Floresa.co – Langkah Pemerintah Kabupaten Manggarai, NTT yang melaporkan warga Poco Leok terkait kerusakan pagar saat aksi unjuk rasa menolak proyek geotermal, menurut aktivis, merupakan upaya kriminalisasi dan intimidasi untuk melemahkan perjuangan warga menentang perusakan kampung halaman mereka.
Polres Manggarai telah menerbitkan surat panggilan untuk klarifikasi pada 5 Maret kepada Kristianus ‘Tino’ Jaret dan Maximilianus ‘Milin’ Neter, dua pemuda yang merupakan koordinator lapangan aksi unjuk rasa.
Surat undangan tersebut diantar pada 6 Maret oleh Almodad Ano dan Theodorus Angkat, masing-masing Bhabinkamtibmas Desa Mocok dan Desa Lungar-dua dari tiga desa di Poco Leok.
Dalam surat itu, yang ditandatangani Kepala Satuan Reskrim Polres Manggarai Robbyanli Dewa Putra, Tino dan Milin diundang dalam rangka penyelidikan “peristiwa pidana pengrusakan pagar besi dan gerbang utama Kantor Bupati Manggarai.”
Jadwal klarifikasi di Ruang Unit Tipidun Satuan Reskrim Polres Manggarai itu pada 7 Maret pukul 10.00 Wita. Floresa belum mendapat informasi apakah keduanya jadi datang ke Polres.
Undangan klarifikasi itu merespons langkah Kepala Bagian Umum Sekretariat Daerah, Fransiskus Makarius Beka melapor pengunjuk rasa yang dituding merusak pagar besi dan gerbang utama kantor bupati setelah audiensi dengan Bupati Herybertus G. L. Nabit pada 3 Maret.
Hanya beberapa saat setelah aksi unjuk rasa tersebut, Nabit langsung memerintahkan Sekretaris Daerah, Fansy Aldus Jahang untuk melaporkan pengrusakan pagar itu.
“Kalau tidak dilaporkan, nanti salah lagi, karena ada fasilitas yang rusak tapi tidak mengambil langkah. Kan salah lagi,” kata Nabit, sebagaimana ditulis Antarnews.net.
Saat dikonfirmasi Floresa pada 6 Maret, Kepala Sub Bagian Humas Polres Manggarai, I Made Budiarsa mbenarkan bahwa laporan tersebut diajukan oleh Fransiskus Makarius Beka.
Floresa juga menghubungi Nabit dan Jahang pada 7 Maret, menanyakan alasan pelaporan dan perintah Nabit kepada Jahang untuk mengambil langkah itu setelah aksi unjuk rasa.
Sementara Nabit tak merespons, Jahang membenarkan adanya “disposisi” bupati kepadanya, yang dilanjutkannya dengan operasionalisasi “melalui pengguna barang yang bertanggung jawab terhadap aset kantor bupati Manggarai”, merujuk pada Kepala Bagian Umum, Fransiskus Makarius Beka.
Dandhy Dwi Laksono, aktivis dan produser sejumlah film dokumenter terkait masyarakat adat menyatakan, laporan Nabit yang menuding warga melakukan pengrusakan pagar menunjukkan pemerintah yang tidak hanya merespons serius suatu hal yang sebenarnya sepele, tetapi juga melakukan intimidasi atau menakut-nakuti warga.
“Peristiwa jatuhnya pagar itu seharusnya menjadi momen penting untuk membuat bupati lebih mudah membayangkan kerusakan rumah, halaman dan ruang hidup warga Poco Leok,” katanya kepada Floresa.
“Mestinya dengan kejadian itu, rasa empati dia terhadap warganya sendiri semakin besar,” tambahnya.
Jika Nabit tidak menerima kenyataan rusaknya properti di kantor bupati, lanjut Dandhy, “apalagi kampung orang, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, dan harapan serta ruang hidup mereka yang dirusak” akibat proyek geotermal.
Hal senada disampaikan Dimas Bagus Arya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS.
Ia menyebut pelaporan terhadap pengunjuk rasa “jelas adalah upaya pelemahan bentuk-bentuk ekspresi warga yang sedang menuntut kejelasan situasi yang terjadi di Poco Leok.”
“Hal ini berpotensi membuat upaya pihak yang berkepentingan dalam Proyek Strategis Nasional akan semakin mudah masuk ke lingkungan pemukiman atau tanah warga,” kata Dimas.
Unjuk rasa, kata Dimas, adalah ekspresi yang dilindungi oleh Undang-undang Dasar dan Undang-Undang Kebebasan Berekspresi dan Berkumpul, termasuk Undang-undang Hak Asasi Manusia dan norma terkait penyampaian pendapat oleh masyarakat.
“Warga Poco Leok sedang berupaya menyampaikan pendapat karena ada kekecewaan terkait aspirasi yang tidak diterima oleh pengambil kebijakan di level pemerintah daerah,” katanya.
Alih-alih melakukan kriminalisasi, kata Dimas, pemerintah daerah seharusnya mengupayakan pemecahan masalah yang substansial, yaitu ketidakjelasan situasi warga Poco Leok akibat proyek geotermal.
“Kekecewaan masyarakat itu tumpah setelah rentetan peristiwa yang dialami warga dalam waktu yang lama dan tanpa kepastian, sampai ada ekspresi yang dianggap oleh pemerintah sebagai sesuatu yang merusak,” katanya.
Sementara itu Zainal Arifin dari Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI] menduga pemerintah daerah dan Bupati Nabit sudah merencanakan kriminalisasi terhadap warga Poco Leok agar mereka takut dan tidak lagi melakukan protes.
“Ini bagian dari pembungkaman kebebasan berekspresi,” katanya kepada Floresa.
Aksi warga, kata dia, adalah bagian dari respons atas sikap Nabit, hal yang menurutnya berbeda dari vandalisme yang melakukan pengrusakan secara terencana.
“Bupati seharusnya tidak melaporkan masyarakat yang dituduh merusak fasilitas yang dibiayai oleh pajak mereka juga,” katanya.
Secara substansial, kata Zainal, tindak kekerasan yang layak diproses hukum adalah “yang dilakukan oleh perusahaan dan negara yang merangsek masuk ke lahan-lahan pertanian masyarakat”, karena itu adalah pengrusakan terhadap properti pribadi, bukan properti umum yang dibiayai pajak masyarakat.
Dalam aksi pada 3 Maret, di mana warga juga mendatangi Kantor DPRD, mereka menuntut pencabutan Surat Keputusan Penetapan Lokasi proyek geotermal Poco Leok yang diteken Nabit pada Desember 2022.
Nabit menolak tuntutan itu, menyebut proyek tersebut dibutuhkan untuk menyediakan listrik, termasuk demi kebutuhan investasi dan industri pariwisata di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Nabit juga meminta warga Poco Leok memahami posisinya sebagai bupati, beralasan pemimpin daerah yang tidak meloloskan Proyek Strategis Nasional dapat diberhentikan.
Selain tuntutan pencabutan SK, massa aksi juga mendesak penghentian seluruh aktivitas terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] itu, termasuk pengerahan aparat keamanan untuk mengawal perusahaan PT PLN serta pengadaan lahan oleh Badan Pertanahan.

Sorotan terhadap Gerak Cepat Polisi
Polres Manggarai mengambil langkah cepat merespons laporan bernomor LP/B/77/III/2025/SPKT/RES MANGGARAI/POLDA NTT itu.
Pada hari yang sama, 3 Maret 2025, mereka melakukan penyelidikan, termasuk memasang garis polisi atau police line di lokasi kejadian.
Dandhy Dwi Laksono menyoroti langkah cepat Polres Manggarai.
Hal itu, katanya, karena menyangkut “masyarakat yang lebih lemah” dan “urusan yang tidak menguntungkan polisi.”
Jika polisi bertindak adil, kata Dandhy, seharusnya “presiden yang menetapkan Proyek Strategis Nasional, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktur PLN dan bupati itu sendiri dipanggil.”
“Saya tidak tahu berapa jumlah koruptor, pelaku judi online atau gembong narkoba yang tahun ini sudah dikandangi Polres Manggarai. Tapi untuk urusan pagar, gerak cepat sekali,” katanya.
“Bayangkan kalau warga melaporkan kerusakan kampungnya, berapa kilometer pita police line yang dibutuhkan untuk menutup Poco Leok, Wae Sano, Mataloko dan lain-lain,” tambahnya, menyinggung beberapa lokasi proyek geotermal lain di Flores yang memicu polemik.
Sementara menurut Dimas Bagus Arya, respons cepat polisi menunjukkan perbedaan cara penanganan perkara oleh institusi itu.
Ia mempertanyakan langkah polisi yang sangat cepat memproses laporan pemerintah, tetapi abai dengan laporan-laporan yang disampaikan oleh warga biasa.
“Karena ini mengakomodasi kepentingan dari pihak yang punya tujuan tertentu, apalagi ini otoritas pemerintah daerah. Ada diskriminasi pelayanan,” katanya.
Zainal Arifin berkata, polisi yang merespons cepat pelaporan Nabit adalah bukti lembaga tersebut dikendalikan oleh bupati.
“Seharusnya polisi independen, tidak boleh diintervensi oleh kekuatan apapun, termasuk pemerintahan eksekutif.”
Polisi, kata dia, harus bisa melihat kasus Poco Leok lebih jernih.
“Respons polisi ini bisa dilihat sebagai by attention, justru karena ada intervensi. Atas nama penegakan hukum mengkriminalisasi warga yang berjuang untuk hak atas tanahnya,” kata Zainal.

Upaya Berulang Mendesak Penghentian Proyek
Unjuk rasa Koalisi Pemuda Poco Leok adalah satu dari sekian banyak upaya warga menolak proyek geotermal pengembangan dari PLTP Ulumbu, sekitar tiga kilometer di sebelah barat.
Proyek geotermal Poco Leok ditargetkan menghasilkan energi listrik 2 x 20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang sudah beroperasi di Ulumbu sejak 2012.
Unjuk rasa juga dilakukan ratusan warga dari sepuluh kampung adat di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai pada 9 Agustus 2023, di mana mereka tidak bertemu dengan Nabit yang dikabarkan sedang bertugas keluar daerah.
Selain unjuk rasa di Ruteng, berbagai upaya juga telah dilakukan oleh warga, termasuk mengadang Nabit saat mengunjungi wilayah itu pada Februari 2023, dua bulan setelah dia meneken Surat Keputusan Penetapan Lokasi.
Upaya penolakan warga juga telah direspons oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] sebagai pendana proyek, yang mengirim tim independen untuk memantau pelaksanaan proyek itu.
Tim tersebut kemudian menyatakan proyek itu melanggar standar sosial dan ekologi internasional, dan merekomendasikan pemerintah serta PT PLN mengulang seluruh proses proyek sejak awal.
Editor: Ryan Dagur