurkan hutan masyarakat adat karena akan membuka lapangan pekerjaan.
Uskup yang sama melarang pemasangan salib-salib merah oleh masyarakat adat [yang adalah umatnya!] dan mengatakan itu bid’ah. Padahal, masyarakat adat memasang salib-salib merah itu sebagai tanda tanah adatnya dan bila itu dilanggar maka mereka akan melawan.
Ini semua dilakukan oleh Sang Uskup Agung demi mendukung korporasi dan tentara-tentu seraya berharap dia mendapat remah-remahnya.
Alasan untuk pendidikan calon imam itu hanya sebagian; karena kabarnya dengan tiba-tiba mobil Bapak Uskup juga ganti mobil ke yang lebih mewah.
Itulah cerita-cerita yang saya dengar dari umatnya sendiri. Tentu diceritakan dengan gaya mop ala Papua.
Melihat apa yang terjadi di Maumere, saya tiba-tiba berpikir: tidakkah ini sesungguhnya persoalan kelas? Para klerus [demikian orang Katolik menyebut orang-orang yang duduk dalam hierarki Gereja] sesungguhnya adalah tuan tanah. Merekalah golongan kaya di Pulau Bunga [Flores] ini. Mereka adalah kelas literati, kelas terdidik.
Mereka, walaupun asalnya miskin juga seperti penduduk yang digusurnya, menjadi kaya karena imamatnya. Hampir bisa dipastikan bahwa mereka bermobil-yang merupakan barang mewah untuk penduduk pada umumnya.
Makanan para klerus tentu lebih baik dari umatnya. Beberapa di antaranya minum wine ketika pesta.
Ini sungguh ironis dengan kaul yang mereka ucapkan ketika menjadi imam. Para imam kongregasi mengikrarkan kaul kemiskinan, sementara iman-imam diosesan-yang boleh menerima upah/gaji minimum pada umumnya- berkaul untuk hidup sederhana.
Selain itu, dipandang dari sisi apapun, tindakan PT Krisrama ini sulit untuk dibenarkan. Ini bukan sekedar respon terhadap para penyerobot tanah. Lihatlah rumah-rumah mereka. Adakah semewah dan semegah pastoran?
Keuskupan Maumere tidak seharusnya mengelola tanah HGU. Para imam tidak seharusnya mengelola perusahaan, apalagi memimpin pembuldoseran.
Tindakan ini bertentangan tidak saja dengan inti ajaran Kristiani. Anda boleh menjustifikasi ini dengan kajian teologis dan filosofis yang berat-berat.
Namun tetap saja, untuk saya dan banyak umat Katolik lainnya, ini adalah tindakan tidak bermoral yang jauh dari rasa keadilan.
Paus Fransiskus mencanangkan tahun ini sebagai Tahun Yubileum. Saya tentu tidak perlu mengajari Anda, para klerus, tentang apa itu Yubileum. Dalam tradisi Yahudi, yang kemudian diadopsi Kristen, tahun ini adalah tahun pembebasan-para budak dibebaskan, tahanan dilepas dari penjara, tawanan dikembalikan ke rumahnya.
Ia adalah juga tahun di mana hutang dihapuskan, hak milik [properti] dikembalikan dan dibagi-bagi secara adil, tanah-tanah dan manusianya diistirahatkan selama setahun dan tahun ini kebebasan diproklamasikan.
Persis inti dari Yubileum inilah yang telah Anda langgar! Persis moralitas pokok dari Yubileum inilah yang Anda buldozer! Persis pembebasan dari Yubileum inilah yang telah Anda balikkan menjadi penundukan dan penindasan!
Saya tidak mengatakan bahwa 120 orang yang rumahnya Anda gusur adalah orang yang benar. Namun, mereka jauh lebih miskin dari Anda. Mereka jauh lebih membutuhkan tanah itu.
Tentu ada solusi-solusi lain yang bisa ditempuh. Jika Anda tidak memiliki alternatif untuk pendidikan imam atau operasional keuskupan, mengapa tidak merangkul orang-orang ini dan bersama-sama menemukan “kebebasan” seperti yang dikumandangkan oleh inti ajaran Yubileum?
Ada banyak orang bisa membantu agar baik masyarakat maupun gereja bisa bekerja sama, bisa makmur bersama.
Mungkin apa yang sering Anda serukan kepada umat Anda, sekarang harus diserukan kepada Anda. Gereja Katolik Maumere, bertobatlah! Kerajaan Allah sudah dekat!
Made Supriatma adalah peneliti dan penulis. Artikel ini pertama kali dimuat di Facebook-nya, dipublikasi kembali oleh Floresa dengan perubahan minor atas izinnya.
Editor: Ryan Dagur