Negara, Resistensi, dan Logika Ekonomi dalam Transisi Energi

Tanpa keberlanjutan sosial, transisi energi tidak akan lebih dari sebuah upaya yang timpang dan tidak adil, yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak; baik negara, masyarakat, maupun lingkungan

Oleh: Martin Dennise Silaban

Di tengah gelombang perubahan global menuju energi bersih, negara tampil sebagai aktor dominan yang menentukan arah kebijakan dan mengendalikan proyek-proyek transisi energi berskala besar.

Di balik retorika tentang keberlanjutan dan energi berkelanjutan, terselip realitas lain yang kerap diabaikan yaitu perlawanan masyarakat yang justru menjadi barometer dampak kebijakan tersebut di tingkat akar rumput.

Namun, alih-alih merespons dengan pendekatan berbasis keadilan sosial, negara lebih sering mengedepankan kalkulasi rasional berbasis cost-benefit/biaya dan manfaat. Dalam logika ini, keberatan rakyat tidak diperlakukan sebagai suara yang perlu didengar, melainkan sebagai variabel yang harus dikelola demi kelangsungan proyek.

Pembangunan proyek energi, terutama yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam, membawa konsekuensi besar bagi masyarakat setempat. Rakyat yang terdampak langsung seringkali melihat proyek ini sebagai ancaman bagi ruang hidup dan keberlanjutan ekonomi mereka.

Sementara itu, negara memandang transisi energi sebagai investasi strategis bagi masa depan. Maka, benturan kepentingan antara aktor negara dan masyarakat menjadi tidak terelakkan.

Rasionalisasi Tindakan Negara

Dalam menghadapi perlawanan, negara tidak bertindak secara impulsif, melainkan menerapkan strategi berbasis kalkulasi yang cermat. Salah satu faktor kunci dalam perhitungan ini adalah sejauh mana negara harus menanggung biaya akibat resistensi rakyat.  Biaya tersebut terbagi ke dalam tiga kategori utama: biaya akomodasi, biaya gangguan, dan biaya campuran.

Setiap keputusan, baik mengakomodasi tuntutan maupun mengabaikannya, dihitung berdasarkan dampaknya terhadap stabilitas politik dan ekonomi. Dengan logika cost-benefit, negara menimbang mana yang lebih efisien, meredam perlawanan melalui konsesi atau menekan dengan pendekatan koersif.

Biaya akomodasi muncul ketika negara harus menyesuaikan kebijakan atau bahkan mengubah arah pembangunan sebagai respons terhadap tuntutan rakyat. Tuntutan yang mendorong perubahan struktural fundamental jelas memerlukan biaya lebih besar dibandingkan tuntutan yang sekadar menuntut perbaikan prosedural.

Selain itu, jika perlawanan berlangsung berulang kali atau disertai dengan eskalasi kekerasan, negara akan semakin berhitung, apakah memberikan konsesi merupakan pilihan strategis, atau justru represi lebih efektif untuk meredam gejolak.

Di sisi lain, biaya gangguan timbul dari dampak langsung yang dihasilkan oleh aksi perlawanan terhadap stabilitas ekonomi dan sosial. Jika aksi terjadi di lokasi strategis yang mengganggu aktivitas ekonomi atau berlangsung dalam jangka waktu lama, negara harus menghitung potensi kerugian yang lebih besar. Semakin besar skala protes, semakin besar pula tekanan terhadap negara untuk segera mengambil tindakan.

Sementara itu, biaya campuran merupakan kombinasi dari biaya akomodasi dan biaya gangguan, yang dapat meningkat atau menurun bergantung pada respons negara.

Dalam beberapa kasus, protes kecil dengan tuntutan tinggi bisa menciptakan tekanan yang lebih besar dibandingkan demonstrasi besar yang terorganisir dengan baik. Di titik inilah negara memutuskan apakah akan merespons dengan cara represif atau akomodatif.

Pilihan represif sering kali diambil ketika negara menilai bahwa menekan perlawanan lebih murah dan efektif dibandingkan mengakomodasi tuntutan. Logika ini didasarkan pada asumsi bahwa represi yang berhasil dapat memberikan efek jera dan mencegah munculnya gelombang perlawanan berikutnya.

Dengan demikian, rezim dapat tetap menjalankan agenda pembangunan tanpa perlu berkompromi dengan tuntutan komunitas lokal.

Namun, negara juga memahami bahwa represi bukanlah solusi yang selalu menguntungkan. Ketika biaya represi meningkat, baik dalam bentuk tekanan internasional, ketidakstabilan sosial yang berkepanjangan, maupun legitimasi politik yang menurun, maka opsi akomodasi mulai dipertimbangkan.

Negara akan mulai menghitung ulang apakah memenuhi tuntutan rakyat justru bisa memberikan manfaat lebih besar dibandingkan mempertahankan pendekatan koersif.

Selain itu, logika ekonomi menjadi variabel utama dalam menentukan respons negara terhadap perlawanan rakyat. Jika proyek pembangunan dinilai memberikan manfaat ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan konsesi terhadap masyarakat, maka peluang untuk kompromi menjadi kecil.

Namun, jika tekanan publik dan biaya politik lebih tinggi dibandingkan keuntungan proyek, negara cenderung akan mencari jalan tengah yang lebih moderat.

Pola ini menegaskan bahwa negara tidak sekadar merespons secara reaktif, tetapi menerapkan strategi rasional berbasis kalkulasi cost-benefit. Bagi masyarakat yang berjuang mempertahankan haknya dalam menghadapi proyek transisi energi, memahami logika negara menjadi kunci untuk merancang strategi perlawanan yang lebih taktis dan efektif.

Dari Koersi ke Negosiasi

Keberhasilan perlawanan rakyat tidak hanya diukur dari intensitas aksi, melainkan dari seberapa besar mereka mampu meningkatkan biaya sosial dan ekonomi yang ditanggung oleh negara.

Ketika gangguan dan ketidakstabilan yang ditimbulkan semakin besar, negara mulai dihadapkan pada pilihan; mempertahankan kebijakan koersif yang justru memperburuk keadaan atau membuka ruang bagi negosiasi yang lebih rasional.

Ironisnya, negara cenderung mendengar suara rakyat setelah gelombang perlawanan mencapai titik eskalasi yang sulit dibendung. Akibatnya, semakin lama negara mengabaikan tuntutan masyarakat, semakin besar pula ongkos sosial dan ekonomi yang harus ditanggung di masa depan.

Pelajaran yang harus dipetik dari pengalaman ini jelas: dialog dan partisipasi sejak awal jauh lebih menguntungkan daripada menunggu hingga situasi mencapai titik puncak.

Dalam konteks transisi energi bersih yang tengah digalakkan secara global, pendekatan yang inklusif dan berkeadilan sosial harus menjadi prioritas utama. Negara tidak boleh terjebak dalam hitungan ekonomis semata, tetapi harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan yang diambil.

Peralihan ke energi masa depan bukan sekadar soal investasi dan teknologi, tetapi juga soal menjamin keberlanjutan kehidupan masyarakat yang paling terdampak oleh perubahan ini. Kebijakan energi yang berkelanjutan tidak hanya harus ramah lingkungan, tetapi juga harus menghargai dan melibatkan masyarakat yang berada di garis depan perubahan.

Tanpa keberlanjutan sosial, transisi energi tidak akan lebih dari sebuah upaya yang timpang dan tidak adil, yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak; baik negara, masyarakat, maupun lingkungan. Negara tidak dapat lagi menunda dialog yang seharusnya sudah dimulai sejak awal. Waktu untuk mengabaikan suara rakyat telah habis.

 Keberlanjutan sosial bukanlah sekadar tambahan atau pelengkap dalam kebijakan energi, melainkan inti dari transisi yang adil dan inklusif. Kebijakan energi yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis hanya akan memperburuk ketimpangan dan memperbesar gesekan di masa depan.

Martin Dennise Silaban adalah Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya