Kekerasan terhadap Jurnalis Floresa Sebagai Cedera Janji atas Demokrasi

Kepolisian mesti menunjukkan tanggung jawab kelembagaan untuk menyelesaikan kasus kekerasan terhadap Herry Kabut

Oleh: Jimmy Z. Ginting


Pada tanggal 9 Februari setiap tahun, pers di Indonesia mendapat keistimewaan karena memperingatinya sebagai Hari Pers Nasional. 

Terlepas dari perdebatan di kalangan organisasi pers soal ketepatan penetapan tanggal itu, namun melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 yang ditandatangani Presiden Soeharto soal Hari Pers Nasional, negara mengakui pers.

Tidak hanya lewat penetapan hari peringatan khusus, pers bahkan dijuluki sebagai “Pilar Keempat Demokrasi” selain lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. 

Dengan julukan itu, pers tidak hanya berfungsi sebagai penyalur informasi [pewarta] ke publik. Pers juga sebagai agen pengawasan terhadap kinerja pemerintahan sebagai pemangku kekuasaan. 

Namun, penting diakui bahwa dalam menjalankan fungsi demikian, pers masih punya banyak tantangan.

Salah satunya adalah kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh pelbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum.

Herry Kabut adalah contohnya. Jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa yang memfokuskan peliputan di wilayah NTT memiliki pengalaman pahit dalam menjalankan kerja profesinya. 

Pukulan, intimidasi, perampasan alat kerja oleh anggota Polres Manggarai ia alami ketika meliput pengadangan masyarakat adat Poco Leok di lokasi eksplorasi geotermal dalam ruang hidup mereka pada 2 Oktober 2024. 

Herry melawan ketidakadilan tersebut dengan melaporkan pelaku, baik pidana maupun etik ke Polda NTT.

Meskipun dinyatakan bahwa pelaporan pidana tidak dapat dilanjutkan karena tidak cukup bukti, Polda NTT telah menjanjikan akan melakukan sidang etik terhadap anggota polisi yang dianggap melakukan kekerasan.

Terlepas dari proses hukum yang sedang berjalan, kita dapat melihat konteks lain atas peristiwa yang dialami oleh Herry dan banyak jurnalis lainnya. 

Jika melihat data yang disajikan oleh beberapa lembaga kompeten, patut dipahami betapa jurnalis belum mendapat perlindungan secara serius dari negara. 

Catatan Akhir Tahun Aliansi Jurnalis Indonesia merekam 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2024. 

Lembaga Bantuan Hukum Pers juga menyoroti 87 serangan terhadap jurnalis pada setahun sebelumnya.

Tak sulit melihat data-data terkait kekerasan terhadap jurnalis karena telah menjadi objek penelitian banyak lembaga.

Mengapa peristiwa yang menimpa Herry Kabut saya katakan sebagai wujud cedera janji negara terhadap komitmen menjaga demokrasi? 

Kita sama-sama paham bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi yang menjamin perlindungan hak setiap warga negara. 

Singkat kata, pendekatan sistem demokrasi meletakkan pemenuhan hak asasi manusia sebagai fondasi dasar menilai kemajuan suatu bangsa. 

Berangkat dari sini, penemuan kesepahaman terhadap prinsip dasar demokrasi terbagi setidaknya dalam beberapa elemen, yaitu kedaulatan rakyat, pemilihan umum yang adil, kebebasan berpendapat dan berekspresi, persamaan di hadapan hukum, dan pemisahan [pembagian] kekuasaan. 

Pers memiliki fungsi dan peran di semua prinsip demokrasi. Negara memiliki janji [kewajiban] mewujudkan negara demokratis hingga pada tahap implementatif, tidak hanya sebuah ide. 

Aparat penegak hukum adalah salah satu wujud pelaksana tersebut. 

Mari kita lihat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28I ayat 4 dan 5. Terlihat jelas bagaimana tanggung jawab negara menjamin hak asasi manusia yang merupakan pembentuk konsep sistem demokrasi itu sendiri. Konstitusi yang bicara.

Apa yang dialami oleh Herry,  jika kita melihat hubungan  antara hak asasi manusia, demokrasi dan tanggung jawab negara, maka dapat disimpulkan negara kembali gagal menjalankan kewajibannya. 

Dalam istilah hukum dikenal dengan sebutan “cedera janji/wanprestasi.” Maka, setiap orang–termasuk negara–yang melakukan perbuatan atau tindakan sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain, wajib memberikan ganti kerugian. 

Akan tetapi, akan menjadi kontraproduktif ketika di dalam kasus Herry Kabut, pelaku kekerasan dianggap sebagai “oknum.” 

Simplifikasi terhadap pelaku kekerasan dengan menyebutnya hanya sebagai “oknum” seolah-olah memperlihatkan bahwa tidak ada representasi negara dalam operasionalisasi lembaga kepolisian. 

Di lain pihak, kepolisian merupakan lembaga yang memiliki otoritas menegakkan hukum yang bersumber dari nilai dan prinsip demokrasi itu sendiri.

Apa yang ingin disampaikan tidak lebih adalah tentang mendorong keberanian kepolisian menunjukkan tanggung jawab lembaga atas tindakan “oknum,” khususnya menyelesaikan kasus Herry. 

Saya masih bersepakat bahwa kepolisian merupakan lembaga yang wajib dimiliki negara. Terpenting adalah ketika kita bersepakat menganut paham demokrasi,  maka sikap humanis, adil, dan transparan menjadi nilai yang tidak boleh dilupakan oleh para aparat penegak hukum. 

Sebagaimana jika kita ingin menilai iklim demokrasi suatu bangsa maka indikator yang sering digunakan oleh para ahli adalah menilai terkait partisipasi publik, keterbukaan informasi, dan akses terhadap hukum.

Saya kira, kita patut mengapresiasi kerja Polri meningkatkan kepercayaan publik sebagaimana ditunjukkan oleh survei Ipsos Global Trustwitness Index 2024 dan Litbang Kompas. Dua survei itu masing-masing menunjukan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri 28 persen dan 65,7 persen. 

Di lain pihak, capaian tersebut juga melahirkan kewajiban Polri untuk terus menunjukkan komitmen serius meningkatkan kinerja. 

Penyelesaian kasus Herry Kabut secara berkeadilan dan transparan merupakan salah satu harapannya.

Jimmy Z. Ginting adalah advokat dan peneliti di Terranusa Indonesia

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya