Oleh: B. Mario Yosryandi Sara
Pergeseran relasi kekuasaan negara dan kehidupan agraria di Indonesia kian memperlihatkan keadaan membingungkan sekaligus mencemaskan.
Di tengah retorika ketahanan pangan nasional, militer diberikan karpet merah untuk mengkooptasi basis produksi pangan dan wilayah pedesaan dengan begitu masif.
Ini bukan sekadar pengaman logistik atau aktor darurat bencana, melainkan pelaksana pembangunan atas target kelancaran Program Strategis Nasional (PSN) melalui Operasi Bhakti dan megaproyek food estate yang dimulai sejak 2015 oleh eks Presiden Joko Widodo.
Sebagaimana catatan sejarah negara kita, sedari dekade 1970-an militer telah memainkan peran strategis pembangunan desa, dengan menunggangi program ABRI Masuk Desa (AMD).
Di bawah rezim Soeharto, ABRI ditempatkan sebagai instrumen pembangunan sekaligus alat doktrinasi. Membaca ulang kerangka dwifungsi ABRI, desa tidak sebatas jadi objek pembangunan, tetapi zona supremasi ideologis dan ekonomi-politik.
Pasca-reformasi, karut-marut kembalinya militer ke desa menandai transposisi logika kekuasaan, dari sekadar pengamanan menuju pelaksana kebijakan ekonomi.
Apa yang terjadi saat ini bukan semata pengulangan sejarah, tapi reproduksi nalar pembangunan (developmentalisme) otoritarian khas Orde Baru ke bentuk lebih terselubung.
Pada saat Indonesia terperangkap krisis pangan global dan ketegangan geopolitik semenjak satu dekade terakhir, militer diberikan mandat istimewa. Memboncengi program food estate dan penguatan kapasitas militer di sektor pertanian, kita menyaksikan bagaimana perangkat koersif yang semestinya menjaga kedaulatan negara berkamuflase layaknya aktor produksi.
Kata kunci kebijakan ini adalah “ketahanan pangan.” Namun, merujuk pada berbagai diskursus kebijakan publik, istilah itu sering dipakai layaknya eufemisme dari logika teknokratis yang menyingkirkan dimensi politik pangan. Ketahanan pangan didefinisikan secara sempit sebagai tersedianya bahan makanan dalam jumlah yang cukup.
Keadaan tersebut barang tentu menihilkan pertanyaan tentang siapa yang kemudian mengontrol tanah? Siapa yang menentukan produksi? Hal ini berbeda dengan konsep kedaulatan pangan yang memprioritaskan otoritas dan sumber daya masyarakat. Persis, di sini militer bisa dilihat tidak sebatas pelaksana teknis, tetapi menjadi “ikon” proyek depolitisasi agraria yang turut merenggut dimensi ekosistem sosial-politik di pedesaan.
Kiblat Militerisasi: dari AMD ke Food Estate
Untuk memahami keterlibatan militer sehubungan urusan politik pangan, kita dapat membaca gagasan Louis Althusser (1971). Menurutnya, negara mempertahankan kekuasaan melalui dua perangkat: repressive state apparatus (RSA) dan ideological state apparatus (ISA).
RSA meliputi institusi seperti militer dan polisi yang mempertahankan dominasi kelas melalui kekerasan (atau potensi kekerasan). Mengguritanya militer ke ladang food estate bisa diamati bak tentakel RSA dalam kehidupan ekonomi rakyat. Ini adalah bentuk intensifikasi peran negara, di mana terjadi proses akumulasi modal melalui kontrol langsung atas produksi pangan dan penguasaan lahan.
Pendekatan James Scott dalam bukunya “Seeing Like a State” (1998) juga relevan untuk menganalisis tren ini. Ia mengkritik kecenderungan negara menyederhanakan tatanan sosial yang kompleks agar mudah dikelola, yang kadangkala mengabaikan keanekaragaman ekologis. Mengacu pada pandangan Scott, proyek food estate merupakan bukti konkret dari penyederhanaan tersebut, yang mengasingkan sistem pengelolaan alam yang telah dijalankan oleh masyarakat lokal selama berabad-abad.
Kita bisa merujuk pada sejumlah contoh praktik penyederhanaan tersebut. Jalannya adalah dengan pelibatan militer dalam proyek-proyek pangan, yang ternyata alih-alih mengatasi masalah, malah mendatangkan sejumlah soal baru.
Pembukaan kawasan food estate di Kalimantan Tengah merupakan contoh kenyataan pahit ketika militer diintegrasi ke proyek pangan berskala besar. Kementerian Pertahanan yang kala itu menterinya adalah Prabowo Subianto mencetak perkebunan singkong (600 hektare) dan area sawah (17.000 hektare) di atas eks-proyek lahan gambut sejuta hektar yang gagal di masa Orba.
Dari 30 titik yang ditelusuri dan bersinggungan dengan kawasan gambut lindung, ditemukan 15 titik lahan food estate seluas 4.159,62 hektare yang ditelantarkan. Sementara itu masyarakat setempat masih dilarang untuk mencari sumber makanan dan kayu di kawasan hutan sekitar lokasi food estate.
Terdapat pula temuan Pantau Gambut (2023), yang memperlihatkan begitu banyak tanaman singkong di lokasi-lokasi itu tidak tumbuh optimal. Ada yang layu, kerdil, busuk dan tak berumbi. Sementara tujuh ekskavator yang digunakan untuk pembukaan lahan dilaporkan mangkrak dan tak berfungsi.
Kegagalan demikian ikut diperparah oleh rentetan konflik struktural; tanah ulayat masyarakat adat tidak diakui dan proses konsultasi publik hanya bersifat formalitas.
Di Desa Siria-ria, Kabupaten Humbang Hasundutan, realisasi swasembada pangan seluas 215 hektare dari target 33.492 hektare di Sumatera Utara juga digadang-gadang sebagai pengembangan hortikultura, khususnya bawang merah dan kentang. Ironisnya, merujuk pada investigasi Tempo, seyogyanya lahan yang dikonversi merupakan bagian dari kawasan hutan produksi terbatas yang telah dikelola secara turun-temurun oleh 174 warga lokal dan sudah bersertifikat hak milik.
Alasannya memberdayakan petani, yang terjadi petani dilaporkan kehilangan akses produksi atas lahan garapan dan diposisikan layaknya buruh kontrak dengan logika pertanian industrial. Pendekatan top-down dan pelibatan militer untuk mengawal proyek itu memperkuat praktik eksklusi sosial secara sistematik.
Berlanjut ke Papua, untuk kepentingan proyek food estate, hutan seluas 563.566 dari 2,29 juta hektare di Merauke, Papua Selatan sudah dialihfungsikan untuk perkebunan tebu. Ekspansi itu mendatangkan trauma berlapis bagi masyarakat setempat. Selain khawatir ancaman perampasan ruang hidup, masyarakat merasa seperti terkena “teror” atas kehadiran pasukan TNI.
Proyek di Merauke ini penting disorot karena bukan merupakan area baru agenda food estate. Wilayah itu telah menjadi target beberapa presiden, kendati proyeknya selalu gagal.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah meluncurkan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di wilayah itu. Proyek ini tidak saja gagal, tetapi mengundang kontroversi dan menimbulkan segudang problematik sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi masyarakat Papua.
Jauh sebelumnya, Soeharto juga melancarkan proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar di wilayah itu pada 1995 untuk mencetak sawah-sawah baru. Food estate corak Soeharto dengan anggaran 2,1 triliun ini gagal total dengan alasan salah pilih lokasi.
Padahal, ada perilaku korupsi yang tumbuh subur, sementara banyak pihak sudah sejak awal mengingatkan bahwa ambisi ini tidak layak dijalankan karena berpotensi besar memicu masalah sosial dan lingkungan. Akhirnya, Presiden B.J. Habibie membatalkan PLG melalui Keputusan Presiden No. 80/1999 pada Juli 1999.
Pada masa kekuasaan Joko Widodo, MIFEE dilanjutkan dengan kemasan baru bernama food estate dan areanya diperluas tidak hanya di Papua. Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatera dan Jawa turut menjadi target swasembada pangan yang menempatkan korporasi dan tentara sebagai eksekutor proyek di lapangan.
Tercatat pula selama pemerintahan Jokowi, sekitar 600 triliun digelontorkan untuk program food estate, khususnya yang dikelola Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian.
Tahun ini pemerintah Prabowo Subianto sudah menganggarkan sekitar 124 triliun untuk kelancaran program swasembada pangan. Pola pelaksanaannya hampir serupa dengan pendahulunya, dengan lagi-lagi memberi tempat utama pada pelibatan militer.
Pada 21 Januari 2025, Prabowo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Regulasi ini kembali melibatkan TNI melalui pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan.
Berlanjut, pada 3 Februari Prabowo menghadiri Rapat Pimpinan TNI-AD yang meminta TNI aktif mengawal program ketahanan pangan. Dua hari berselang, Kepala Staf TNI-AD mengumumkan penambahan jumlah personel yang ditugaskan di 100 Batalyon Teritorial Pembangunan demi mendukung program swasembada pangan.
Kamuflase Ketahanan Nasional
Yang paling krusial dari pelbagai gambaran di atas, yakni seluruh proyek dikamuflase dengan narasi “ketahanan nasional.”
Dari retorika ini, keterlibatan militer diposisikan sebagai bentuk pengabdian pada bangsa dan negara, sementara praktik penggusuran, pengabaian hak masyarakat adat, dan kerusakan lingkungan disembunyikan sedemikian rupa.
Dalam kacamata Althusser (1971), ini merupakan bentuk hegemoni di mana RSA (militer) dan ISA (narasi nasionalisme dan ketahanan pangan) bekerja secara simultan untuk melebarkan siklus kekuasaan negara dan kelas dominan.
Padahal, sejatinya food estate bukan solusi atas krisis pangan, melainkan instrumen baru dari praktik sirkulasi modal melalui militerisasi dan teknokratisasi sektor agraria.
Lebih dari sekadar proyek pangan, food estate sejak era Jokowi merupakan wujud baru dari cultuurstelsel—sistem tanam paksa bergaya modern. Ia ditandai oleh kecenderungan rakus lahan (land grabbing) demi kepentingan investasi dan militer.
Dampaknya sangat nyata: (1) petani makin termarjinalkan dan mengalami proletarisasi; (2) konflik agraria akibat perampasan tanah kian meluas; (3) deforestasi meningkat tajam, memperparah krisis ekologis; (4) terjadi eksploitasi sumber daya hutan melalui pembalakan liar yang dilegalkan secara terselubung.
Implikasi keterlibatan militer dalam mega-proyek food estate tak semata persoalan eksekusi kebijakan Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Ia merupakan gejala dari krisis demokrasi agraria yang lebih luas.
Ketika militer diberi mandat untuk menentukan aras produksi, maka prinsip pengelolaan berbasis komunitas, lokalitas dan partisipasi akan dikorbankan. Hasilnya, segudang problematika meledak di lokasi-lokasi food estate sedari perencanaan sampai pelaksanaannya.
Kemudian, setiap tahun pemerintah terus “menyanyikan lagu lama” tentang krisis pangan. Impor pangan dikemas seperti halnya bisnis di lingkaran pejabat, pengusaha dan mafia pangan.
Artinya, food estate sejak dikandung badan hingga peluncurannya di tingkat tapak selalu gagal, terkecuali sukses memanen masalah dan pemborosan anggaran negara.
Karena pangan dianggap sebagai aset strategis untuk stabilitas pertahanan nasional, tak dapat dipungkiri, negara berupaya mengakuisisinya melalui dua skema.
Yang pertama, skema non-militer; lahan yang berasal dari petani atau kelompok tani akan “dihasut” untuk bekerja sama dengan investor.
Kedua, skema militer; lahan yang diperoleh melalui alih fungsi kawasan hutan, akan dikelola oleh Badan Cadangan Logistik Strategis (BCLS) bersama Kementerian Pertahanan dan TNI-AD.
Sayangnya, yang dikhawatirkan yakni eksodus peran militer dapat “memporakporanda” struktur agraria dan tatanan sosial kehidupan masyarakat desa.
Risikonya, proyek-proyek negara yang akan atau sudah diokupasi oleh militer berpotensi memperluas kesenjangan kekuasaan antara negara dan rakyat.
Ia menciptakan struktur relasi yang timpang; tanah dikuasai negara, pekerjaan dikerjakan rakyat dan keuntungan dikapitalisasi oleh korporasi.
Perkuat Posisi Petani, Hargai Masyarakat Adat
Tak dapat dipungkiri bahwa situasi sekarang menandai militerisasi ruang produksi sebagai strategi negara untuk mengamankan agenda akumulasi modal. Pada titik inilah, petani tidak lagi diposisikan sebagai subjek pembangunan, melainkan sebagai objek teknokrasi, birokrasi dan kekuatan koersif negara. Proyek pangan semacam ini memindahkan kendali atas tanah dan produksi dari tangan masyarakat ke tangan aktor negara dan korporasi.
Karena itu, apa yang kita saksikan sekarang tidak sekadar bentuk regulasi swasembada pangan, namun kebangkitan logika pembangunan otoritarian yang menjadikan desa sebagai arena sirkulasi kapital.
Jika negara serius ingin mewujudkan kedaulatan pangan, langkah yang mesti dijalankan yaitu memperkuat posisi petani, menghormati hak masyarakat adat, serta membatasi intervensi aktor bersenjata dalam kehidupan sipil.
Dari sisi pengetahuan dan pengalaman, justru Kementerian Pertanian jauh lebih punya itu dibanding Kementerian Pertahanan apalagi TNI.
Partisipasi militer sifatnya mesti perbantuan, bukan aktor kunci yang mengendalikan suprastruktur produksi sektor pertanian.
Pemerintah pun patut memberikan rasa aman bagi masyarakat sehingga tidak lagi menciptakan kegelisahan maupun trauma.
Tanpa mekanisme pengawasan yang transparan dan batasan yang tegas, intervensi militer atas swasembada pangan berpotensi lebih merugikan daripada menguntungkan, mengancam prinsip demokrasi agraria dan kesejahteraan rakyat yang seharusnya diprioritaskan.
B. Mario Yosryandi Sara adalah Mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional. Ia menaruh minat pada kajian isu agraria, ekstraktivisme dan ekonomi politik pembangunan
Editor: Ryan Dagur