Oleh: Eto Kwuta
Sudah pasti dan tak pernah diragukan, Gereja bukan sekadar satu bangunan fisik atau gedung dengan berbagai ikon-ikon kudus di dalamnya.
Gereja merujuk pada persekutuan umat Allah yang sedang berziarah di dunia.
Dalam peziarahan itu, anggota gereja menghormati hierarki dan menjalankan hukum-hukum yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus sendiri.
Dengan kata lain, gereja dengan huruf G besar, adalah kita sebagai umat Allah, simbol Tubuh Kristus yang berziarah mencari kebahagiaan sejati.
Dalam perkembangannya, umat Allah hidup dan berkarya bersama para pemimpin Gereja, berpastoral dalam setiap kondisi tantangan, mendengar sabda Allah lewat khotbah, dan melaksanakan ajaran kasih Yesus sendiri.
Ajaran kasih itu datang dari suara-suara para gembala Gereja yang mewartakan nilai-nilai kristiani, moral, dan etika dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Kalau kita merenungkan Veronika menghapus wajah Yesus dalam Jalan Salib, maka wajah itu adalah wajah yang melekat di dalam ingatan sejarah Gereja, wajah yang menderita, sengsara, lalu mati di kayu salib.
Wajah Yesus ini adalah cerminan wajah Gereja saat ini.
Mengapa harus cerminan?
Pada 22 Januari 2025, PT Kristus Raja Maumere atau PT Krisrama, korporasi milik Keuskupan Maumere menggusur 120 unit rumah dan tanaman milik masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di Nangahale, Kabupaten Sikka, NTT.
Media Ekora NTT menulis liputan panjang pada 28 Januari tentang peristiwa itu, berjudul Rumah Digusur Perusahaan Milik Gereja, Masyarakat Adat di Nangahale Terus Berjuang Pertahankan Tanah Leluhur.
Floresa.co, yang memiliki tagline kritis dan independen juga menulis laporan serupa, Konflik Lahan di Sikka: Saat Korporasi Milik Gereja Katolik Tega Hancurkan Rumah Umat. Pemimpin Umum Floresa, Ryan Dagur juga menulis pandangannya yang merefleksikan kasus ini dan dampaknya bagi Gereja Katolik di Flores, dengan judul Gereja Katolik di Flores Sedang Meruntuhkan Dirinya?
Kasus ini juga memantik perhatian media-media skala nasional, seperti Tempo, BBC News Indonesia dan lain-lain yang membuat liputan khusus soal peristiwa itu.
Sementara itu, di media sosial berseliweran opini pro kontra.
Ada perang argumentasi dari Grup WhatsApp hingga dinding Facebook, video-video reels di TikTok, video panjang di YouTube.
Ada yang sedih dengan peristiwa itu, namun ada juga yang tersenyum dan berkata “Sudah seharusnya penggusuran itu dilakukan, karena mereka main serobot!”
Hampir sebulan pasca peristiwa itu, hari-hari ini warga korban penggusuran itu bertahan di tenda-tenda beratap terpal, menghabiskan hari-hari mereka bersama keluarga, tanpa ada bayangan seperti apa nasib mereka ke depan.
Di tengah pro-kontra ini, saya merasa perlu memberi catatan kritis terhadap PT Krisrama, sebuah korporasi yang menyandang nama Kristus sebagai Raja dan Keuskupan Maumere hadir di sana.
Mengapa Gereja, dalam hal ini Keuskupan Maumere, menggusur umatnya sendiri?
Peristiwa yang terjadi pada 22 Januari menampilkan wajah Gereja yang keluar dari bingkai pewartaan kasih yang dikhotbahkan dari mimbar-mimbar gereja.
Gereja datang membawa alat berat dengan diksi ‘pembersihan’ dalam bahasa Romo Yan Faroka, Direktur Pelaksana PT Krisrama.
Terlepas dari pilihan diksi yang memperhalus itu, faktanya rumah-rumah dan tanaman warga dihancurkan.
Saya membayangkan penggusuran ini seperti sebuah proses ketika Yesus ditangkap di Taman Getzemani, sebagaimana ditulis dalam Alkitab. Ada momen di mana orang-orang datang membawa pedang dan pentung, dibarengi dengan ciuman paling menyakitkan.
Ciuman ini menghancurkan hati mereka yang tergusur, umat Allah, masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai, umat Keuskupan Maumere.
Menurut saya, “pembersihan” ini seharusnya bukan pilihan terakhir yang ditempuh oleh Gereja.
Dengan panggilan dasarnya mewujudkan Kerajaan Allah di bumi, Gereja mesti menempuh cara berbeda: seperti Yesus yang berjalan ke Emaus bersama Kleopas, mendengar kesedihan kedua murid itu, lalu mencari jalan keluar terbaik.
Jalan keluar yang sebaiknya ditempuh Gereja bukan datang membawa pedang, pentung, dan alat-alat berat, melainkan datang dengan pendekatan profetik kenabian itu.
Pendekatan itu bisa berupa dialog yang ramah, karena dalam konteks menggereja, umat Allah biasanya selalu kepala batu, keras, dan mudah diprovokasi. Namun, penting diakui juga bahwa mereka tak punya apa-apa, berbeda dengan Gereja yang punya kuasa.
Kalau mereka salah, datang baik-baik untuk memberi ajaran moral, yang mesti ramah dengan kondisi mereka.
Tak hanya itu, cara Gereja harus berseberangan dengan kerja-kerja korporasi, kaum kapitalis, dan mereka yang berupaya melakukan penjajahan baru.
Gereja harus berdiri bersama umat. Gereja mesti memperhatikan yang miskin dan menderita.
Bukankah ini tujuan Gereja hadir di dunia?
Intisari ajaran Paus Fransiskus dalam Laudato Si dan Amoris Laetitia sebagaimana ditulis Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF [2016:15-16] berbicara tentang ketimpangan global.
Pada nomor 48 Laudato Si berbunyi: “Kerusakan lingkungan dan kemerosotan sosial terutama merugikan mereka yang paling lemah di bumi, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya.”
Sementara nomor 49 berbunyi: “Saya melihat bahwa sering tidak ada kesadaran jelas tentang masalah-masalah yang secara khusus merugikan mereka yang terkucilkan.”
Jelas, Paus Fransiskus memiliki sikap tegas tentang persoalan global dewasa ini. Mengapa Gereja harus meninggalkan mereka yang tak memiliki kemampuan untuk menghadapi kekuatan besar?
Di sini, Gereja belum memiliki kesadaran jelas tentang masalah-masalah yang secara khusus merugikan mereka yang terkucilkan itu.
Jebakan Neokolonialisme
Menyaksikan aksi penggusuran ini, saya masuk kepada unsur penjajahan baru yang disebut neokolonialisme. Neokolonialisme berbeda dengan kolonialisme oleh bangsa Eropa karena tampak bersih dan anti perang. Umumnya, neokolonialisme memakai ekonomi kapitalis untuk menundukkan elit bangsa yang lemah nasionalismenya, lalu mengontrolnya [Miftakhuddin, 2019:115].
Lebih jauh Miftakhuddin menulis, sejak abad 20, penaklukan oleh negara bermaksud menguasai aset produktif dan sumber daya alam. Mereka tidak ada kepentingan menjajah dengan mengirim tentara, tapi mereka membidik wilayah potensial.
Karena Gereja sudah mendatangi umatnya dengan alat-alat berat, maka Gereja sedang terjebak dalam penjajahan baru atas anak kandungnya sendiri.
Gereja sudah berubah wajah dari menderita menjadi wajah yang tersenyum ranum melihat mereka yang sudah membangun posko darurat di Nangahale. Mereka hanya memiliki palungan, tempat meletakkan kepala di tengah Tahun Yubileum 2025 yang seharusnya penuh harapan.
Kita sebagai anggota Gereja, mari melihat kembali ke belakang. Awal mula sebelum Belanda datang, leluhur Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai sudah ada dan tinggal lebih lama.
Mereka bertahan hidup dan berpikir apa yang bisa dimakan hari ini. Mereka juga membangun kolonisasi, tapi mereka berjuang untuk mencari hasil bumi, tanpa menjajah karena mereka tak memiliki pedang dan pentung.
Dengan kondisi hari-hari ini di Nangahale, Gereja sedang berada dalam kondisi matinya hati nurani dan hilangnya rasa empati dan simpati. Kalau Gereja melakukan pendekatan humanis, maka tak ada namanya penggusuran itu.
Benar bahwa dalam pelbagai diskursus, pembelaan terhadap aksi PT Krisrama adalah karena perusahaan itu sudah mengantongi Hak Guna Usaha.
Namun, jangan lupa, warga adat dengan basis historis tanah itu, juga memiliki argumentasi yang kuat, apalagi hukum tak tertulis atau hukum adat juga berlaku di Indonesia.
Eksistensi masyarakat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai yang masih keras kepala memperjuangkan hak-hak mereka adalah karena mereka mengandalkan logika sederhana: “Dulu sekali, nenek moyang kami berburu dan mengumpulkan makanan di wilayah itu!” Atau seperti Katarina Ulin mengatakan: “Saya tidak mau keluar, ini saya punya rumah. Bangun ini rumah kami cari uang setengah mati,” seperti dilansir Ekorantt.com.
Pada bagian akhir tulisan ini, saya menawarkan beberapa hal.
Pertama, Gereja harus menanggalkan jubah kekerasan dan hadir untuk mereka yang menderita.
Kedua, jika umat keras kepala, Gereja tidak boleh datang bawa alat-alat berat.
Ketiga, perseroan milik Keuskupan Maumere mesti memikirkan ganti rugi bangunan warga.
Keempat, Gereja adalah kita sendiri sebagai umat Allah yang masih mengedepankan hukum cinta kasih.
Jadi, mari menolak segala macam tindakan represif dan upaya melanggengkan praktik penjajahan baru.
Eto Kwuta adalah umat Allah tinggal di Ende
Editor: Herry Kabut