Bendungan Rusak dan Krisis Iklim: Dua Sisi Mata Pedang yang Dihadapi Petani Sawah di Magepanda, Sikka

Petani di Magepanda, kecamatan dengan luas sawah terluas di Sikka, harus mengeluarkan biaya tinggi untuk tetap bisa mengolah sawah

Floresa.co – “Bertani mesti berani,” demikian kata Walburga Bibi, petani dan ibu dua anak di Kecamatan Magepanda, daerah dengan lahan sawah terluas di Kabupaten Sikka. 

Rumah dan sawah warga Desa Woda Muda ini tepat berada di pinggir jalan yang menghubungkan Sikka dengan pesisir utara Kabupaten Ende . 

Sejak kematian suaminya 10 tahun lalu, Bibi, 42 tahun, mengolah sendiri sawah seluas 1,5 hektare dari total luas lahannya 2 hektare.

Satu hektare ia manfaatkan untuk bangunan rumah, halaman, dan makam untuk suami dan anak sulungnya. 

Bibi juga menanam terung di satu petak terpisah dari sawah yang biasa dijual di pasar mingguan. 

Sekeliling rumahnya ditumbuhi pohon kelapa. Tahun ini, harga kelapa sedang baik, naik dari Rp. 80.000 menjadi Rp. 185.000 per subur – setara 80 buah -, sehingga ia bisa mendapat pemasukan tambahan yang lebih tinggi, selain dari padi. 

Pada 9 Februari, ia baru saja menanam padi untuk kali kedua di tiga petak sawahnya setelah terendam banjir luapan Bendung Dagelongga Tana Pepa.

“Jam tiga saya tanam [padi], sore harinya hujan besar,” kisah Bibi.

Dari sawahnya, ia mengarahkan telunjuk pada sebuah pondasi jalan yang jebol karena tidak kuat menahan banjir. 

Ia juga menunjukkan beberapa petak sawah warga lain yang daunnya agak layu. 

“Itu baru saja ditanam lagi setelah banjir,” katanya. 

Salah satu dari sawah itu dikerjakan oleh Rocky. Ia mengolah lahan milik orang tuanya. 

Pada kunjungan pertama saya pada 4 Februari, Rocky tengah membajak dan mengairi sawahnya dengan bantuan dua unit mesin pompa yang menyala berjam-jam. 

Setelah banjir melanda petak sawahnya, pria 26 tahun lulusan Fakultas Pertanian dari salah satu universitas di Maumere itu mesti membajak kembali untuk persiapan tanam.

Bendungan yang Rusak

Data Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Magepanda menyebut luas lahan sawah di kecamatan itu per 2023 mencapai 966.6 hektare, mencakup 38.2% dari total sawah di Sikka.

Dengan luas sawah demikian, terdapat enam bendungan di wilayah Magepanda, yakni Kolisia, Ijura, Ailiba, Puunaka, Aeroa, dan Labudewa. 

Selain itu, ada beberapa bendungan kecil yang hanya berfungsi saat hujan. Salah satunya Bendung Dagelongga Tana Pepa, yang ikut merendam sawah Bibi.

Bendung Dagelongga Taba Pepa dua kali meluap dan menyebabkan banjir di sekitarnya. (Carlin Karmadina/Floresa)

Merujuk pada data dari Balai Sungai Wilayah Nusa Tenggara II Tahun 2016, Bendungan Ijura dan Aeroa berada di bawah kewenangan pemerintah pusat, sedangkan Bendungan Kolisia di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi NTT. 

Selebihnya berada di bawah kewenangan Pemerintah Kabupaten Sikka.

 

Namun, tidak semua bendungan itu berfungsi optimal karena kurangnya perawatan. 

Dari keenamnya, hanya Bendungan Aeroa dan Puunaka yang masih berfungsi hingga kini. 

Bendungan Ijura sempat dikeruk pada tahun lalu, sementara Bendungan Kolisia dengan luas layanan 1.250 hektare tidak pernah dikeruk sejak dibangun pada pada awal 1990-an.

Bendungan Puunaka pernah direhabilitasi pada 2021 dari pos dana tanggap bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Sikka.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Sikka, Fredirikus F. K. Djen berkata, “kami hanya menangani bendungan yang luas layanannya di bawah 35 hektare.”

“Intervensi dari APBD kita minim sekali sehingga kita kesulitan untuk menanggulangi wilayah irigasi yang rusak,” katanya. 

Saluran irigasi di Magepanda, Sikka yang rusak. (Carlin Karmadina/Floresa)

Dampak Krisis Iklim

Dengan kondisi bendungan yang tidak terawat, banjir yang merendam padi, gagal panen, dan kerugian lainnya adalah bayang-bayang dan kenyataan pahit warga Magepanda setiap kali musim hujan tiba. 

Sebagian biaya yang sudah dikeluarkan seperti untuk membajak dan membayar tenaga akhirnya hangus. 

Sementara saat musim kemarau panjang, mereka juga menghadapi kenyataan lain: kekeringan, kehabisan modal, dan gagal panen. 

Merujuk pada data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG], kondisi iklim di Sikka sebetulnya dalam kategori sedang – tidak terlampau basah dan tidak terlalu kering – yang memberikan peluang bagus pada produksi padi. 

Namun, saban tahun, curah hujannya berubah-ubah, yang menurut peneliti BMKG, Siswanto, dipengaruhi oleh fenomena El Niño dan La Niña.

El Niño ditandai pemanasan suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur sehingga berdampak pada berkurangnya curah hujan di Indonesia, sedangkan La Nina terjadi akibat pendinginan suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur, berakibat pada berkurangnya curah hujan di wilayah Pasifik namun justru meningkatkan curah hujan di Indonesia.

Data BMKG menunjukkan, rata-rata jumlah curah hujan di Sikka sepuluh tahun terakhir adalah 929 mm/tahun. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada tahun 2015 yaitu hanya 557 mm dan tertinggi pada 2013 yaitu 1.427 mm.

Dari sumber yang sama, jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada 2016 yaitu 160 hari dan terendah terjadi pada 2015 yaitu 76 hari. 

Data produksi padi dan jumlah hari hujan pada 2018-2023 menunjukkan ada peningkatan jika jumlah hari hujan berada pada kisaran 80 – 100 hari, dan mengalami penurunan jika hari hujan di atas 100 hari. Jumlah produksi padi di Sikka tertinggi pada 2020 dengan produksi padi mencapai 17.235 ton GKG (gabah kering giling) dengan jumlah hari hujan sebanyak 90 hari. Jumlah produksi padi terendah ada pada tahun 2022 yaitu 11.348 ton GKG dengan jumlah hari hujan sebanyak 142 hari. 

“Tahun 2020, 2021 dan 2022 adalah tiga tahun berurutan kejadian La Nina hingga kekuatan sedang sehingga dikenal sebagai triple deep La Nina yang berdampak banjir di banyak tempat,” kata Siswanto.

“Salah satu dampaknya adalah penurunan produksi tanaman pangan di banyak wilayah Indonesia karena dampak peningkatan bencana banjir,” tambahnya.

Hal itu, katanya, juga berdampak langsung pada petani sawah di Sikka.

Biaya Operasional yang Tinggi

Kondisi infrastruktur yang buruk dan krisis iklim memaksa para petani di Magepanda harus mengeluarkan biaya tinggi untuk bisa mengolah sawah.

Saat musim hujan sawah dilanda banjir, sementara saat musim kering, mereka harus mengeluarkan biaya untuk mengairi sawah karena bendungan yang tidak berfungsi.

Bibi mempersiapkan biaya hingga Rp10 juta setiap kali musim tanam. Dana itu yang diperoleh dari pinjaman pada koperasi langganannya digunakan untuk membajak sawah, sewa tenaga untuk menanam padi, membeli pupuk pestisida dan solar, menyewa mesin panen padi, hingga menggiling, dan jasa engkol mesin. 

Selama masa tanam, ia mengakalinya dengan hanya membayar bunga pinjaman. Kalau hasil panennya baik, ia bisa melunasi hutang. Sebaliknya jika gagal panen, hutangnya tak bisa lunas. 

Saat musim kemarau, Bibi mengeluarkan biaya yang lebih tinggi. Untuk beli solar saja, katanya, ia butuh hingga Rp7.000.000. 

Solar itu untuk mengoperasikan dua unit mesin pompa air. Keduanya menghabiskan 10 liter solar selama 12 jam. Mesin dihidupkan dari pukul 06.00 Wita, berlanjut sampai dua hingga tiga hari. Ia perlu menyetok 50 liter solar untuk sepekan dengan harga Rp400.000. 

Karena tingginya biaya yang mesti dikeluarkan, Bibi memilih untuk tidak menghitung rinciannya. Ia berlasan, kalau harus menghitung semua biaya, akan “susah kerja.” 

“Kalau hitung, kita menyesal, 50 liter itu untuk setiap pekan selama tiga bulan. Baik kalau hasil. Kalau tidak hasil?” katanya. 

Pada musim kemarau tahun lalu, Bibi gagal panen, imbas dari dua unit mesin pompa airnya yang rusak total. Ia tak sanggup membeli spare part baru seharga Rp5 juta.

“Padahal, padi sudah keluar bulir. Saya pasrah saja,” katanya.

Abidin Abidzar, petani teladan nasional asal Magepanda menghabiskan biaya lebih besar, hingga Rp20 juta untuk membeli bahan bakar demi mengairi sawah seluas satu hektare.

Menurutnya, kira-kira lima tahun lalu, jalur irigasi yang bersumber dari Bendungan Ailiba masih mengalir dan mengairi petak sawah.

Air yang masih mengalir itu memungkinkan petani menggunakan sumur bor hanya sebagai tambahan, bukan sebagai sumber air yang utama. 

Bahkan jauh sebelumnya, petani bisa menanam padi sampai tiga kali tanam karena masih ada air di musim kemarau. 

“Sekarang, jangankan musim panas, musim hujan saja petani tetap pakai mesin pompa,” kata Abidin, 45 tahun. 

 

Berharap Dapat Bantuan

Sekretaris Dinas Pertanian, Inosensius Siga berkata, pihaknya telah berusaha membantu petani untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah menyediakan mesin pompa air.

Sejak 2018, lebih dari 200 unit mesin pompa air dibagikan kepada kelompok tani.

Sebagai wilayah prioritas distribusi mesin bor, Magepanda mendapat paling banyak mesin pompa, katanya, meski tanpa merinci jumlahnya.

Bantuan terakhir, jelas dia, disalurkan pada tahun lalu yang menyasar kelompok tani di Magepanda.

Klaim Inosensius berbeda dengan pengakuan Bibi, yang mengindikasikan tidak semua petani tersentuh bantuan.

Ia mengaku tak pernah mendapatnya, kendati sudah mendatangi Badan Permusyawaratan Desa, kepala desa, camat, dan DPRD yang berasal dari wilayahnya. 

Ketika tahun lalu muncul bantuan lagi, selaras klaim Inosensius, Bibi ikut memintanya di kantor camat.

Ia diarahkan untuk menulis nama, menyerahkan kartu keluarga, KTP, namun bantuannya tidak ada.

“Mereka pikir saya punya rumah ‘batu’, sawah luas, saya kaya. Padahal butuh uang semua untuk mengolah itu. Mungkin karena saya janda, perempuan, tidak ada yang dengar,” katanya.

Ia mengaku kerap didatangi oleh tim survei dari pemerintah.

“Pas banjir, ada saja orang yang datang foto sawah saya. Pas panen, difoto. Pas tanam begini difoto. ‘Fotonya mau kirim ke sana,’ katanya. Tapi pas terima bantuan, saya tidak dapat,” katanya.

Sebulan terakhir, Bibi beralih dari mesin pompa air berbahan bakar solar ke tenaga listrik. Ia sudah mengeluarkan Rp500.000 untuk token listrik. Tak sulit bagi Bibi karena jaringan listrik ke sawah ditarik langsung dari rumahnya. 

“Belum tahu hemat atau tidak karena baru coba.” tambahnya.

Mesin pompa air di kebun Walburga Bibi yang menggunakan listrik. (Carlin Karmadina/Floresa)

Bibi, Rocky dan petani lainnya di Magepanda berharap sedimentasi dalam bendungan yang ada di wilayah mereka bisa dikeruk agar dapat digunakan, terutama saat musim panas. 

“Biar kami tidak setengah mati kalau tanam padi di musim panas,” kata Rocky. 

Editor: Ryan Dagur

Liputan ini merupakan dukungan dari Lapor Iklim dan Yayasan Pikul

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA