Nangahale dan Cerita Kaum yang Ditindas di Bumi Flores: Antara Gereja, Tanah, dan Masyarakat Adat

Eksekusi lahan yang dilakukan oleh PT Kristus Raja Maumere hanya salah satu dari manifestasi kelanggengan logika-praktek modern/kolonial di Flores pada khususnya, dan di Indonesia atau bahkan di dunia pada umumnya

Oleh: Tamara Soukotta 

Pada 23 Januari 2025, saya menerima kiriman video singkat melalui pesan Whatsapp dari Venan Haryanto, peneliti asal Manggarai yang saat ini sedang menyelesaikan penelitian doktoralnya di Bonn, Jerman. 

Video berdurasi 1 menit 9 detik tersebut mendokumentasikan perlawanan warga di Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka terhadap penggusuran/eksekusi lahan yang dipaksakan oleh PT Kristus Raja Maumere, korporasi milik Keuskupan Maumere. 

Tangisan pilu dan jeritan kaum ibu, mama-mama yang berdiri di garis depan memasang badan berhadapan dengan ekskavator/mesin pengeruk dari PT Kristus Raja Maumere sungguh mengiris hati. 

Pesan singkat Venan yang menyertai video tersebut sarat muatan rasa sakit dan kekecewaan yang mendalam terhadap apa yang terjadi: “Gereja Flores tidak bisa diharapkan lagi. Ini peristiwa kemarin di Maumere, Kak. Warga yang digusur oleh perusahaan milik Gereja. Sedih”.

Nangahale dan Penggusuran: Cerita Kekerasan yang Berulang dan Ketertindasan yang Terstruktur

Saya bisa merasakan bahwa kalimat pertama Venan adalah ungkapan kekecewaan yang lahir dari pengalaman historis masyarakat adat di  Flores berhadapan dengan kekerasan atas nama pembangunan dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, dan posisi serta peran institusi Gereja Katolik yang seringkali terasa jauh dari keberpihakan terhadap masyarakat kecil.

Penggusuran/eksekusi lahan yang dilakukan oleh PT Kristus Raja Maumere hanyalah salah satu dari sekian banyak cerita soal pengalaman kelompok masyarakat adat berhadapan dengan kekerasan yang berulang dan ketertindasan yang terstruktur, baik di Indonesia, bahkan di dunia secara umum, dan dalam hal ini terkhusus di Flores.

Alat berat sedang merobohkan salah satu rumah warga di Kabypaten Sikka, NTT pada 22 Januari 2025. (Dokumentasi Ricky Fernandez)

Cerita pengalaman ketertindasan ini juga tumpang tindih dengan cerita pengalaman masyarakat adat menyangkut posisi dan keberpihakan Gereja Katolik, dalam hal ini di Flores, ketika dihadapkan pada pilihan antara masyarakat adat di satu pihak dan kekuasaan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi pembangunanisme-nya yang bergandengan dengan investasi (multi)nasional di pihak lain.

Kendati secara logika dan prinsip, hal ini seharusnya soal yang sederhana saja – Gereja, termasuk Gereja Katolik di Flores, sebagaimana ajaran Kristus, [haruslah] memihak pada mereka yang terkecil dan tertindas – dalam kenyataannya tidak [selalu] demikian. Sejarah pergumulan kelompok-kelompok masyarakat adat di Flores justru menunjukkan kenyataan sebaliknya. Jerit tangis masyarakat berhadapan dengan kekerasan berbagai proyek pembangunan dan investasinya kerap tenggelam dalam kesunyian dan diamnya Gereja Katolik. 

Ketika didesak untuk mengambil posisi jelas soal keberpihakan antara masyarakat adat dan program pemerintah/investor, sejarah mencatat posisi Gereja Katolik Flores [seringkali] secara formal memihak program pembangunan pemerintah dan/atau investasi dari pemilik modal besar.

Sebutlah soal perjuangan melawan proyek geotermal di Wae Sano, atau perjuangan-perjuangan berpuluh tahun melawan berbagai proyek pertambangan yang terus merangsek masuk ke tanah-tanah masyarakat adat/tani di Flores. Bagi yang sudah hidup cukup lama di Flores, mungkin juga masih ingat soal perjuangan masyarakat Colol kurang lebih dua puluh tahun yang lalu yang sebagiannya tewas ditembak polisi karena menentang pembabatan kopi di lahan yang konflik dengan pemerintah.

Semua pengalaman historis ini menjadi keresahan yang menumpuk, baik di kalangan masyarakat, maupun di kalangan mereka yang bekerja mendampingi masyarakat dalam perjuangan-perlawanannya – termasuk dari pihak Gereja sendiri. Tumpukan keresahan ini semakin lama terasa semakin menyesakkan.

Bagi saya sendiri, sebagai orang lingkaran [ter]luar yang bersentuhan dengan perjuangan-perjuangan terkait pembangunan di Flores – terutama di Manggarai – selama kurang lebih dua dekade terakhir, ada beberapa hal yang terasa mengganjal soal eksekusi lahan di desa Nangahale dan diskusi-diskusi seputar persoalan eksekusi lahan ini.

Dalam tulisan ini saya mencoba menguraikan beberapa poin refleksi saya terkait kasus Nangahale ini dalam konteks yang lebih luas, soal Gereja Katolik dan perannya dalam [kekerasan] pembangunan di Flores.

Legal Tidak Selalu Berarti Etis

Kasus eksekusi lahan di Nangahale yang dilakukan oleh PT Kristus Raja Maumere kemudian memicu perdebatan soal posisi benar/salah antara pihak Gereja dan masyarakat Nangahale yang menolak eksekusi lahan. 

Sayang sekali, di kalangan kaum elit Flores, mereka yang menempatkan dirinya sebagai intelektual Flores, kaum terdidik, banyak juga yang [masih] terperangkap dalam kerangka legal/tidak legal menyikapi kekerasan yang dialami masyarakat Nangahale. 

Ini berimbas pada posisi keberpihakan mereka yang kemudian mendukung dan/atau membenarkan kekerasan yang dilakukan oleh pihak Gereja, dalam hal ini diwakili oleh PT Kristus Raja Maumere di satu sisi, dan di sisi lain menyalahkan pihak masyarakat Nangahale yang menolak eksekusi lahan.

Argumen yang digunakan adalah bahwa posisi Gereja/PT Kristus Raja Maumere benar secara hukum. Gereja/PT Kristus Raja Maumere memiliki hak guna lahan, dan oleh karenanya berhak menggunakan lahan tersebut dan menggusur, menyingkirkan mereka yang menempati lahan tersebut, tanpa punya hak secara hukum.

Izinkan saya menyampaikan tiga catatan penting soal argumen ini.

Pertama, bahwa legal, sah secara hukum, tidak berarti etis atau secara moral bisa diterima/dibenarkan. Penjajahan dan perbudakan oleh bangsa-bangsa Eropa juga legal, politik Apartheid di Afrika Selatan juga legal. Tidak berarti penjajahan, perbudakan dan politik Apartheid itu etis dan secara moral bisa dibenarkan. Demikian juga soal PT Kristus Raja Maumere dan implementasi hak guna lahannya di Nangahale.

Kedua, soal hak guna lahan oleh Gereja/PT Kristus Raja Maumere dan realitas pengalaman kemiskinan masyarakat Nangahale yang adalah umat Katolik, bagian dari Gereja Katolik, dalam hal ini Keuskupan Maumere sendiri. Ketika Gereja memiliki hak guna lahan dan umatnya membutuhkan lahan untuk bertahan hidup, apakah tidak mungkin Gereja memutuskan untuk menggunakan hak guna lahannya demi kepentingan hidup umatnya? Siapa Gereja dan siapa masyarakat Nangahale? Apakah ketika masyarakat Nangahale mengolah lahan yang hak gunanya dimiliki Gereja/Keuskupan Maumere untuk kebutuhan hidup mereka maka lahan itu sedang tidak ‘digunakan’ oleh Gereja?

Ketiga, soal PT Kristus Raja Maumere yang adalah perusahaan milik Keuskupan Maumere. Sulit sekali rasanya bagi saya merekonsiliasi dua eksistensi dengan dua kepentingan yang sangat berbeda ini: Gereja dengan tanggung jawabnya untuk berpihak pada masyarakat kecil, dan Perseroan Terbatas sebagai bagian dari logika dan praktek kapitalisme yang tujuannya adalah untuk menumpuk modal demi keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara eksploitasi alam dan manusia.

Sulit sekali bagi saya untuk menerima kenapa Gereja merasa perlu untuk ‘membersihkan’ lahannya dan menggunakan lahan itu untuk kepentingan ekonomi Gereja melalui PT Kristus Raja Maumere, ketika Gereja dan Keuskupan Maumere tidaklah kekurangan secara ekonomi tanpa lahan tersebut, sementara umatnya, masyarakat Nangahale, jelas akan mati kalau tidak bisa hidup dari tanah lahan yang hak gunanya ada dalam genggaman Keuskupan Maumere.

Sulitnya Mengkritisi [Posisi] Gereja: Antara Dosa dan Kepatuhan

Ada tiga keresahan yang sering saya tangkap dalam diskusi-diskusi internal soal keberpihakan gereja: (1) soal sulitnya orang mengkritisi posisi dan keberpihakan Gereja Katolik di Flores, (2) soal para pejabat Gereja yang kurang peka pada penderitaan umat sehingga bukannya memihak masyarakat, malah ikut menindas, (3) soal elit-intelektual Flores yang sepertinya sulit sekali berempati dengan penderitaan masyarakat adat/akar rumput dari mana mereka berasal.

Satu hal yang bisa menjawab tiga keresahan ini secara singkat adalah kolonialitas Gereja, yang akan saya coba uraikan secara singkat di sini. Untuk kepentingan uraian ini, saya akan membedakan antara ‘gereja’, dengan huruf kecil, dan ‘Gereja’ dengan huruf besar: ‘gereja’ = Tubuh Kristus, Persekutuan Umat Allah di dunia; ‘Gereja’ = Institusi politik-ekonomi-sosial-budaya, institusi modern/kolonial.

Ketika bicara soal Gereja Katolik di Flores, kita sedang mengacu pada ‘Gereja’ sebagai entitas politik yang berakar pada logika-praktek modern/kolonial. 

Kehadiran Gereja Katolik di Flores yang dibawa oleh misionaris Eropa, sama seperti kehadiran Gereja Katolik di wilayah-wilayah lain di Asia, Amerika, dan Afrika, adalah bagian integral dari kolonialisme Eropa [Barat].

Gereja hadir sebagai bagian dari misi untuk memanusiakan makhluk-makhluk yang oleh penjajah Eropa dianggap bukan manusia atau setengah manusia (sub-human). Dalam hal ini proses konversi menjadi Katolik adalah juga proses menjadi subyek modern/kolonial. Proses memanusiakan mereka yang bukan/belum manusia ini terjadi secara struktural, termasuk melalui sistem pendidikan.

Dalam konteks Gereja Katolik di Flores, kehadiran seminari sebagai institusi pendidikan dengan sistem asrama yang melahirkan elit dalam Gereja Katolik [para imam] maupun elit awam [kaum ‘terpelajar’ Flores] adalah bagian dari proses menciptakan subyek-subyek modern/kolonial ini.  Mereka yang belajar di seminari, walaupun asalnya dari masyarakat adat, sudah tercabut sejak kecil dari masyarakatnya, dan hidup dalam ruang yang relatif terisolasi dari realitas pergumulan sehari-hari masyarakat adat di Flores. 

Karena itu, terkadang bagi kaum elit ini pergumulan masyarakat lebih dialami sebagai sesuatu yang konseptual, teoretis, abstrak, daripada kenyataan pengalaman historis yang mendarah-daging (historical, embodied experiences). Ini mungkin bisa sedikit-banyak menjawab soal keresahan tentang kurangnya kepekaan para pejabat Gereja dan elit Flores soal penderitaan masyarakat adat di akar rumput, yang notabene adalah kaum keluarganya sendiri.

Dalam misinya untuk memanusiakan yang bukan/belum manusia baik melalui konversi agama maupun institusi pendidikan, Gereja yang modern/kolonial ini juga menempatkan dirinya sebagai otoritas ‘Wakil Tuhan di Dunia’. Taat terhadap Gereja artinya taat terhadap Tuhan. Melawan Gereja sama saja dengan melawan Tuhan.  

Di sini, batas-batas antara ‘gereja’ sebagai Persekutuan Umat Allah dan ‘Gereja’ sebagai Institusi Politik yang modern/kolonial kemudian menjadi kabur. Mungkin ini sedikit banyak bisa menjawab mengapa orang sulit/takut untuk mengkritisi posisi dan keberpihakan Gereja. Kritis terhadap Gereja sebagai institusi politik yang modern/kolonial kemudian sama artinya dengan melawan Tuhan – bukan hanya tabu, tapi dosa.

Sebagai institusi politik yang hadir di Flores dalam konteks modern/kolonial, hak Gereja atas tanah-tanah di Flores – baik hak milik maupun hak guna – tidak bisa dilepaspisahkan dari sejarah kolonial yang dalam prakteknya masih berlanjut sampai sekarang. 

Dalam konteks ini, eksekusi lahan yang dilakukan oleh PT Kristus Raja Maumere hanya salah satu dari manifestasi kelanggengan logika-praktek modern/kolonial di Flores pada khususnya, dan di Indonesia atau bahkan di dunia pada umumnya.

Dua warga duduk menatap rumah mereka yang dirobohkan oleh PT Krisrama, perusahaan milik Keuskupan Maumere di Sikka pada 22 Januari 2025. (Dokumentasi Floresa)

Gereja Katolik di Flores: Persimpangan antara Keberpihakan dan Penindasan

Mungkinkah Gereja Katolik di Flores memihak pada masyarakat adat?

Dalam banyak diskusi dengan mereka – baik awam maupun pastor – yang mengabdikan tahun-tahun hidupnya untuk membela masyarakat yang tertindas, saya juga sering mendengarkan argumen soal posisi Gereja Katolik [di Flores] yang tidak hitam putih. 

Banyak juga para imam, biarawan-biarawati, orang-orang ‘dalam’ dari Gereja Katolik di Flores sendiri yang dengan berbagai cara mereka sendiri memilih berpihak pada kaum [ter]miskin[kan] dan tertindas. Dan ini adalah catatan penting. Dalam perjalanan panjang perlawanan berbagai kekerasan pembangunan di Flores, kita tahu kerja-kerja advokasi dan pendampingan masyarakat tanpa kenal lelah dari berbagai unsur Gereja, baik secara individu maupun sebagai lembaga.

Jelas bahwa bahkan sebagai institusi, Gereja Katolik di Flores sendiri tidak selalu satu posisi soal keberpihakan. JPIC-OFM yang sudah berpuluh tahun berjuang bersama masyarakat di Flores termasuk dalam persoalan menolak kehadiran tambang di Flores, misalnya, adalah juga bagian dari institusi Gereja Katolik di Flores. 

Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD yang dalam pernyataan publiknya baru-baru ini dengan tegas menolak proyek geotermal dalam wilayah Keuskupan Agung Ende adalah juga bagian dari institusi Gereja Katolik di Flores. Semua ini adalah tanda bahwa dalam tubuh Gereja Katolik di Flores sendiri ada pergolakan-pergolakan terkait keberpihakan, ada suara-suara kritis yang mendorong transformasi dengan mengganggu kenyamanan status quo Gereja.

Namun, tetap penting untuk melihat secara kritis relasi kekuasaan dalam tubuh Gereja Katolik di Flores antara posisi hegemoni status quo yang selama ini juga diuntungkan oleh proyek-proyek pembangunan dan posisi mereka yang kritis terhadap status quo ini. 

Pernyataan sikap Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, walaupun dalam posisinya sebagai Uskup Agung  Ende, tetap tidak menutupi kenyataan [masih] diamnya keuskupan-keuskupan lain di Flores. Posisi Uskup Agung Ende dalam hal ini bisa dibaca sebagai posisi kritis yang memecah hegemoni kesunyian Gereja Katolik di Flores.

Ini penting, agar kita tidak jatuh ke dalam argumen “tapi tidak semua Gereja/pastor memihak status quo”. Argumen ini bisa berbahaya, karena melanggengkan hegemoni. Sama seperti dalam argumen “not all men” [= tidak semua laki-laki adalah pelaku kekerasan] dalam perjuangan anti-seksisme Me Too, atau “not all white people” [= tidak semua orang kulit putih bersikap rasis] dalam perjuangan anti-rasisme Black Lives Matters.

Kritik terhadap Gereja Katolik di Flores sebagai institusi haruslah dibaca sebagai kritik terhadap hegemoni, bukanlah kritik yang tidak bisa melihat perbedaan-perbedaan posisi di dalam tubuh Gereja Katolik di Flores sendiri. 

Sama seperti gerakan Me Too adalah kritik terhadap patriarki sebagai sistem/struktur penindasan berbasis gender, dan bukan kritik yang menyamaratakan semua laki-laki sebagai pelaku kekerasan. Demikian juga gerakan Black Lives Matters adalah seruan yang menggarisbawahi kekerasan rasial yang terstruktur.

Kembali kepada Gereja Katolik di Flores dan pertanyaan soal posisi atau keberpihakannya, mungkin bisa dikatakan Gereja Katolik di Flores sedang berada di persimpangan antara kenyamanan status quo dan menolak status quo. 

Arah mana yang selanjutnya dipilih? Ini tentu pertanyaan yang harus dijawab oleh Gereja Katolik di Flores sendiri.

Seorang ayah bersama anaknya berdiri di depan rumah mereka yang telah digusur oleh PT Kristus Raja Maumere pada 22 Januari 2025. Perusahaan itu mengantongi Hak Guna Usaha atau HGU di lahan yang masih konflik dengan masyarakat adat. (Dokumentasi Floresa)

Mengikuti Jejak Yesus yang Tersalib

Harapan dan impian kita tentu bahwa Gereja Katolik di Flores memilih untuk berpihak pada mereka yang tertindas, bukan pada mereka yang menindas. Lebih dari itu harapan dan impian kita adalah bahwa Gereja Katolik di Flores tidak menjadi pihak yang melakukan penindasan, apalagi dengan menggunakan nama Kristus, seperti dalam kasus PT Kristus Raja Maumere.

Kurang lebih satu bulan sebelum memasuki Masa Prapaskah, gambaran Yesus yang tersalib hadir dalam benak saya ketika menuliskan refleksi ini. Hukuman salib adalah hukuman politik. Salib adalah harga yang dibayar Yesus untuk pilihannya menolak, menentang status quo negara dan agama pada masa itu.  Salib adalah konsekuensi keberpihakan Yesus pada mereka yang tertindas – kaum yang terkutuk di bumi (the wretched of the earth) dalam bahasa Frantz Fanon.

Kembali kepada cerita penderitaan mereka yang tertindas di Nangahale dan posisi keberpihakan Gereja Katolik di Flores, kepada Yesus yang tersalib hati saya berdoa: “Terberkatilah mereka yang setia mengikuti jejak Kristus dalam keberpihakanNya terhadap mereka yang tertindas. Dan semoga Roh Kudus bekerja membuka pikiran dan hati mereka yang dalam kemakmuran dan kelimpahannya menginjak kaum kerabatnya yang termiskinkan di tanahnya sendiri”. 

Tamara Soukotta adalah co-founder Sunspirit for Justice and Peace; Visiting Researcher, Civic Innovation Research Group, International Institute of Social Studies [ISS], Erasmus University Rotterdam; Postdoctoral Researcher, NWO Project on Race, Equity and Inclusion, Department of Ethics and Political Philosophy, Faculty of Philosophy, Theology and Religious Studies, Radboud University Nijmegen

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya